Typo bertebaran...Menyesal. Satu kata yang Irene rasakan saat ini. Duduk terdiam dengan sebuah pensil digenggamannya. Pikirannya tidak fokus hingga sketsa gaun yang di gambarnya masih setengah dan belum sepenuhnya jadi.
Rasa bersalah itu muncul ketika dirinya telah melakukan hal yang tidak pernah ia perbuat dari dulu. Seharusnya ia tidak melakukan itu untuk menghukum putrinya. Tapi apa boleh buat, ia sudah terlanjur menampar putrinya.
Ia tahu putrinya bersalah, tapi dengan ia menamparnya pasti itu sangat menyakiti hati putrinya.
"Ya tuhan, apa yang telah kulakukan" lirih Irene sembari menatap telapak tangannya.
Pagi tadi, ia mengantar Eunha ke klinik terdekat untuk memeriksa keadaan wajahnya yang tersiram air panas. Beruntung luka itu tidak parah dan hanya memerah saja. Tapi, meninggalkan putri bungsunya dan membiarkan Yerim berangkat sekolah seorang diri itu membuat dirinya bertambah menyesal sekarang.
Karena rasa bersalah terus menghantuinya, Irene memutuskan untuk bangkit dan berniat akan menemui putri bungsunya di sekolah
"Unnie, mau kemana?" Tanya Wendi yang tiba-tiba muncul dari arah pintu.
"Ah, Aku mau keluar dulu. ada perlu sebentar"
Wendi mengeryit lantas kembali bertanya.
"Ada perlu apa? Apakah itu penting? Unnie tidak boleh pergi, sebentar lagi Klien kita akan datang" Jelas Wendi melarang Irene pergi. Sebagai asisten, Wendi harus mengingatkan Irene dalam pekerjaannya.
"Apa tidak bisa di tunda?" Tanya Irene mencoba meminta waktu.
Wendi menggeleng. Ini sudah kesekian kalinya Irene menunda pertemuan dengan klien barunya dengan alasan hanya ingin menjemput kedua ponakannya. Padahal ia juga sanggup menggantikan Irene untuk menjemput Joy dan Yerim tapi apa boleh buat Irene malah menolaknya.
Alhasil sekarang ia harus bersikap tegas, Irene tidak boleh pergi. Karena bagaimana pun juga ia sudah tidak enak dengan klien itu yang beberapa kali pertemuannya di tunda.
"Tidak bisa, Unnie." Ucap Wendi.
"Hanya sebentar" Ucap Irene beralasan.
"Tidak. Kali ini kau tidak boleh membantah, Unnie"
Irene menghembuskan napasnya pasrah. Lantas ia kembali berbalik dengan perasaan yang tak menentu.
Baiklah, Unnie tidak akan pergi.
***
"Sinb"
"Sinb"
"Sinb-ya tunggu"
Sinb akhirnya berhenti. Mendengus kesal karena sedari tadi Yerim mengikutinya. memilih berdiri saja dan tidak mau menoleh kearah belakang dimana Yerim berlari mengejarnya.
"Wae?"
Sinb bertanya dengan jutek. Kedua tangannya melipat di dada dengan menatap malas Yerim yang sudah berada di depannya.
"Sinb"
"Ck, cepat katakan dan Jangan bertele-tele"
Yerim mengangguk dan bersiap mengatakan sesuatu pada Temannya.
"Aku minta maaf"
Satu kalimat yang di ucapkan Yerim mampu membuat Sinb mengeryit. Setaunya Yerim tidak punya salah dengannya. Ingin berucap tetapi terhenti ketika Yerim melanjutkan ucapannya
"Kau menjauhiku karena tuduhan keluargaku kan?"
Sinb langsung bungkam. Yerim sudah tahu, bagaimana ia mengelaknya. Keterdiaman Sinb mampu meyakinkan Yerim bahwa yang dikatakannya itu sudah benar.