Kedatangan kembali Farhan membuat suasana rumah menjadi berubah ramai dan ceria. Ada banyak obrolan dan canda yang tercipta dengan adanya Farhan di rumah. Malam ini, setelah membereskan semua panci dan peralatan dapur yang kotor, mereka berempat berkumpul di ruang tengah. Duduk lesehan, bersantai dengan tivi yang menyala tapi tidak ada yang menghiraukan acara di tivi itu. Semua masuk dalam obrolan hangat yang menguar dari keempat orang yang duduk santai dan melingkar sementara di tengahnya sudah ada singkong keju dan tahu isi.
"Mas, Anggun rencananya mau nerusin sekolah lagi. Mau daftar ke Paket C. Boleh ya mas?" Anggun memang sudah meminta ijin ke Marsih, namun dia masih belum membicarakan hal itu ke Farhan.
"Wah, ya boleh. Banget malahan. Mas seneng kalau kamu mau nerusin sekolahmu. Gak masalah Paket C, ntar cari universitas yang bisa terima lulusan Paket C" Tentu Farhan mendukung apa yang dimau oleh Anggun.
"Anggun gak kepikiran sampe kuliah mas. Habis Paket C, mungkin mau ngambil kursus masak aja. Sejak bikin warung, Anggun jadi lebih seneng masak. Anggun pengen gedein warung makan punya kita."
"Kan ada kuliah yang perhotelan? Ntar kamu pilihnya yang food and beverages kan bisa. Mas dukung kamu penuh."
"Waah.. Mbak Anggun pengen jadi nchep ya mbak?" Seno ikut nimbrung obrolan dari Anggun dan Farhan. Celutukan polos dan pelafalan chef namun dengan logat yang medok-nya membuat Farhan menolehkan wajahnya.
"Chef... Bukan nchep. Kamu kok gak belajar? Tadi katanya mau belajar tho, Sen?"
"Tadi pengennya gitu mas, tapi pas buka modul matematika, Seno jadinya ngantuk. Trus, modulnya Seno tutup kok ngantuknya ilang ya mas?" Ucap Seno dengan polos dan lugu. Tawa Farhan tidak bisa ditahan lagi.
"Hahahah... Itu artinya kamu harus temenan sama Matematika, atau mungkin malah harusnya sahabatan sama matematika. Biar kalau kamu buka modulnya, kamu gak ngerasa ngantuk"
"Kamu ini kok ada-ada aja Sen..." Marsih berucap itu lantas dia berdiri dan berjalan ke kamarnya. Tampaknya dia akan mengambil sesuatu. Selang beberapa menit, Marsih sudah kembali bergabung dengan semuanya. Sekarang, di tangannya sudah ada buku tabungan dan juga sertifikat deposito.
"Nak, ini.. Setiap kamu kirim uang ke ibu, uangnya ibu tabung. Terus kalau udah agak banyak, uangnya ibu pindahin ke deposito. Ini emang masih atas nama ibu, besok ya kita ke kantor bank buat ganti ke nama kamu" Marsih berucap itu sambil memberikan buku tabungan dan sertifikat deposito itu ke Farhan. Farhan sedikit tersentak karena kaget. Tangannya yang tadi mengacak rabut dan mengusili Seno langsung berhenti. Diambilnya semua yang ada di tangan Marsih.
"Bu, Farhan itu ngirim ini buat ibu sama Anggun. Bukan buat Farhan. Kalau tabungan, Farhan juga udah ada bu. Kan di sana Farhan kerja juga. Gajinya lumayan bu, jadi Farhan bisa nabung juga di sana." Ini diluar ekspektasi dari Farhan. Uang yang rutin dia kirim dari Jepang memang murni dia tujukan untuk ibu dan adiknya. Dia sama sekali tidak berharap kalau Marsih malah akan menabung uang yang selama ini dia kirim.
"Kamu lihat sendiri kan? Ibu dan adikmu tidak kekurangan sama sekali. Malahan, ibu sekarang bisa narik Seno juga. Kamu lebih membutuhkannya. Kamu kan habis kontrak sama perusahaan yang Jepan itu tho? Berarti kan kamu masih harus cari kerjaan lagi di sini atau mau balik lagi ke Jepan"
"Farhan udah dapat kok bu. Jadi, pas selesai kuliah, ada perusahaan otomotif Jepan yang punya pabrik di sini. Mereka buka lowongan, Farhan daftar, dan akhirnya ketrima bu. Minggu depan Farhan juga udah masuk kok bu. Mereka cuman kasih waktu seminggu buat Farhan istirahat dari Jepang" Sejujurnya, malam ini memang Farhan ingin memberitahukan semuanya tentang dirinya yang sudah diterima kerja di salah satu perusahaan otomotif.
