Pemakaman umum. Disana, terdapat seorang pria dewasa dengan kantong kresek yang berisi bunga tabur. Langkahnya tegap menyusuri bagian-bagian dalam pemakaman tersebut. Kakinya berhenti melangkah saat matanya tertuju pada satu batu nisan dengan tulisan nama "Sudarto" di sana. Dia berjongkok, lalu membersihkan dulu rumput-rumpt liar yang tumbuh di makam tersebut. Mengusap pelan batu nisan yang terukir nama orang yang sangat dia hormati dan cintai. Ada rasa rindu di setiap sentuhan tangannya. Setelah berdiam sejenak, Farhan lalu membuka bunga tabur, lalu menaburkannya di makam ayahnya. Selesai menabur, tangannya menengadah ke atas, sambil mengucapkan syukur karena masih bisa mengunjungi makam ayahnya, dia juga memanjatkan doa untuk ayahnya itu.
"Pak, Farhan udah pulang dan balik. Farhan janji pak untuk jagain ibu dan juga Anggun. Maafin Farhan ya pak, dulu Farhan gagal jagain Anggun sampe kejadian seperti itu. Sekarang, Farhan pengen nebus semuanya. Farhan pengen jagain ibu sama Anggun pak. Jadi, bapak tenang aja di sana." Seusai berdoa, Farhan tidak langsung pulang. Dia masih berjongkok di sisi kanan makam. Seolah di depannya masih ada sosok Darto, Farhan seperti mengajak berbicara Darto.
"Pak, kalau boleh jujur ya pak, Farhan pengen banget bales dendam ke mereka semua yang udah bikin kita jadi kayak gini. Bikin Anggun jadi seperti sekarang. Tapi, bapak sama ibu pasti gak bolehin kalau Farhan balas dendam kan pak? Farhan sejujurnya gak rela pak. Anggun harus menanggung akibat kelakuan mereka, bahkan seumur hidupnya. Keluarga kita juga jadi kayak gini pak. Pak, doain Farhan ya pak. Biar bisa ikhlas dengan semua ini. Biar bisa jalanin amanah bapak"
"Farhan akan jaga amanat bapak yang terakhir kalau Farhan gak boleh balas dendam. Biarin Tuhan aja yang ngurus masalah itu"
Farhan seolah tidak mau beranjak dari tempatnya sekarang. Hari sudah beranjak siang. Farhan akhirnya menyelesaikan rasa kangennya pada ayahnya. Sebelum dia beranjak dan meninggalkan makam ayahnya, dia sempat mencium dengan penuh perasaan nisan itu.
Waktu sudah menunjukkan tengah hari. Matahari saat itu cerah dan sangat terik. Kondisi warung Marsih siang seperti ini bisa dipastikan akan ramai. Banyak yang akan menghabiskan waktu makan siangnya di warung ini. Farhan cukup senang melihat pemandangan yang ada di depannya itu. Walaupun bangunan warung Marsih bisa dibilang sederhana. Tidak juga berada di jalan utama kota, namun tetap banyak pelanggan yang datang untuk makan.
"Bu, Farhan bisa bantu apa?" Tanya Farhan yang mengejutkan Marsih yang saat itu ikut melayani pembeli.
"Udah, kamu duduk aja di meja kasir. Kamu urusin pembayaran aja bisa kan?" Sebenarnya, Marsih, Anggun dan Seno sudah sangat terbiasa dengan kondisi ramai seperti saat ini. Selama ini juga mereka bisa menangangi kondisi ini dengan bertiga saja, tapi untuk berkata tidak kepada Farhan, Marsih tidak cukup tega. Akhirnya Marsih meminta Farhan untuk mengurusi masalah kasir di warung.
Farhan hanya menuruti saja perkataan dari Marsih. Kehadiran Farhan di warung Marsih ternyata membuat pelanggan-pelanggan warung itu bertanya-tanya. Penampilan Farhan yang khas dengan harajuku style, ripped jeans, fit slim t-shirt yang memperlihatkan lengannya yang sedikit berlemak dan kulitnya yang lebih cenderung terang membuat pelanggan wanita di sana tidak memalingkan wajahnya.
"Mbak.. Mbak... Itu pegawai baru ya mbak? Yang mas-mas ganteng di kasir itu.." Bahkan sekarang ada pelanggan yang secara frontal bertanya pada Anggun. Pertanyaan itu membuat Anggun harus menolehkan kepalanya ke arah meja kasir yang ternyata di sana sudah ada Farhan duduk anteng sambil bermain dengan ponselnya menanti pelanggan yang ingin membayar makanannya.
"Itu mas Farhan. Kakak saya sih mbak. Baru pulang dari Jepang dia" Jawab Anggun dengan senyum ringan. Dalam hatinya dia ingin tertawa melihat kakaknya yang ternyata mempunyai banyak fans dadakan.
