Wiryo tampaknya serius dengan apa yang dikatakannya soal Elena yang dia larang untuk keluar rumah. Semua akses ditutup paksa oleh Wiryo. Tidak ada lagi kartu kredit dan kartu debit yang tertinggal di dompet milik Elena. Ponsel dan semua alat komunikasi disita oleh Wiryo. Jika bisa digambarkan, Wiryo saat ini seperti memenjarakan Elena di rumahnya sendiri. Elena sendiri tentu sudah berusaha memberontak, namun kali ini semua usahanya sia-sia saja. Wiryo sama sekali tidak memperbolehkan Elena keluar rumah, bahkan untuk sekedar di teras depan rumahpun dia melarangnya.
Pagi ini ruang makan di rumah Wiryo dipenuhi oleh seluruh anggota keluarga. Semuanya menikmati sarapan pagi ini walaupun malam sebelumnya terjadi insiden yang sangat mengejutkan.
"Kamu kemarin kemana saja sih Ndro? Ayah telpon kamu terus tapi gak kamu angkat?" Setelah menyelesaikan sarapannya, Wiryo masih menyempatkan diri untuk mengobrol sebentar.
"Ke rumah Anggun yah.. Permintaan maaf Andro kan belum dijawab sama Anggun, jadinya kemarin Andro inisiatif aja ke rumahnya buat minta maaf."
"Trus gimana? Anggun sudah maafin kamu?" Giliran Gina yang bertanya.
"Belum mah.. Malah kemarin Andro dimaki habis-habisan sama kakaknya Anggun."
"Masih dimaki kan? Masih untung dia gak jotosin kamu, Ndro. Pokoknya kamu tetep harus berusaha terus." Wiryo menimpali apa yang dikatakan oleh Andro dan hanya dijawab anggukan oleh Andro. Selang beberapa saat kemudian,
"Ayah sama mama nanti bantuin Andro ya. Kan udah kenal sama ibunya, sama Anggun juga" Akhirnya Andro meminta bantuan dari orang tuanya juga. Setelah kemarin merasa sedikit putus asa menghadapi Farhan, mau tidak mau dia kini harus melibatkan Wiryo dan juga Gina.
"Sebentar.. Ini siapa sih yang dibicarain? Anggun siapa? Jangan-jangan Anggun yang abang bicarain Anggun si cupu kutu buku itu?" Sedari tadi Elena diam dan menyimak saja pembicaraan dari keluarganya. Penasaran juga siapa yang dimaksud dengan Anggun itu dan kenapa sampai Andro mau minta maaf juga.
"Iya. Anggun yang kamu benci banget waktu SMA dulu. Anggun yang udah kamu benci habis-habisan padahal dia gak salah apa-apa sama kamu!" Wiryo yang menjawab dengan kalimat yang tegas dan pedas. Seketika Elena mebelalakan matanya mendengar perkataan dari Wiryo.
"Ngapain sih minta maaf sama Anggun? Orang cupu kutu buku jelek dan burikan kayak gitu pantes kali yah digituin" Masih saja Elena dengan sombong dan angkuhnya berkata bahkan dia merasa tidak bersalah sama sekali dengan semua bullying yang dia lakukan semasa sekolah dulu.
"Setidaknya dia jauh lebih baik dari kamu. Sebagai wanita dia bisa menjaga kehormatan dan harga dirinya." Gina yang biasa memanjakan dan selalu membela Elena sekarang mendadak berkata telak juga kepadanya. Kaget? Tentu saja Elena kaget luar biasa.
"Ya gak bisalah. Dia gak bisa ngalahin Ele yang berkelas gini....."
"Berkelas? Berkelas kok hamil tapi gak tahu siapa yang ngehamilin kamu? Apa bedanya kamu sama pelacur yang dipake semua orang di luaran sana? Itu yang namanya berkelas, Ele?" Muka Elena langsung merah mendengar perkataan dari Wiryo. Secara tidak langsung ayahnya itu sudah menyamakan dirinya dengan pelacur. Tentu tidak ada satu perempuanpun yang mau disamakan dengan seorang pelacur.
"Kenapa? Mau marah? Kalau perkataan ayah salah, salahnya dimana? Bener kan kamu hamil dan kamu gak tahu siapa yang udah membuat kamu hamil? Atau emang bener kamu udah nge-jalang di luar sana?" Sekarang, bukan cuman wajah Elena yang memerah, tapi matanya juga. Bahkan sekarang Wiryo mengatakan dengan frontal kata-kata yang sangat pedas.
