Warung makan dengan bangunan biasa saja itu tampak ramai oleh pengunjung. Tengah hari dan memang waktunya untuk jam makan siang, warung itu semakin bertambah ramai. Kursi dan meja yang disediakan oleh pemilik warung itu juga nampaknya masih kurang untuk menampung pelanggan yang menginginkan untuk segera dilayani. Beberapa orang yang berniat makan di warung itu akhirnya memilih untuk membungkus makananya. Di dalamnya, dua orang wanita tampak sibuk mondar-mandir dari dapur dan kembali ke warung lagi. Mereka tampak cekatan melayani pembeli yang masih terus berdatangan. Sejak warung itu dibuka, pengunjung tidak pernah sepi. Bahkan saat awal pertama kali warung makan itu buka, pembeli sudah berdatangan terus.
"Nasinya habis nak, kamu ambil dulu ya di belakang. Tadi ibu udah masak. Udah matang harusnya. Kamu ambil dulu ya. Nasinya ini mau habis." wanita dengan usia paruh baya itu pada anaknya. Anak perempuan itu lalu menanggapi permintaan ibunya dengan senyum dan anggukan ringan. Dia lantas beranjak ke belakang warung dan meninggalkan sejenak ibunya yang masih sibuk dengan pelanggan warung makannya.
"Bu, sekalian gak sama ayam gorengnya? Ini juga udah mateng bu!"
"Kalau bisa bawa, sekalian aja gak apa-apa."
"Bu, ini nasi sama ayam gorengnya. Itu pancinya biar Anggun bawa ke belakang, sekalian mau cuci piring sama gelas. Ibu gak apa-apa kan Anggun tinggal bentaran ke belakang?"
"Iya, ini juga udah semuanya kok. Palingan nanti kalau ada yang nambah aja" Jawab Marsih, ibu dari Anggun menjawab dengan senyuman ringan di bibirnya. Segera sesudah ibunya menjawab seperti itu, Anggun lantas pergi ke bagian belakang warungnya. Dibawanya serta piring-piring kotor dan juga gelas yang tadi dipakai oleh pelanggan warung makannya.
Kini, Anggun dan ibunya memiliki dan mengelola warung makan sederhana untuk menopang hidup mereka. Bukan hanya Anggun yang hancur dengan peristiwa dirinya lima tahun yang lalu. Tapi seluruh keluarganya. Ayahnya yang shock saat mendapati apa yang terjadi pada putri bungsunya terkena serangan jantung dan meninggal dunia beberapa bulan sesudahnya. Kepergian ayahnya mau tidak mau membuat keluarga itu goyah. Ayahnya yang menjadi penopang utama kehidupan keluarganya itu telah berpulang. Farhan, kakak lelaki dari Anggun yang saat itu masih kuliah, terpaksa harus putus kuliah dan sekarang dia sedang berada di Jepang dan bekerja di sana. Farhan sebenarnya tidak tega meninggalkan ibu dan adiknya, namun dengan ijasah SMA yang dipegangnya sekarang, dan jika dia bertahan di kota kelahirannya, tentu hasil kerjanya tidak akan mencukupi untuk menopang hidup untuk dirinya, ibu dan adiknya. Memilih menjadi buruh migran di negara orang tampaknya pilihan yang cukup masuk akal untuk Farhan. Di luar negeri, selain bekerja Farhan juga memutuskan untuk melanjutkan studinya di sana. Walaupun harus mengulang kembali dari awal, namun setidaknya kuliahnya bisa berlanjut dan tidak putus di tengah jalan. Sedikit memaksakan diri, mengingat dengan bekerja saja dia sudah sangat sibuk, namun dia masih harus kuliah dan mengambil kelas malam.