"Ih, mbaknya kok gak bilang-bilang sih punya kakak ganteng kayak gitu"
"Iya mbak, jangan disembunyiin gitu kakaknya. Ganteng parah lho! Rugi kalau disembunyiin"
"Mbak, bagi nomernya dong.."
Dan masih banyak komentar-komentar random lainnya dari pelanggan warung. Sementara, Farhan sendiri yang menjadi pusat perhatian dari pelanggan-pelanggan wanita malahan santai dan cuek saja. Baginya, game di ponselnya jauh lebih menarik dari wanita-wanita yang ramai meributkan dirinya.
Sore menjelang. Akhirnya waktu untuk tutup warung tiba. Mereka berempatpun segera memberesi dan pulang ke rumah.
"Mas, tadi banyak lho cewek-cewek yang nanyain mas" sambil menunggu taksi online Anggun membuka obrolan. Mendengar itu, Farhan hanya melirik dan dan tersenyum saja. Tidak terlalu menanggapinya.
"Eh, lha kok sama. Tadi juga banyak yang nanya gitu ke Seno juga lho mbak. Malahan ada yang minta nomer hapenya mas Farhan" Seno turut menambahi. Malahan, Seno lebih heboh dibandingkan dengan Anggun.
"Gak kamu kasih kan?" Tanya Farhan ke Seno. Dia akan sangat terganggu jika nomer ponselnya sampai diketahui oleh orang lain diluar lingkaran keluarganya.
"Wong Seno juga gak punya nomernya mas"
"Mas, mas Farhan itu seneng cewek gak sih? Kok dingin gitu ya sama cewek?" Pertanyaan usil dari Anggun membuat Farhan langsung tertawa ringan. Dia normal. Hanya saja dia memang tidak bisa langsung akrab dengan wanita. Apalagi wanita yang sifatnya agresif, langsung akan dia hindari wanita seperti itu.
"Mas itu normal, Nggun. Cuman mas mau fokus kerja dulu sekarang, sama nyenengin kamu sama ibu. Gitu" Ucapnya sambil tangannya mengacak gemas rambut Anggun. Keduanya nampak akrab dan tertawa bersama. Marsih dan Seno yang melihat eratnya hubungan kakak adik anaknya. Mereka berdua ikut tertawa bersama-sama.
Jika Marsih dan Seno sangat senang melihat bagaimana gemasnya Farhan ke Anggun, tapi tidak dengan Andro yang melihat itu semua dari sisi jalan. Dia masih di dalam mobilnya. Di balik kaca hitam mobilnya, dia bisa memandang semua pemandangan di depannya.
"Emang siapa tuh cowok? Kok akrab banget sama Anggun? Nempel-nempel gitu? Gak mungkin dia cuman pembantu atau kerja di warungnya Anggun. Gak mungkin. Trus siapa sih dia?" Andro mengomel sendirian di mobilnya. Sepulang dinas, dia bermaksud untuk ke warung Marsih dan ingin kembali minta maaf ke Anggun. Dia memang sudah melakukannya tapi Anggun belum memberikan jawabannya. Selain itu, dia ingin lebih mendekatkan diri ke Anggun. Dia masih dengan rencananya untuk menjadikan Anggun sebagai pendamping hidupunya. Tapi kembali lagi, untuk mendapatkan maafnya saja dia belum.
"Apa gue samperin aja langsung ya?" Andro bergumam sendirian. Dia lantas menarik kunci mobilnya dan akan membuka pintu mobil, tapi entah mengapa dia mengurungkan kembali.
"Lha kan gue bukan siapa-siapanya. Trus kalau tuh orang ternyata suaminya Anggun atau cowoknya? Gimana coba?"
"Tapi kan Anggun udah gue masukin. Dia gak perawan lagi, lha emang ada gitu yang mau sama dia?"
Kelakuan aneh dari Andro adalah dia suka berbicara sendiri kalau sedang galau. Saat otaknya masih sibuk dengan semua pikiran-pikiran yang cenderungnya negatif, dia malah mengabaikan apa yang terjadi dengan empat orang di seberang jalan. Tersadar dan tergagap dari lamunannya, Andro seolah terlupa dengan tujuan utamanya. Namun, saat pandangannya terarah ke seberang jalannya dan yang ada di depannya adalah warung Marsih yang sudah tertutup dengan pintu yang sudah digembok.
"Sial! Anjiirr! Gara-gara ngelamun jadinya ilang kan Anggun! Ndro.. Ndro lo tuh goblok kok ya abis-abis!" Andro memaki-maki dirinya sendiri. Sekarang, satu yang dia tahu adalah dia harus selidiki dulu siapa lelaki yang terus menempel di Anggun itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Your Man (Tamat)
RandomHari sudah menjelang petang kala itu. Anggun melangkah tertatih keluar dari gudang sekolah. Tubuhnya terluka, namun hatinya jauh lebih terluka dari yang terlihat. Habis sudah air matanya meruntuki apa yang terjadi padanya. Dia sendiri tidak lagi bis...