41- Penawaran

551 40 0
                                    

••
Kita hanya sepasang manusia yang di takdirkan untuk menikmati luka yang belum menemukan ujungnya namun selalu berpura-pura bahagia.
•••

Shaka dengan telaten memeras sapu tangan yang sudah ia celupkan ke dalam air dingin lalu menempelkannya pada kening Tania. Cowok yang masih memakai kaus putih di balut kemeja yang di lepas kancingnya itu terus menghela napas berat. Melihat Tania sakit, Shaka merasa gagal menjaga gadisnya.

“Tania, kali ini aku mohon banget sama kamu untuk cukup pura-pura kuatnya ya,” tutur Shaka lembut, cowok itu menggenggam telapak tangan Tania yang hangat.

"Kamu itu rapuh, masih mau di paksa untuh terus?" lanjutnya.

Tania mengembuskan napas. "Kenapa Tuhan lama banget ambil nyawa aku ya, Ka?"

Shaka menggeleng tegas, tatapannya begitu dalam pada Tania. "Aku gak pernah suka kamu ngomong kayak gitu terus, Tan."

Perempuan yang sudah mengganti bajunya dengan baju milik Ibu itu menatap lurus langit-langit kamar Shaka. Tersenyum miris pada alur hidupnya sendiri.

"Maaf, aku selalu ngerepotin kamu, maaf aku numpang terus di rumah kamu, maaf ak—"

"Tania Sarelina! Stop berpikir kamu itu beban!" Shaka menginterupsi,  tanda ia tak mau mendengar kalimat menyebalkan Tania.

"Ibu boleh masuk?" wanita paruh baya itu menyembulkan kepalanya di ujung pintu kamar Shaka. Dengan senyum ke ibuan ia masuk seraya membawa semangkuk bubur serta teh hangat untuk Tania.

"Tania, ini Ibu buatkan bubur buat kamu, dimakan ya." Ibu menyuruh. "Shaka, tolong bantu Tania, suapin dia, ya."

Air muka Tania berubah pias, matanya memerah tanda ingin menangis. Dari dulu— tatkala Tania sakit, ia selalu rasakan sendiri, ia selalu sembunyikan kalau dirinya akan baik-baik saja. Dan ketika mendapat perhatian seperti sekarang, entah mengapa perasaan Tania tersentuh. Jadi, begini rasanya di perhatikan oleh sosok Ibu.

"Ibu ... Makasih udah sayang sama Tania, ya."

Respons Ibu hanya mengangguk lalu tangannya mengusap kepala Tania. "Cepet sembuh anak cantik," setelahnya Ibu keluar, menyisakan Shaka yang dengan senang hati menyuapini Tania.

"Aku nggak habis pikir sama Sanres! Bisa-bisanya dia ganggu kamu terus. Emang udah gila tuh cewek!" Shaka merenggut kesal.

"Dia masih suka kamu, mending kamu balikkan aja."

Shaka mendelik tajam mendengar penuturan Tania. "Kamu juga gila Tania."

Perempuan yang bersandar pada kepala kasur itu tergelak pelan. "Ya supaya Sanres gak ganggu aku lagi."

"Tau ah! Kan gak gitu juga caranya. Udah sinting kali kalo balikan sama mantan begitu. Najis,"

"Dih sok najis," ucap Tania. "Dulu aja ngemis-ngemis."

Shaka merengek. "Aaaa Tania, udah jangan bahas Sanres. Panas kuping aku. Ai kamu teh ngeselin pisan!"

"Almet Fadhlan mana?" tanya Tania.

"Aku buang." Shaka menjawab enteng.

"Heh serius?!"

"Enggak sih, cuma aku bakar aja barusan."

"Shaka!"

Shaka menyenyeh tengil. "Apa si? Ada noh di atas meja ruang tengah. Takut banget ilang cuman almet doang," ujar Shaka.

"Karna itu penting buat Fadhlan."

"Idih bodo amat, stroberi mangga pisang. Sorry gak peduli."

"Nggak nyambung bodoh!" Tania geram mendengar pantun murahan yang Shaka ucapkan. 

Stres In LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang