Radit dan Andro kini berada di salah satu cafe. Sesudah befikir dalam, akhirnya Andro memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada Radit. Kaget? Tentu saja. Radit tidak pernah menyangka jika Andro ternyata mempunyai kelakuan yang buruk di masa sekolahnya. Saking kagetnya, sekarang dia yang hanya diam setelah Andro menceritakan semuanya. Dalam pemikiran Radit, Andro adalah sosok yang masuk kategori nice boy, tidak pernah bermasalah, dan kalaupun terlibat masalah kenakalan, hanya sebatas kenakalan remaja biasa saja. Tidak sampai pada hal yang berbau kriminal.
Diamnya Radit justru membuat Andro merasa sangat bersalah. Sekarang, dia tahu jika seniornya yang sudah menjadi sosok dan figur seorang abang baginya itu sangat kecewa padanya.
"Jadi ini alasan utama kamu waktu kamu nolak kasus perkosaan itu? Bener?" Akhirnya Radit membuka suara juga. Sekarang, di otak Radit, dia langsung mencoba merangkai puzzle tentang beberapa kejadian akhir-akhir ini.
Andro masih terdiam dan hanya menanggapi pertanyaan dari Radit itu dengan anggukan kepala saja. Bahkan sekarang, dia tidak berani secara langsung menatap mata Radit. Dia tahu, jika dia sudah mengecewakan seniornya itu.
"Jangan-jangan kamu kemarin yang dapat Surat Peringatan itu ada hubungannya sama ini semua?" Radit memandang Andro dengan tajam. Dia seperti menuntut jawaban dari juniornya itu.
"Waktu itu pengen pastiin kalau itu emang Anggun, bang. Makanya Andro datengin warung itu pagi-pagi. Udah Andro tungguin, tapi gak datang-datang juga Anggun, trus setelah nanya ke tukang parkir, akhirnya tahu kalau mereka buka-nya agak siangan. Jam sembilan biasanya mereka baru buka"
"Jadi, karena kamu nekat buat pastiin itu semua dan kamu lebih milih buat dapat surat peringatan? Gitu?" Lagi, hanya anggukan kepala yang didapatkan oleh Radit sebagai jawabannya.
"Trus?" Radit kembali bertanya, namun Andro masih tidak tahu maksud dan arah pertanyaan dari Radit. Andro hanya mendongak dan memicingkan matanya, tanda bahwa dia masih kebingungan dengan pertanyaan dari Radit.
"Kamu udah ngelakuin apa sekarang? Kamu udah tahu kalau itu emang Anggun, orang yang udah kamu rusak dulu. Kamu juga udah open ke orang tua kamu juga. Trus sekarang, kamu udah lakuin apa? Kamu punya rencana apa abis ini? Gak mungkin kan kamu cuman duduk manis doang di sini?"
"Gak tahu bang. Jujur Andro pengen cepet-cepet selesaiin semuanya, tapi Andro kayak ketakutan sendiri. Mau dateng ke tempatnya udah bikin lemes dulu" Mendengar jawaban Andro, Radit geregetan sendiri. Wajahnya langsung menampakkan bahwa dia kebingungan dengan sikap Andro yang menurutnya tidak mau berjuang.
"Warungnya masih di kota ini kan?" Tiba-tiba saja Radit bertanya dengan pertanyaan yang tidak dimengerti oleh Andro.
"Warungnya Anggun? Iya bang, masih di kota ini" Jawab Andro
"Besok anterin abang ke sana!"
"Ngapain bang?"
Radit berdiri dari tempatnya, diambilnya gelas dan dengan sekali tegak dia menghabiskan ice capuccino-nya. Sambil matanya menatap tajam ke arah Andro, Radit lantas berucap:
"Mau ngelamar Anggun. Dia di warung sama ibu-nya kan? Sekalian ngomong ke ibunya kalau abang mau ngambil Anggun jadi istrinya abang! Kasihan Anggun kalau sampe jadian sama kamu! Laki kok gak gantle!" Tentu saja Radit mengatakan itu karena dia sangat geregetan dengan Andro. Sengaja hal itu dilakukan untuk memancing Andro untuk segera menemui Anggun dan menyelesaikan permasalahan mereka. Perkara nantinya Anggun akan memberikan maafnya dan menerima Andro di kehidupannya atau tidak, itu sudah urusan yang lain. Dan tampaknya usaha kecil dari Radit itu berhasil. Andro langsung berdiri dan mensejajarkan dirinya dengan Radit. Dengan wajah sedikit panik dia berucap:
"Bang, jangan dong bang.. Jangan gitu bang. Andro janji, secepatnya Andro selesaikan. Kasih Andro kesempatan bang" Jika bisa digambarkan, wajah Andro sekarang adalah perpaduan wajah panik dan ketakutan.
"Namanya tadi Anggun Febriani kan? Dia satu sekolah sama kamu? Kalau kamu gak mau nganter abang, besok tinggal abang minta anak-anak buat nyelidikin semuanya. Gampang buat abang nemuinnya" Selesai mengatakan itu, Radit berbalik dan meninggalkan Andro. Tinggal kini Andro yang semakin panik. Setahu Andro, Radit tipe orang yang tidak pernah bercanda dalam perkataannya.
***
Hari menjelang sore. Pelanggan di warung Marsih juga sudah sangat berkurang. Sekarang ini Seno sedang mencuci piring dan gelas kotor sedangkan Anggun membereskan sisa makanan yang belum terjual hingga sore ini. Marsih, sedang menghitung uang yang bisa mereka dapatkan hari ini sembari melihat apakah besok ada pesanan yang harus mereka selesaikan atau tidak.
Selesai berberes, mereka lalu sedikit melepas lelah setelah seharian ini berjualan dan menghadapi pelanggan-pelanggan mereka.
"Bu, udah pesen taksi belum?" Tanya Anggun setelah memastikan pintu warung sudah terkunci
"Belum. Kamu pesen aja dulu." Jawab Marsih singkat sambil menenteng tasnya. Anggun mengangguk dan dengan segera mengeluarkan ponselnya. Dia segera memesan taksi online untuk mengantar mereka kembali ke rumah.
"Nggun, besok kamu ke bank ya. Setor uang dulu, biar besok warung ibu sama Seno yang ngurusin dulu. Habis dari bank, kamu langsung ke warung ya" Anggun dan Seno kompak mengangguk saja menjawab perkataan dari Marsih.
"Bu, besok ada pesanan besar gak sih?" Tiba-tiba Seno bertanya ke Marsih.
"Kayaknya gak ada pesanan. Emang kenapa? Ada yang kelupaan belum kamu catet pesanannya?"
"Enggak sih bu, kalau emang gak ada pesanan besar kan masaknya besok subuh tho, jadi nanti Seno bisa belajar. Kemarin habis ambil modul, belum Seno lihat modulnya bu" Seno memang akhirnya menuruti Marsih untuk mengambil Kejar Paket C untuk menyelesaikan pendidikannya yang terputus.
"Boleh. Kamu nanti belajar aja. Jangan nonton tivi terus kamu" Seno tersenyum mendengar perkataan Marsih. Perkataan itu mengingatkan pada perkataan orang tuanya. Seketika rasa hangat menjalar di hatinya. Tampaknya tidak salah jika Seno sudah menganggap Marsih dan Anggun sebagai keluarganya sendiri.
"Bu, menurut ibu kalau Anggun juga ikut kayak Seno gimana? Kok Anggun juga pengen ya kayak Seno, ambil paket c gitu. Kan dulu Anggun juga gak selesai bu.." Marsih langsung kaget mendengar permintaan Anggun. Dia tentu saja ingin anaknya bisa meraih apa yang dicita-citakan.
"Iya mbak-e. Ambil aja kayak Seno. Jadi ntar kan bisa belajarnya barengan. Trus pas ambil ujiannya juga bisa barengan juga" Seno jadi lebih semangat setelah mengetahui jika Anggun juga akan mengikuti paket c.
"Maksud mbak juga gitu. Kalau ada temennya kan bisa saling bantu. Gitu sih. Gimana bu? Boleh enggak?"
"Ya pasti boleh. Gak mungkin ibu bilang gak boleh kan? Bener kayaknya dulu kita milih Seno. Dia bisa bantuin ibu di warung, dia juga bisa jadi temen kamu belajar" Marsih membelai lembut rambut Anggun. Lantas dia kembali berucap
"Saatnya sekarang kamu melihat ke depan. Kamu gak boleh kalah sama masa lalu kamu. Ibu seneng banget dengernya kalau kamu mau nerusin sekolah kamu"
Anggun tersenyum mendengar ijin dari ibunya. Melihat bagaimana semangat Seno yang bekerja dan juga melanjutkan sekolahnya menjadi pemicu semangat juga untuk Anggun. Dia sekarang juga ingin menggapai impiannya dulu yang sempat hancur. Harus ada titik balik dalam setiap kejadian dan tampaknya Anggun sudah memutuskan bahwa ini adalah titik baliknya. Dia harus bisa berdamai dengan masa lalunya dan kemudian menata kembali masa depan dengan apa yang dia punya sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Your Man (Tamat)
RandomHari sudah menjelang petang kala itu. Anggun melangkah tertatih keluar dari gudang sekolah. Tubuhnya terluka, namun hatinya jauh lebih terluka dari yang terlihat. Habis sudah air matanya meruntuki apa yang terjadi padanya. Dia sendiri tidak lagi bis...