Berada di dalam taksi dan menuju ke rumah keluarga Wiryo, sesungguhnya pikiran Anggun tidak tenang sama sekali. Bukan kali pertama dia harus berhadapan dengan keluarga Wiryo. Bukan tentang menghadapi keluarga Wiryo yang membuat pikirannya tidak tenang, tapi kondisi sekarang tentu akan sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ini yang membuat Anggun hanya diam sambil tangannya meremas ujung baju yang dia kenakan.
Anggun melangkahkan kakinya dengan lemas menuju pagar rumah Andro. Ada bendera kuning dipasang tepat di depan rumah. Papan pengumuman dan beberapa rangkaian bunga duka cita menegaskan bahwa suasana duka sangat kental terasa. Halaman depan rumah sengaja disusun beberapa kursi, yang sekarang sudah ditempati oleh beberapa kolega bisnis Wiryo, dan teman-teman kantor dari Andro yang sengaja menyempatkan menyampaikan rasa dukacita.
Memasuki halaman rumah, Anggun sengaja mempercepat langkahnya. Dia tidak nyaman dengan ini semua. Lebih cepat menyudahi akan lebih baik baginya. Anggun tidak memperdulikan tatapan beberapa orang yang dikenalnya. Orang-orang yang membuatnya tidak bisa menikmati masa-masa sekolah dan masa mudanya sebagaimana mestinya. Anggun memilih mengabaikan semuanya itu, dia langsung saja menuju ruang tamu dimana jenazah Elena terbujur kaku dengan ditutupi kain putih.
Andro yang terduduk lesu dengan wajah yang pucat langsung mendongakkan kepalanya. Saat dia mendapati Anggun yang hanya diam berdiri di ambang pintu, langsung saja Andro berdiri, sedikit tergesa dia menghampiri Anggun. Tanpa menunggu lama, ditariknya Anggun masuk ke rumah dan dia langsung memeluk erat Anggun. Tangisnya tumpah. Tidak peduli lagi dengan predikatnya sebagai seorang polisi yang nampak keras dan tegas. Dia luluh. Dia kalah.
"Maafin Elena... Maafin ya Nggun... Maaf... " Andro terus saja mengumamkan kata-kata yang sama. Entah sudah berapa kali dia berujar seperti itu.
"Nak, bapak tahu sekali jika apa yang sudah dilakukan anak bapak sudah sangat keterlaluan, tapi percayalah, di akhir-akhir hidupnya dia sudah mendapatkan semua balasannya. Dia sungguh sangat kesakitan." Wiryo yang melihat Anggun datang akhirnya berdiri juga. Dia menghampiri Andro yang sedang memeluk erat Anggun. Diusapkannya tangannya pada punggung keduanya.
Anggun yang mendapati perlakuan seperti itu tentu saja terkejut. Ini tidak seperti yang dia pikirkan. Sungguh dia tidak menyangka jika keluarga Wiryo akan seperti ini.
Anggun berusaha melerai pelukan Andro. Awalnya agak sedikit susah, namun akhirnya bisa juga. Mungkin karena tenaga Andro sudah habis terkuras mengurusi semua tentang kematian Elena.
"Bapak, ibu, Ndro, Anggun sudah memaafkan Elena. Sebelum bertemu di rumah sakit waktu itu, Anggun sebenarnya udah mencoba lupain dan maafin semuanya. Tapi, Anggun juga manusia biasa yang lemah. Waktu di rumah sakit dan ketemu langsung, emosi Anggun langsung naik dan memang seperti kemarin itu kejadiannya. Anggun minta maaf kalau karena kata-kata Anggun kemarin Elena drop dan akhirnya menjadi seperti ini"
"Terima kasih Nggun, Terima kasih..." Bahkan Andro dan Wiryo kompak mengatakannya bersama-sama.
Gina yang berdiri di samping Wiryo lalu menangkup pipi Anggun. Dengan lembut dan menahan tangisnya dia berkata
"Kamu gak perlu minta maaf, nak. Siapapun pasti akan sepertimu jika bertemu dengan orang yang sudah menyakitimu terlalu dalam. Makasih sudah memaafkan Elena. Sekarang, ibu mohon doakan Elena ya nak.." Anggun hanya mengangguk saja sekedar membuat lega permintaan Gina.
Apa yang terjadi dengan Anggun tentu membuat semua mata yang ada di sana langsung saja tertuju padanya. Mereka semua, terutama teman sekolah dari Andro dan Elena tentu sangat tahu siapa yang apa yang sudah terjadi pada lima tahun lalu. Bahkan, Revo dan Keanu, dua orang lain yang juga melakukan pelecehan atas dirinya juga ada. Tampak sekali keduanya tidak nyaman dengan adanya Anggun dan bagaimana Wiryo, Andro dan Gina memperlakukan Anggun.
