Part 9

11.3K 840 5
                                    

Hari ini Andro rela untuk berbohong dan tidak ikut apel pagi di markasnya hanya demi memastikan keberadaan Anggun. Dia harus memilih, ikut apel pagi di markasnya dan tidak mendapatkan kesempatan melihat Anggun atau dia tidak ikut apel dengan berbohong, tapi bisa lebih cepat memastikan apakah wanita itu benar Anggun atau tidak. Tidak penting setelah ini dia mendapatkan surat peringatan karena berbohong dan tidak mengikuti apel pagi, memastikan bahwa yang kemarin dilihatnya adalah orang yang membuatnya tidak tenang beberapa hari ini tampaknya lebih penting dari apapun bagi Andro. Dia akan mengambil apapun konsekuensi yang akan didapatnya.

Andro duduk diam di dalam mobilnya. Sengaja dia memarkirkan mobilnya di seberang jalan warung makan Marsih. jendela di mobilnya sengaja dibuka setengahnya agar dia bisa melihat dengan jelas warung makan dengan jelas. Jam di pergelangan tangan kananya menunjukkan jam tujuh pagi, namun warung itu masih belum ada tanda-tanda mau dibuka. Pintunya masih terkunci. Andro mulai gelisah. Berkali-kali tanganya diketuk-ketukkan ke setir mobilnya. Setengah jam kemudian, karena tidak sabar dia lantas keluar dari mobilnya dan menuju warung yang masih tertutup itu. Matanya sedikit menyipit tanda bahwa Andro sedang memindai warung itu.

"Pak... Pak.. Bapak mau makan? Masih tutup pak warungnya. Orangnya yang jual juga belum datang" Andro tersentak saat ada suara yang memanggilnya. Dia lalu menolehkan pandangannya ke belakang.

"Pak polisi mau makan? Warungnya belum buka pak kalau jam segini" Tanya orang itu kembali. Andro hanya menganggukkan kepalanya saja. Mungkin dia bisa memberikan beberapa informasi yang penting baginya.

"Pasti mau makan sayur asem sama pepes ikannya kan? Emang pak, sayur asem sama pepes ikannya itu enak banget di sini. Kalau gak cepet pasti kehabisan" Orang itu selayaknya marketing yang sedang mempromosikan. Andro hanya tersenyum ringan saja.

"Iya pak. Kantor saya mau ada rapat besok lusa. Ini saya diminta buat ngurusin konsumsinya. Mau pesen makan, tapi kok masih tutup ya?"

"Bukanya emang agak siangan pak. Jam sembilan gitu bukanya." Kembali Andro hanya menganggukkan kepalanya. Lagi, dia harus berusaha mendapatkan informasi lagi soal warung makan Marsih.

"Waduh, harus nunggu ya pak sampe jam sembilan? Punya nomer telponnya gak pak?" Andro kembali berusaha mengorek informasi

"Ada pak, tapi hape ketinggalan di rumah."

"Kalau rumahnya? Tahu gak pak? Saya samperin di rumahnya aja pak"

"Rumahnya bu Marsih sama mbak Anggun ya pak? Itu di belakang Perumahan Puri Kencana. Cari aja rumah cat hijau yang banyak anggreknya"

"Jadi bener dia itu Anggun. Oh Tuhan, aku harus bagaimana sekarang?" Batin Andro setelah mendapatkan informasi penting itu.

"Ya udah pak, terima kasih infonya. Besok saja saya ke sini lagi. Mari pak permisi" Merasa sudah cukup, Andro memilih untuk beranjak dari tempat itu dan kembali ke markas kepolisian. Sudah cukup rasanya hari ini informasi yang didapatkan Andro. Ternyata benar. Benar bahwa yang dilihatnya kemarin adalah Anggun. Sekarang, bagaimana memulai untuk meminta maaf? Bertemu saja tampaknya sangat susah baginya.

Selisih beberapa waktu, Marsih, Anggun dan Seno datang dengan taksi online mereka. Tidak menunggu lama, mereka lalu menurunkan beberapa panci besar dan beberapa makanan yang akan mereka jual hari ini di warung. Marsih langsung membuka pintu warung sementara Anggun dan Seno dengan cekatan memindahkan makanan-makanan ke warung.