Tinggallah kini Marsih dan Anggun. Mereka akhirnya menyewa satu rumah semi permanen untuk mereka jadikan warung makan. Lokasi warung makan itu terletak diantara gedung-gedung pencakar langit. Menu makanan rumahan, harga yang relatif murah untuk ukuran kota besar dan senyum yang selalu menghiasi wajah Marsih dan Anggun saat melayani pembelinya, menjadikan warung makan itu laris terutama saat jam makan siang. Pekerja kantoran di sekitar warung itu berdiri adalah pelanggan utama warung makan itu. Farhan sebenarnya mengirimkan sebagian besar gajinya untuk kehidupan ibu dan adiknya itu, namun marsih hanya sekali mengambil uang kiriman tersebut. Itupun dia gunakan untuk modal awal membuat warung makan tersebut. Setelah itu, Marsih dan Anggun sepakat untuk tidak mengutak atik uang kiriman dari Farhan dan hanya menyimpannya uang tersebut di bank. Bagi Marsih dan Anggun, biarlah itu menjadi tabungan saat kontrak kerja Farhan di luar negeri sudah selesai. Dia tentu sangat membutuhkan uang itu saat kembali ke tanah air nantinya. Marsih dan Anggun mencukupkan kebutuhan hidup mereka dari hasil warung makanan yang sekarang mereka kelola.
Lalu, bagaimana dengan Anggun sendiri? Setelah mengalami pelecehan di gudang sekolah waktu itu, yang dia dapatkan justru ketidakadilan. Seseorang malah mengambil fotonya saat peristiwa itu terjadi kemudian menyebarkannya hingga seluruh sekolah mengetahui kejadian kelam waktu itu dan lebih parahnya, justru dia yang dikeluarkan dari sekolah dengan alasan mencemarkan nama baik sekolah. Sementara, pelaku dari pelecehan itu malah masih bisa bersekolah dengan tenang. Jangan tanyakan bagaimana jatuhnya Anggun saat itu. Di bully, dihina dan dilecehkan di sekolah, dia yang menjadi korban namun justru dia yang dikeluarkan dari sekolah, dan yang lebih mengiris hatinya adalah ayahnya yang meninggal karena apa yang menimpanya.
Tapi, untunglah ibu dan kakaknya terus menguatkannya. Farhan bahkan berkali-kali meminta maaf karena merasa gagal menjaga adik perempuannya. Dia juga merasa gagal menjadi anak sulung lelaki di keluarga yang tidak bisa menjaga adiknya sendiri. Ingin rasanya dia menghampiri semua yang melakukan hal buruk pada adiknya itu, namun ibunya langsung mencegahnya. Hal itu justru akan menimbulkan masalah baru. Namun, apa gunanya juga saling menyalahkan diri sendiri jika memang ujian ini harus dilalui.
Soal Anggun sendiri, dia masih belum bisa seratus persen menghilangkan trauma atas kejadian kelam yang dialaminya. Baik fisik maupun psikologisnya terguncang. Akibat pelecehan yang dialaminya, dia sempat dinyatakan hamil, namun janin itu luruh. Dia keguguran. Stress yang tinggi karena selalu teringat peristiwa itu ditambah kepergian ayahnya, membuat kandungannya tidak kuat. Akibat pelecehan itu pula organ kewanitaannya juga mengalami cidera. Anggun akan mengalami kesakitan yang luar biasa saat dia dalam siklus menstruasinya. Akhirnya, dokter melakukan sterilisasi atas kandungannya. Itu artinya adalah Anggun tidak bisa memiliki keturuan lagi yang berasal dari rahimnya.
Sungguh, setelah semuanya ini sangat sulit bagi Anggun untuk sekedar tersenyum. Namun, Marsih dan Farhan tidak mau kehilangan lagi. Cukup bagi mereka kehilangan figur suami dan ayah dan mereka tidak mau kehilangan Anggun. Kalaupun sekarang, Anggun bisa berdiri tegak dan tersenyum bukanlah hal yang mudah. Butuh ratusan usaha untuk bisa melakukannya. Rasa takutnya belum sepenuhnya hilang. Kecuali dengan Farhan, Anggun masih enggan bertemu dan berinteraksi secara intens dengan laki-laki. Keadaan ekonomi keluarga Anggun yang jatuh karena kepergian ayahnya membuat dia tidak bisa mengikuti terapi dan konseling psikologis. Hanya ada Marsih dan Farhan yang terus-menerus mendorong Anggun untuk bisa keluar dari trauma masa sekolahnya itu. Mereka berdua adalah orang yang paling setia untuk membuat Anggun kembali kepada Anggun sebelum kejadian itu terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Your Man (Tamat)
RandomHari sudah menjelang petang kala itu. Anggun melangkah tertatih keluar dari gudang sekolah. Tubuhnya terluka, namun hatinya jauh lebih terluka dari yang terlihat. Habis sudah air matanya meruntuki apa yang terjadi padanya. Dia sendiri tidak lagi bis...