Niatnya, sesudah mengucapkan bahwa dia sudah memaafkan Elena, Anggun akan balik ke warung. Namun, Gina sekarang malah memegang erat lengan Anggun. Dituntunnya Anggun untuk duduk di sampingnya. Sambil sedikit terisak, Gina sekarang malah menyandarkan kepalanya di lengan Anggun. Tentu saja sikap Gina ini membuat Anggun menjadi bingung harus bersikap seperti apa.
Sedang mereka semua yang ada di situ melantunkan doa untuk Elena, tiba-tiba asisten rumah tangga menghampiri Gina. Dengan setengah berbisik, dia berkata:
"Bu, den Davin nangis terus bu. Tidak mau berhenti. Saya bingung bu mau gimana lagi. Apa-apa gak mau bu"
Anggun yang saat itu berada di samping Gina tentu dengan sangat jelas mendengar perkataan dari asisten rumah tangga tersebut.
"Bu, apa boleh Anggun liat dulu Davin? Barangkali saja Anggun bisa nenangin Davin. Sekalian, Anggun juga belum sempat nengok Davin sejak dari rumah sakit kemarin" Sejujurnya, Anggun berkata demikian untuk dia bisa keluar dari situasi yang sangat tidak nyaman untuknya saat ini. Gina tentu saja mengabulkan permintaan Anggun. Tanpa banyak kata, dia langsung berdiri, dengan masih menggenggam tangan Anggun, dia mengajak Anggun untuk kamar Davin.
Langkah Anggun terhenti di pintu kamar Davin. Area pandangnya sekarang tertuju pada seorang bayi yang sedang menangis dan sedang digendong oleh asisten rumah tangga lainnya. Asisten itu nampak kewalahan karena nampaknya Davin tidak juga bisa tenang. Tangisnya malah semakin lama semakin kencang.
"Bu, ini den Davin nangis terus. Gak mau diam bu. Rewel terus" Asisten yang sekarang menggendong Davin itu seolah mengadu ke Gina.
"Davinnya ngompol? Atau mungkin dia haus? Udah kamu kasih susu belum?" Gina mencoba menyelidik apa yang membuat Davin menjadi rewel seperti ini.
"Popoknya kering bu. Barusan ini saya periksa. Trus tadi juga udah minum susunya. Itu bu, sebotol udah habis" Asisten itu berkata sambil menunjuk botol susu bayi yang sudah kosong.
Gina sedikit bingung. Biasanya Davin tidak pernah serewel ini. Dia tipe anak yang mudah ditenangkan jika memang menangis. Biasanya dengan digendong dan ditepuk-tepuk pelan, Davin sudah tenang dan berhenti menangis.
Anggun berinisiatif mendekat. Seketika hatinya jatuh kasihan melihat anak sekecil itu sudah menyandang yatim piatu. Ibunya meninggal sedangkan ayahnya tidak tahu siapa dan kemana.
"Boleh saya gendong bentar? Barangkali bisa membuatnya lebih tenang" Anggun meminta menggendong Davin. Asisten rumah tangga itu sejenak menatap ke Gina, seolah meminta persetujuan dan setelah mendapatkan anggukan dari Gina, asisten itupun memberikan Davin dengan sangat hati-hati.
Anggun yang sudah lalu menimang Davin, menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri. Tangannya juga menepuk-nepuk paha Davin, mencoba membuat tenang bayi mungil itu. Sesekali, Anggun juga menyanyikan nina bobo untuk membuat Davin semakin nyaman sehingga anak itu bisa tenang.
Davin, bayi mungil itu kini malah terlihat nyaman di gendongan Anggun. Tangisannya sekarang sudah berhenti, walaupun masih terdengar sedikit isakan. Setelah Davin benar-benar tenang, Anggun bermaksud memindahkan Davin ke baby box supaya tidurnya lebih nyaman. Namun saat diletakkan, dia kembali menangis. Anggun lalu bersimpuh di samping baby box dengan pembatas yang sudah diturunkan. Tangan kirinya membelai lembut sedangkan tangan kanannya menepuk-nepuk kaki dan paha Davin. Bayi itu kembali tenang dan bisa tertidur kembali.
Pemakaman Elena segera dilakukan. Andro yang menyadari jika Gina masih ada di dalam segera menyusul untuk memberitahukan soal pemakaman Elena.
"Mah, ini mau acara pemakaman segera dilakukan. Ke depan dulu ya ma..." Gina yang sedari tadi menikmati bagaimana Anggun bisa menenangkan Davin seakan kembali tersadar akan kepergian Elena. Tatapan matanya kembali sayu.
Gina dan Andro melangkah ke depan. Bersiap melepas Elena untuk selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Your Man (Tamat)
RastgeleHari sudah menjelang petang kala itu. Anggun melangkah tertatih keluar dari gudang sekolah. Tubuhnya terluka, namun hatinya jauh lebih terluka dari yang terlihat. Habis sudah air matanya meruntuki apa yang terjadi padanya. Dia sendiri tidak lagi bis...