"Udah, jangan peduliin dia lagi." Gina berkata sambil mengangkat dagunya. Seolah tanda bahwa tidak perlu lagi memperdulikan keberadaan Elena. Pandangan Elena sekarang beralih ke Gina, seolah dia ingin menuntut penjelasan lebih dari Gina. Dengan santai, Gina lalu berujar
"Ngapain juga kita peduliin kamu? Kamu aja gak peduli sama kita kok. Kalau kamu bener-bener peduli, gak mungkin kan bikin malu keluarga? Mama mungkin masih bisa maafin sikap kamu yang sombong, angkuh, boros dan keras kepala itu. Mama berharap kamu masih bisa berubah kayak abang kamu. Tapi dengan kamu hamil dan kamu gak tahu siapa ayah bayi kamu, kamu udah sangat keterlaluan, Ele. Cukup sudah kesabaran mama selama ini ngadepin kamu"
Tes... Tes..
Air mata Elena jatuh mendengar ucapan dari Gina, satu-satunya orang yang dia harap masih ada di pihaknya, sekarangpun nampak seperti memojokkannya. Dan benar. Tidak ada seorangpun di sana yang perduli padanya. Tidak ada yang menanyakan mengapa dia menangis. Tidak ada yang berusaha menenangkannya.
"Ndro, nanti kalau Anggun udah mau maafin kamu, trus kamu mau melamarnya, ngomongnya jangan dadakan. Ayah sama mama kan butuh persiapan dulu sebelum melamar Anggun buat kamu. Kita juga perlu kabarin keluarga besar juga kan?" Wiryo langsung mengubah nada bicaranya saat berkata dengan Andro. Tidak lagi pedas dan ketus seperti saat dia berbicara dengan Elena tadi.
"Aa.. Bang mau melamar Anggun? Mau nikahin Anggun? ELE GAK SETUJU! ELE GAK MAU DIA JADI KAKAK IPAR ELE!" Elena sudah tidak bisa lagi menahan emosinya. Apalagi saat mendengar jika Andro akan menikahi Anggun, yang secara otomatis akan menjadi kakak iparnya. Bagaimana mungkin dia akan tinggal seatap dengan Anggun dan nampaknya sekarang semuanya sudah berpihak pada Anggun. Dia pasti akan semakin tersisihkan dengan adanya Anggun di lingkungan keluarganya.
"Memangnya kita butuh persetujuan kamu? Yang jelas mama sama ayah udah ketemu sama Anggun dan kita setuju kok Anggun jadi mantu mama" Ucap Gina dengan ketus.
"Lagipula yang nikah itu abang kamu. Itu kemauan abang kamu sendiri. Ngapain kamu yang ribut? Mau kamu setuju apa enggak, gak ngaruh!" Elena hanya bisa menggelengkan kepalanya waktu Wiryo berkata seperti itu.
Merasa jika dia diacuhkan oleh keluarganya sendiri, Elena lantas berdiri dan pergi dari ruang makan itu. Kakinya dihentakkan keras ke lantai pertanda dia sedang kesal. Dengan langkah yang cepat, dia menuju kamarnya dan dengan suara yang keras dia membanting pintu kamarnya.
"AAARRRGGGHHHH.........................." Beberapa detik setelah pintu dibanting, terdengar teriakan dari kamar Elena. Suara pecahan kaca juga turut terdengar. Wiryo, Gina dan Andro sempat terkaget sebentar, namun kemudian mereka normal kembali.
"Yah, apa tadi kita gak keterlaluan sama Ele? Biar gimanapun dia kan lagi hamil, yah?" Setelah sedari tadi diam, Andro sekarang berucap. Sedari tadi dia diam dan melihat saja bagaimana Elena dipojokkan oleh Wiryo dan Gina.
"Sekali-kali dia butuh yang namanya shock terapi. Dunia bukan hanya dia dan egonya saja. Dia harus belajar memandang hidup dari kacamata orang lain. Dia harus belajar menghargai orang lain, siapapun itu. Kalau dilihat, apa yang barusan kita lakuin ke dia gak ada apa-apanya dengan yang udah dia lakuin waktu dia sekolah dulu. Kelakuannya waktu sekolah dulu sangat-sangat keterlaluan"
Andro tidak membantah perkataan Wiryo. Dalam hatinya justru dia membenarkan perkataan tersebut. Mungkin, sekarang dia cukup memfokuskan perhatiannya pada masalahnya sendiri. Bagaimana dia bisa mendapatkan maaf dan bisa menebus semua kesalahannya pada Anggun. Dia harus bisa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Your Man (Tamat)
RandomHari sudah menjelang petang kala itu. Anggun melangkah tertatih keluar dari gudang sekolah. Tubuhnya terluka, namun hatinya jauh lebih terluka dari yang terlihat. Habis sudah air matanya meruntuki apa yang terjadi padanya. Dia sendiri tidak lagi bis...