"Sini lo! Cewek cupu gak tahu diri!"
"Ma..aaff kak.. Salah Anggun apa kak?"
"Salah lo tuh, udah miskin, muka lo udah kayak parutan kelapa, masih beraninya lo naksir abang gue! Hah!"
"Udah!! Kita kasih aja dia kenang-kenangan dari kita!"
"Ammppuunn... Kak... Jangan...."
"Awas sampe lo cerita ini semua! Habis lo sama kita!"
"Hiks.. Hiks.. Apa salahku ke kalian? Kenapa kalian lakuin ini semuanya?"
"HAHAHAHA!! Lo tuh kayak buntelan beras! Item! Buluk! Ngapain gak mati aja sekalian?"
***
Peristiwa itu kembali terulang di kepala Andro. Semua tampak jelas, seperti baru kemarin saja peristiwa itu terjadi. Mendesah kasar, Andro memilih bangkit dari tempat tidurnya. Sejak dirinya harus menangani kasus perkosaan dan membuatnya kembali mengingat apa yang sudah dilakukannya dulu, Andro menjadi insomnia. Dia tidak bisa tidur dengan tenang di malam hari.
Jam menujukkan pukul satu dini hari. Kondisi rumah sudah sepi. Lampu di ruang keluarga sudah diredupkan. Andro memilih pantry ruang makan. mungkin dengan minum susu hangat, dia bisa mengistirahatkan tubuhnya. Setelah menghangatkan susu yang dia ambil dari kulkas, Andro mendudukan dirinya di kursi pantry. Pandangannya menerawang. Terasa kosong.
"Gimana caranya buat gue ngomongnya ke lo? Gue kayak pengecut gini! Gak cocok dah sama kerjaan gue" Monolog Andro sambil mencecap susu yang masih panas.
Bosan bermonolog sendiri, Andro mengeluarkan ponselnya. Dibukanya file memori untuk mencari foto yang tadi dia ambil diam-diam. Walaupun foto yang diambilnya tadi buram dan kurang jelas, namun dia masih bisa melihat bagaimana wajah Anggun sekarang.
"Lo gak berubah banyak sih Nggun, Lo masih seperti dulu. Hm... Kalau dilihat kulit lo tuh bikin lo makin unik" Andro masih saja menggumam sendirian.
Lebih dari setengah jam dan Andro masih saja duduk. Gelas di depannya juga sudah habis. Masih saja mata dan pikirannya terjaga dengan sempurna. Kini, malahan pikirannya memutar kembali masa sekolah dulu. Masa ketika dia sangat bebas dengan segala kesombongan dan arogansi yang ada pada dirinya. Mempunyai orang tua yang sangat memanjakannya, tidak pernah menegur ketika dia berbuat salah dan materi yang melimpah, membuatnya seolah tidak mempunyai rasa bersalah sama sekali dengan semua yang dilakukannya. Sebejat apapun itu.
Jengah karena tidak juga merasakan kantuk, Andro beranjak kembali ke kamarnya. Sesampainya di kamar, dia tidak beranjak ke kasurnya, namun dibukanya balkon kamarnya. Membiarkan tubuhnya terkena udara dini hari yang cukup dingin. Dirabanya saku di celana pendeknya. Menemukan benda yang dia cari, segera dia menyalakannya. Segera, asap mengebul dari rokok yang sekarang sekarang bertengger di bibir tipisnya.
"Gue udah lama gak nyentuh rokok. Hm.. Ya.. Sejak gue masuk akademi, gue gak pernah nyentuh rokok lagi. Dan sekarang, gue butuh batang sialan ini lagi. Lo tahu? Lo udah bikin gue kayak gini! Bikin gue ngerasa bersalah buat pertama kalinya! Bantu gue! Bantu gue buat bisa lebih tenang lagi. Kasih tahu, gue harus gimana" Kembali Andro bergumam sendirian. Menghabiskan tiga batang rokok, Andro merasa tubuh lelahnya harus diistirahatkan. Tiga batang nikotin itu membuat otaknya mampu lebih tenang sehingga kini dia mulai merasakan kantuk.
Pagi harinya, tidak ada yang spesial. Masih dilalui keluarga Wicaksono itu dengan rutinitas seperti biasanya. Sarapan masih merupakan aktivitas pertama di keluarga itu. Selesai menghabiskan sarapan paginya, Andro bergegas untuk beraktivitas. Dia tidak langsung ke markas kepolisian tempatnya berdinas, tapi dia akan warung makan tempat dia bertemu dengan Anggun kemarin. Dia ingin memastikan, bahwa apa yang dilihatkany itu bukanlah satu halusinasi atau imajinasi liar yang ada di kepalanya, karena rasa bersalah yang mungkin sudah sangat telat ada di hatinya.
Selepas Andro pergi, kini tinggal kedua orang tua Andro yang ada di rumah. Hari ini Wiryo memang berangkat lebih siang. Posisinya sebagai pendiri perusahaan dan sekaligus pemegang saham utama, cukup membuatnya leluasa menentukan sendiri jam kerjanya. Perusahaan advertising miliknya memang bukan perusahaan besar atau bagian dari konglomerasi, tapi setidaknya dari perusahaan yang dia rintis dari sejak dia masih kuliah dulu itu mampu menopang hidup keluarganya.
"Yah, kemarin Elena sempat curhat ke mama. Dia bilangnya kalau ayah udah gak perhatian lagi sama dia. Katanya juga, kartu kreditnya ayah kasih limit ya?" Gina mencoba membuka pembicaraan dengan Wiryo soal Elena. Dia sengaja menunggu Andro untuk berangkat kerja lebih dulu baru dia membicarakan masalah ini dengan suaminya itu.
"Justru itu adalah bentuk perhatian ayah ke dia. Coba mama lihat sendiri. Jam segini dan dia belum juga bangun, nanti kalau dia telat kuliah dia nyalahin kita yang gak bangunin dia. Dia gak lulus, nyalahin dosennya. Kapan dia bisa dewasa mah kalau kita biarin dia kayak gitu terus?"
"Tapi apa harus sekeras itu ke Elena yah?"
"Ayah sudah sering bicara baik-baik ke Elena. Ayah sering peringatin dia. Ayah udah kasih tahu konsekuensinya kalau melanggar. Dia mikirnya kalau ayah gak bakalan lakuin itu semuanya, itu salah. Ayah tetap akan lakuin semua yang udah ayah katakan. Setahun lagi, dia harus lulus kuliahnya. Ayah akan hentikan dana pendidikan buat dia. Terserah dia mau lanjutin sendiri pakai uangnya sendiri atau milih D.O dari kampusnya."
"Tapi dia anak perempuan yah. Jangan keras gitu sama Elena"
Wiryo tidak menjawab. Dia malah mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi mobile banking dan kemudian menunjukkan ke Gina.
"Mama liat, berapa pengeluaran kartu kredit yang dipegang Elena. Liat juga dimana dia menggunakan kartu kreditnya itu" Gina yang menerima langsung membelalakkan matanya melihat rincian tagihan kartu kredit yang digunakan Elena.
"Liat mah, apa wajar anak kuliahan macam Elena transaksi sampai puluhan juta per bulan? Apa wajar juga kalau dia pake kartu kreditnya di klab malam? Diskotik? Mau jadi apa dia? Bukannya belajar yang bener malah keluyuran gak jelas! Trus apa ayah salah kalau sekarang ayah limit kartu kreditnya?" Gina lalu menyerahkan kembali ponsel Wiryo.
"Kita selama ini terlalu memanjakan kedua anak kita mah, tanpa kita tahu kalau itu semuanya salah. Mungkin sekarang ayah akan mulai tegas dan mungkin juga akan keras ke Elena. Jujur saja, ayah belajar dari Andro dulu. Ayah harus keras dulu ke dia, baru dia bisa berubah. Sekarang mama bisa lihat kan, dia bisa berubah. Dibanding dulu sebelum ayah paksa dia masuk kepolisian, dia jadi lebih baik kan"
Gina terdiam mendengar ucapan panjang dari Wiryo. Dia tidak mampu membantahnya. Dia juga sangat kaget dengan fakta baru yang ditunjukkan oleh Wiryo. Tidak ada pilihan lain bagi Gina sekarang selain dengan menuruti apa yang sudah diputuskan oleh Wiryo.
"Apa sih maunya ayah? Gak asyik neh kalau gini!" Tanpa Wiryo dan Gina sadari, Elena mendengarkan mereka. Wajah Elena yang sudah kusut karena bangun kesiangan dan minggu ini adalah minggu ujian di kampusnya, dan dia harus telat masuk ke kampus gara-gara tidak ada yang membangunkan dia. Tampaknya, kini sudah tidak ada yang perhatian dengannya lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Your Man (Tamat)
RandomHari sudah menjelang petang kala itu. Anggun melangkah tertatih keluar dari gudang sekolah. Tubuhnya terluka, namun hatinya jauh lebih terluka dari yang terlihat. Habis sudah air matanya meruntuki apa yang terjadi padanya. Dia sendiri tidak lagi bis...