"Kalau gitu, kamu lanjutin nabungnya. Kamu kan satu hari nanti juga bakalan nikah tho? Ini buat bekal kamu nanti" Jika sudah begini, Farhan tidak bisa menolak. Otak Farhan lalu berpikir keras bagaimana dia bisa membuat uang yang sudah dikumpulkan oleh Marsih itu. Dalam pemikiran Farhan, dia sekarang adalah pengganti ayahnya. Dia yang harus menjaga dan melindungi keluarganya. Sudah menjadi tanggung jawabnya untuk melakukan semuanya dan seolah Tuhan juga mendukungnya. Dia cukup mudah memperoleh pekerjaan kembali selepas kontrak kerjanya habis.
"Bu, kalau uang ini kita pakai untuk perbaiki warung gimana? Atau nanti kita bareng-bareng cari ruko. Kita pindah gitu gimana?" Tiba-tiba saja ide itu muncul di otak Farhan. Tidak ada salahnya juga kalau warung itu dipercantik sehingga pelanggan bisa lebih nyaman. Marsih tersenyum. Dia lantas menyadari bahwa anak lelakinya itu sifatnya lumayan keras. Sepertinya percuma saja memaksa Farhan untuk menerima uang kirimannya sendiri yang dia tabungkan di bank.
"Mas, kalau boleh nih Seno usul, bikin cabang aja mas. Kan tadi mbak-e kan mau sekolah chep, jadi nanti di tempat yang baru mbak-e yang jadi chep-nya. Bikin masakan yang enak, tapi murah mbak. Nanti kan mesti laku"
"Lha kamu kok pinter sih Sen kasih idenya? Bu gimana? Itu idenya Seno bagus lho bu. Kita bikin cabang aja. Tadi kan Anggun juga pengen belajar masak tho. Cocok sudah itu" Farhan langsung saja antusias. Celutukan spontan dari Seno tampaknya sangat masuk di otaknya.
"Lho, mas aku belum belajar masak lho. Kalau cuman disuruh masak yang kayak biasanya sih bisa. Masakan rumahan, tapi kalau masak yang kayak di tivi gitu ya belum bisa mas"
"Ya kursus Nggun... Kamu ambil aja kursus masak. Ambil kelas weekend. Mestinya gak susah buat kamu. Kan udah tiap hari di dapur tho?" Tampaknya Farhan serius dengan apa yang diucapkannya itu. Dia tidak main-main.
"Iya mbak-e. Biar keren gitu lho mbak. Kayak di tivi gitu. Ya tho mas?" Seno lalu mengompori Anggun untuk setuju dengan usulannya.
"Bu, gimana?" Anggun kini menoleh ke Marsih. Ditatapnya ibunya itu untuk mencari jawaban atas pertanyaanya. Marsih sendiri bingung mau jawab bagaimana. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi, jika berhasil maka hal itu bisa membuat Anggun menjadi percaya diri dan yang penting, bisa menjadi pegangan hidup untuknya di masa depannya. Namun, jika gagal, Marsih takut hal itu akan membuatnya menjadi terpuruk lagi. Merasa gagal kembali.
"Ibu terserah sama kamu. Kan kamu yang akan menjalani. Asal kamu siap dengan semua konsekuensi yang ada, ibu gak masalah. Ingat, kalau buka usaha itu kemungkinannya ya cuman dua. Gagal atau sukses. Kalau sukses sih gak perlu diomongin, kalau nanti misalnya gagal, apa kamu udah siap?" Marsih memberikan pengertian untuk Anggun.
"Ya udah deh, nanti Anggun pikirin lagi. Tapi nanti kalau iya, tetep bantuin ya?" Jawab Anggun akhirnya.
Mereka terus saja berbincang dengan ringan. Banyak cerita yang terungkap, banyak canda yang tercipta. Semuanya tersenyum ringan malam itu.
TING TONG...
Bunyi bel rumah membuat mereka semua spontan berhenti. Reflek, Anggun berdiri dan membuka pintu depan rumah mereka. Farhan mengikuti dari belakang. Marsih dibantu oleh Seno membereskan piring-piring yang tadinya penuh dengan gorengan, kini kosong tidak tersisa.
Ceklek..
Yang ada di depan Anggun sekarang adalah Andro. Farhan yang ada di belakang Anggun, langsung menarik hingga membuatnya merubah posisi. Sekarang, Anggun yang ada di belakang Farhan.
"NGAPAIN LO KE SINI, ANJING!"
"Gu..e.. mau ketemu Anggun"
BRUK...
Dengan kasar Farhan mendorong tubuh Andro hingga dia terjatuh ke tanah. Andro tidak melawan.
"Gue.. Gue.. Pengen ketemu Anggun, gue pengen minta maaf. Gue beneran nyesel. Gue minta maaf"

KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Your Man (Tamat)
RandomHari sudah menjelang petang kala itu. Anggun melangkah tertatih keluar dari gudang sekolah. Tubuhnya terluka, namun hatinya jauh lebih terluka dari yang terlihat. Habis sudah air matanya meruntuki apa yang terjadi padanya. Dia sendiri tidak lagi bis...