"Buk... Buk... Bu Marsih..." Marsih yang baru saja masuk ke warungnya segera keluar kembali saat mendengar namanya di panggil.

"Lho pak Tejo, ada apa pak? Sampe teriak gitu manggilnya?" Bukan hanya Marsih yang mendatangi, tapi Anggun dan Seno juga ikut-ikutan mengerubungi. Tejo, tukang parkir yang tadi sempat ngobrol dengan Andro.

"Buk, tadi dicariin sama polisi" Kening ketiga orang di depan Tejo langsung berkerut. Kenapa sampai ada polisi mencari mereka? Mereka merasa tidak melakukan hal aneh-aneh.

"Tadi itu ada polisi ke sini bu, mau pesen makanan ke ibu, tapi ibu-nya belum datang. Gitu.."

"Oalah pak.. Dikiranya ada apa aja kok sampai polisi dateng kesini." Marsih langsung lega mendengarnya.

"Iya bu. Katanya buat lusa, atau kapan ya. Tadi minta nomer telponnya ibu juga" Lanjut Tejo

"Trus, pak Tejo kasih nomer hape saya?"

"Enggak sih buk. Hape ketinggalan di rumah soalnya. Gak inget nomer hapenya ibu"

"Oalah ya sudah kalau gitu. Gak apa-apa. Makasih lho pak Tejo" Selesai mengucapkan itu, Marsih, Anggun dan Seno kembali masuk ke warung. Mempersiapkan semuanya sebelum membuka warung makan untuk hari ini.

"Bu, apa gak kita tulis aja tho bu nomer telponnya ibu atau mbak Anggun di depan? Jadine kalau ada yang mau pesen, kan bisa telpon ke ibu atau mbak Anggun" Sambil menata piring dan gelas, Seno berucap.

"Kalau yang pesen makanan tambah banyak malah kita yang kewalahan juga. Ibu belum mampu buat nambah pegawai lagi. Kecuali mau dibayar pakai daun, boleh kamu nulis gedhe-gedhe di depan warung." Marsih benar. Jika makin banyak yang pesan makanan padanya, akhirnya dia kewalahan juga. Untuk menambah karyawan, dia masih berpikir ulang, karena belum tentu juga pesanan dan warung akan selalu ramai. Bagaimana jika hanya sesaat saja warung dan pesanannya ramai dan setelah itu sepi? Untuk memecat dan memberhentikan tentu saja Marsih tidak tega.

"Kan sekarang ada Seno bu. Nanti Seno bantuin deh di dapurnya. Sayang lho bu kalau gak diambil."

"Udah, mending kamu siapin aja pesananya pak Wiryo. Buat makan siang kan? Nanti pasti orangnya pak Wiryo datang buat ambil pesanannya"

"Pak Wiryo itu paling sering pesen ya di kita ya bu. Kayaknya hampir tiap hari dia pesen ke kita ya bu". Seno cukup penasaran karena sejak dia ikut dan menjadi karyawan Marsih, seringkali mendengar tentang pak Wiryo. Namun sekalipun dia tidak pernah mendengar cerita dan bertemu dengan pak Wiryo itu. Yang paling sering muncul adalah karyawan dari pak Wiryo untuk memesan makanan atau mengambil pesanan makanan. Dari selentingan yang ada, pak Wiryo ini adalah pemilik perusahaan, jadi dia orang yang sibuk dan tidak punya waktu, maka karyawannya yang akan mengurusi semuanya di warung Marsih.

"Sejak pertama kali buka, pak Wiryo itu paling sering pesen ke kita. Pesenannya selalu banyak, trus dia gak pernah pake acara nawar juga kalau pesan ke kita. Bahkan pak Wiryo pernah bilang ke ibu kalau mau buka kantin di perusahaannya bakalan dikasih tempat. Pak Wiryo emang baik banget"

Hari itu berlalu seperti biasanya bagi Marsih dan Anggun. Mereka masih tetap membuka warungnya dan melayani pembeli yang memenuhi warung makan mereka. Tidak ada yang berubah. 

Let Me Be Your Man (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang