"hahahaha... Dasar udik gak tahu diri..."
"Cupu.. Lo gak usah ketinggian mimpi..."
"Lo tu miskin, Jangan mimpi deh gabung sama kita yang orang berkelas"
"Oh... Ternyata lo bisa dipake juga ya?"
"Eh, lo mau pake dia? Udah jebol kali dia"
"Berapa sih tarif lo semalem?"
"suit... suit..."
***
"Nggun... Anggunn... Bangun dulu nak..." Marsih yang berada di depan pintu kamar Anggun. Waktu lima tahun belum cukup untuk menghapus dengan sempurna kenangan peristiwa pahit itu. Seringkali di tengah tidur malamnya Anggun berteriak histeris. Sama seperti kali ini. Mimpi buruk itu kembali datang, membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Untung saja, Marsih selalu tanggap dengan kondisi Anggun yang seperti ini.
"Anggun.. Ibu masuk ya.." Tanpa menunggu lebih lama lagi, Marsih lantas membuka pintu kamar Anggun. Marsih dan Farhan melarang Anggun untuk mengunci pintu kamar tidurnya. Ini untuk memudahkan jika Anggun kembali histeris seperti saat ini.
Saat masuk ke kamar Anggun, Marsih mendapati Anggun yang terduduk di ranjangnya. Keringat mengucur deras dari keningnya. Nafasnya cepat dan memburu. Wajahnya pucat. Pemandangan ini sebenarnya hal yang cukup biasa saat mendapati Anggun yang histeris. Namun tetap saja, ini membuat hati Marsih menjadi ngilu.
"Minum dulu... " Marsih lalu menyodorkan gelas yang berisi air minum yang selalu ada di samping tempat tidur Anggun. Tangan Marsih dengan lembut membelai rambut Anggun sementara Anggun menerima gelas itu dan kemudian meminumnya. Tangannya masih gemetar, menandakan jika dia memang sangat terguncang kondisinya.
"Gimana? Udah tenang? Ambil nafas dulu.." Anggun hanya membalas pertanyaan dari ibunya itu dengan anggukan lemas. Melihat Anggun yang sudah mulai tenang kembali, Marsih kemudian mengambil kembali gelas air minum yang sudah kosong itu lalu memindahkannya ke nakas di samping tempat tidurnya.
"Ini udah mau pagi, yuk bantuin ibu masak buat warung. Bentar lagi Mang Udin juga dateng bawain sayuran pesanan ibu kemarin" Jam saat itu memang menunjukkan setengah lima pagi. Biasanya, mereka akan bangun jam lima pagi, dan bergegas memasak untuk dibawa ke warung makan dan warung akan buka jam delapan pagi dan akan tutup warungnya jam lima sore.
"Bangun dulu, trus bersih-bersih, baru habis itu susulin ibu di dapur ya" Kembali Marsih mencoba mengalihkan fokus Anggun dari mimpi buruknya. Mengajaknya untuk segera beraktivitas pagi ini adalah salah satu trik dari Marsih untuk membuat fokus Anggun beralih dari mimpi buruk dan traumanya itu. Anggun hanya mengangguk dan kemudian mengikuti apa yang dikatakan ibunya. Segera dia beranjak dari tempat tidur dan keluar menuju kamar mandi.
Tidak berselang lama, dua wanita itu terlihat sibuk di dapur. Mereka saling bekerja sama agar masakan mereka bisa selesai tepat waktu. Dengan begini, Anggun bisa sejenak melupakan rasa traumatiknya.
TING TONG....
Aktivitas mereka terhenti sejenak saat bel rumah berbunyi.
"Pasti Mang Udin. Kamu ke depan gih, ambil pesanan ibu ke Mang Udin. Sekalian bayar juga. Ambil uangnya di dompet biasanya" secara tidak langsung, Marsih memberikan perintahnya ke Anggun.
"Ibu sekalian nitip apa buat besok? Biar Anggun bilangin sekalian ke Mang Udinnya" Balas Anggun sambil berdiri dan mencuci tangannya, bermaksud untuk membuka pintu.
"Nanti agak siangan aja ibu telpon ke Mang Udinnya.Yang pasti ya ayam sama telur. Persediaan ayam dan telur habis" Jawab Marsih lugas. Anggun kemudian bergegas keluar dan beberapa saat kemudian dia masuk dengan dua tas kresek besar yang berisi sayuran. Di belakangnya, Mang Udin juga membantu membawakan pesanan dari Marsih.
Setelah mengucapkan terima kasih ke Mang Udin, Marsih lantas bergabung dengan Anggun memberesi belanjaannya.
"Nggun, gimana kalau kita cari pembantu? Pelanggan warung makin lama makin banyak. Kalau cuma kita berdua saja, pasti akan kewalahan kayak sekarang ini. Gimana manurutmu?" Marsih bercakap sambil memilah milah sayuran yang akan dimasak dan yang akan disimpan.
"Boleh bu. Tapi gimana carinya ya bu? Cari pembantu itu kan gak gampang. Susah, apalagi yang bisa dipercaya" Anggun menyetujui saja usulan Marsih. Kalau boleh jujur, dia juga merasa kewalahan dengan ritme kerja yang padat. Mereka sendiri tidak mengira jika warung yang awalnya dibuka untuk mencari kesibukan untuk Anggun, agar pikirannya tidak menganggur dan mengalihkan traumanya, sekarang justru makin berkembang.
"Kita coba cari dulu. Nanti tanya-tanya ke Mang Udin atau siapa gitu. Intinya kamu setuju kan kalau kita cari orang buat bantuin kita di warung?"
"Bu, gimana kalau kita carinya yang masih sekolah? Sekalian bantuin juga kan? Biar mereka juga gak putus sekolah" Kejadian masa lalu yang memaksanya dan Farhan kakaknya untuk putus sekolah membuatnya selalu bersimpati lebih pada siapa saja yang tidak bisa meneruskan pendidikannya.
"Itu juga baik. Cuman, kalau memang dia masih sekolah, ibu gak mau gara-gara dia kerja sama kita trus sekolahnya terganggu"
Tubuh yang sudah mulai menua ditambah dengan beban pikiran, namun masih dituntut untuk selalu sehat dan tegar untuk kedua anaknya, memaksa marsih untuk mulai mencari karyawan yang bisa membantunya dan Anggun di warung makannya. Setidaknya dengan tambahan tenaga itu, dia masih bisa tetap menjalankan warung makannya dengan baik.
***
Selang beberapa waktu, keduanya sudah tiba di warung makan. Dengan cekatan Anggun dan Marsih mengambil makanan dari mobil taksi online yang biasa mereka gunakan. Hanya memerlukan waktu satu jam untuk mereka menyiapkan semuanya karena beberapa masakan sudah dimasak sebelumnya di rumah. Menata meja dan kursi, menata makanan, menyapu dan membersihkan lantai warung makan sudah dengan cepat mereka lakukan.
Jam sudah menunjukkan jam sembilan dan memang sudah waktunya juga warung makan mereka dibuka. Pagi seperti ini, belum terlalu ramai pembeli. Kondisi ini biasanya dimanfaatkan Marsih dan Anggun untuk sekedar beristirahat sejenak setelah sejak pagi mereka sudah harus menyiapkan semua makanan yang mereka jual. Warung makan akan mulai ramai pembeli saat jam istirahat makan siang dimulai. Biasanya menjelang tengah hari, warung makan akan ramai.
Begitulah keseharian dari Anggun dan Marsih, ibunya. Hari-hari mereka diawali dengan sibuk beraktivitas di dapur, menyiapkan masakan untuk dibawa ke warung makan milik mereka. Marsih sendiri bersyukur, karena kemampuan memasaknya akhirnya mampu menyelamatkan kehidupan mereka. Dengan kemampuan itu, dia bisa membuka warung dan bisa memenuhi kebutuhannya. Bukan hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka, Marsih masih bisa menabung.

KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Your Man (Tamat)
RandomHari sudah menjelang petang kala itu. Anggun melangkah tertatih keluar dari gudang sekolah. Tubuhnya terluka, namun hatinya jauh lebih terluka dari yang terlihat. Habis sudah air matanya meruntuki apa yang terjadi padanya. Dia sendiri tidak lagi bis...