Hari senin. Seperti biasanya hari yang lebih sibuk dibandingkan dengan hari lainnya. Sama halnya dengan warung Marsih. Biasanya akan lebih ramai jika dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Untungnya, Seno cukup cepat beradaptasi dan bisa membantu Marsih dan Anggun. Sejak warung buka, pelanggan terus datang, membuat mereka bertiga baru bisa beristirahat selepas jam istirahat siang kantor selesai. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Pelanggan yang tadinya memenuhi warung makan Marsih, sudah sangat berkurang. Ketiganya kini bisa sedikit bersantai sambil menonton tayangan tivi yang menampilkan acara gosip artis.
"Selamat siang bu Marsih...." Sedang mereka bersantai tiba-tiba ada suara yang cukup familiar di telinga Marsih. Bergegas Marsih berdiri dan sekarang dia mendapati pelanggan warung makannya yang paling sering memesan dalam jumlah besar.
"Oh.. Pak Wiryo.. Tumben banget pak ke sini. Biasanya mas Heru atau mbak Rini yang ke sini" Heri dan Rini adalah orang yang sering datang ke warung Marsih untuk mengambil pesanan makanan atau memberikan orderan pesanan ke Marsih.
"Ini lho bu Marsih, istri saya itu penasaran sama warungnya ibu. Jadi ya saya bawa ke sini" Memang benar kalau Gina penasaran. Setelah mendengar cerita Andro dan juga penuturan tentang bagaimana Wiryo membantu Anggun dengan menjadi pelanggan warung makannya, Gina mendesak Wiryo untuk menunjukkan bagaimana keadaan yang sebenarnya. Gina menjadi semakin penasaran saat Andro dengan terang-terangan ingin melamar Anggun. Bagaimanapun dia harus tahu calon menantunya.
"Lhoalah pak, lha kangen itu ya sama masakannya saya tho. Masak kok kangen sama warungnya" Marsih meladeni dengan ringan Wiryo.
"Ini lho mah warungnya. Di sini itu yang paling enak sayur asem-nya. Sama pepes tongkol. Seger gitu rasanya. Tapi sayur lodeh sama empal dagingnya juga enak. Sering kok anak kantor mesennya di sini." Wiryo malah tampak mempromosikan masakan yang memang menjadikan warungnya ramai. Mendapati promosi gratisan dari Wiryo, Marsih hanya tersenyum simpul saja.
"Ya udah bu, saya bisa nggak dibungkusin sayur lodeh, pepes tongkol, sayur asem nya juga ya bu. Masing-masing empat porsi. Saya jadi penasaran gimana rasanya" Sederhana. Itu kesan pertama yang ada di kepala Gina.
"Gak sekalian dengan empal gorengnya bu? Biar tambah komplit. Nanti saya bungkusin terpisah aja biar gak nyampur" Sekarang giliran Marsih yang mencoba berpromosi. Gina hanya mengangguk saja. Toh sebenarnya tujuan utamanya ke sini bukanlah untuk merasakan masakan Marsih.
"Nggun, sini nak. Bantuin ibu bungkusin buat pak Wiryo" Panggil Marsih ke Anggun. Dengan segera saja Anggun beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Marsih.
"Pak Wiryo tumben kesini. Biasanya juga mbak Rini kan pak yang ke sini. Oh, ini sama ibu ya pak?" Anggun yang sudah mengenal Wiryo langsung menyapa dengan ramah. Wiryo hanya tersenyum menanggapi sapaan dari Anggun. Melihat bahwa yang ada di depannya itu adalah Anggun, sosok yang sejak kemarin malam menjadi topik pembicaraan antara dia dan kedua lelaki yang ada di rumahnya, membuat Gina tidak bisa mengalihkan fokus pandangannya. Sederhana. Tidak berlebihan. Dua hal itu yang menjadi penilaian utama dari Gina kepada Anggun.
"Jadi itu yang namanya Anggun, mas? Gadis itu yang Andro ceritakan kemarin?" Sementara Anggun dan Marsih membungkusi pesanan dadakan dari Wiryo, Wiryo dan Gina memilih untuk duduk di kursi yang agak jauh dari posisi Marsih dan Anggun.
"He em.." Wiryo mengangguk saja menjawab pertanyaan dari istrinya itu.
"Kasihan anak itu. Semoga saja dia mau mamaafkan kelakuan anak kita. Kalau Andro memang mau menjadikannya istri, mama gak keberatan sih. Anaknya kalem kayaknya. Gak neko-neko."
"Sungguh, aku masih tidak menyangka sama sekali kalau kedua anak kita mempunyai kelakuan seperti itu. Sungguh malu rasanya" Kembali Gina melanjutkan omongannya.
"Mungkin kita juga yang salah. Kita terlalu memanjakan mereka. Selalu nurutin apa yang mereka mau, tanpa tahu kalau itu semuanya salah dan membuat mereka menjadi seperti itu. Kita berdua yang salah" Wiryo menanggapi dengan bijak curhatan dari Gina.
Obrolan keduanya terhenti saat Anggun dibantu Seno membawakan pesanan dari Wiryo. Dua tas kresek besar yang dibawa oleh Anggun dan Seno. Semuanya berisi pesanan dari Wiryo.
"Ini pak, bu pesanananya. Semoga ibu cocok dengan masakan ibu saya" Anggun dengan sopan menaruh tas kresek tersebut di depan Wiryo dan Gina.
"lho tadi kan saya gak pesen perkedel?" Plastik yang digunakan memang plastik bening, sehingga terlihat apa saja yang ada di dalamnya.
"Gak apa-apa bu. Gratis kok. Tanda kenal dari kami. Kalau sama pak Wiryo kan udah sering ketemu, ini baru pertama kalinya kan ibu ke sini" ucap Anggun disertai dengan senyuman.
"Waduh.. Terima kasih lho ya. Saya jadinya seneng nih kalau dapat bonus seperti ini" Gina lantas menerima bungkusan itu dengan senang hati.
"Mari pak, saya masukkan saja di mobil" Kali ini Seno yang menawarkan bantuannya untuk membawakan semua pesanan dari Wiryo.
***
"Kenapa? Kenapa cuman Anggun yang ada di otak lo?"
"Kenapa? Kenapa cuman Anggun yang ada di otak lo?"
Pertanyaan dari Keanu terus berputar seperti kaset usang di kepala Andro. Dia sendiri tidak bisa menjawab. Dari puluhan orang yang sudah dia bully habis-habisan semasa dia sekolah, kenapa harus Anggun yang sekarang ini menguasai pikirannya? Entah, Andro sendiri tidak bisa menjawab. Jika memang hanya rasa bersalah, harusnya dia juga merasa bersalah kepada semuanya korbannya, bukan? Jika dia memang menggebu ingin minta maaf, dia harusnya berlaku adil dengan mencoba meminta maaf kepada semuanya bukan? Bukan Cuma Anggun yang menderita atas kelakuan buruknya di sekolah. Semua korban bullyingnya juga pasti menderita. Tapi, hanya ada Anggun di otak Andro.
Jam istrirahat siang ini digunakan Andro dengan makan siang di kantin markas kepolisian tempatnya berdinas. Semangkok nasi soto yang ada di depannya hanya diaduk-aduk saja. Dia sudah kehilangan selera makan. Pikirannya kacau.
"Kamu itu mau makan atau mau bikin bubur? Itu nasi soto kamu aduk terus?" Radit yang sedari tadi duduk di depan Andro menjadi jengah sendiri. Sangat tidak biasanya juniornya ini bersikap seperti ini. Andro tentu saja tersentak dengan pertanyaan sarkas dari Radit.
"Maaf bang. Lagi banyak pikiran" Jika sudah seperti ini, Andro tidak mungkin lagi untuk mengelak.
"Mau cerita? Barangkali abang bisa bantuin kamu" Radit mencoba menawarkan bantuan. Selama ini memang Andro mendapatkan sosok seorang kakak yang sangat bijak dalam sosok seorang Radit. Dengan sangat sabar dan telaten Radit selalu membimbing Andro baik dalam hal pekerjaan dan dalam hal lainnya.
Andro sekarang yang bingung sendiri dengan tawaran dari Radit. Apa mungkin dia akan menceritakan aibnya sendiri kepada orang lain, meskipun dia sudah sangat mempercayai orang itu dan bahkan sudah menganggapnya sebagai kakaknya sendiri? Apakah setelah dia menceritakan semuanya, Radit akan tetap menganggapnya sebagai seorang adik? Sejujurnya, Andro tidak siap untuk itu. Figur seorang kakak yang memberikan panutan dan hal-hal positif yang selama ini tidak dia dapatkan, bisa dia peroleh dari Radit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Your Man (Tamat)
RandomHari sudah menjelang petang kala itu. Anggun melangkah tertatih keluar dari gudang sekolah. Tubuhnya terluka, namun hatinya jauh lebih terluka dari yang terlihat. Habis sudah air matanya meruntuki apa yang terjadi padanya. Dia sendiri tidak lagi bis...