Part 41

8.6K 600 4
                                    

Lima hari berselang dan tidak ada kejadian apapun. Andro, seperti yang sudah dia bilang sebelumnya akan lebih fokus dulu pada Elena, sehingga dia tidak terlalu sering menemui atau mengantar jemput Anggun yang masih mengambil berbagai kursus memasak. Kondisi Elena sudah membaik, beberapa alat bantu kehidupan sudah dilepaskan dari tubuhnya. Beberapa kali sudah bisa siuman, namun hanya beberapa jam, kemudian dia tertidur lagi. Begitu seterusnya ritme dari Elena.

Hari ini, tiba-tiba saja Anggun menerima telpon dari Andro. Dengan sangat memohon, Andro meminta Anggun untuk menemui Elena di rumah sakit. Elena sudah sadar sepenuhnya dan dia ingin sekali bertemu dengan Anggun. Itu yang dikatakan oleh Andro. Permintaan itu tidak langsung di-iyakan oleh Anggun. Otaknya berpikir keras untuk menanggapi permintaan yang sebenarnya sangat sederhana dari Elena. Hanya datang untuk menemuinya. Dengan kondisi Elena yang baru saja pulih dan baru saja sadar dari koma selama enam hari, sangat tidak mungkin jika dia akan bertindak yang macam-macam kepadanya. Perkataan dari dokter Tari beberapa waktu lalu juga kembali terngiang di telinganya. Bahwa, memaafkan itu jauh lebih agung dan mulia daripada mendendam.

Sore hari sesudah menutup dan membereskan warung, Anggun memutuskan untuk menemui Elena di rumah sakit. Dia tidak sendirian ke rumah sakit. Marsih dan Seno menemaninya. Bukan dia tidak berani, tapi Anggun takut dengan emosinya yang bisa saja meledak saat bertemu dengan Elena.

Begitu tiba di lobby rumah sakit, Andro yang sudah menunggu, langsung menggiring Marsih, Anggun dan Seno ke arah ruang rawat inap Elena. Di sana sudah ada Wiryo dan juga Gina. Jauh di dalam benak Wiryo dan Gina, mereka sendiri bingung karena tahu Marsih akan ikut datang bersama Anggun. Mereka gugup karena selama ini berinteraksi tanpa tahu bahwa Andro adalah anak mereka.

CEKLEK..

Pintu ruang rawat inap terbuka. Pemandangan pertama yang tersaji adalah Elena yang tertidur di brankar, masih dengan infus, nasal cannula, dan alat pemindai jantung yang masih ada di samping brankar Elena. Di samping kanannya, terdapat baby box dan ada bayi yang tertidur dengan selimut yang hampir menutupinya.

Wiryo dan Gina langsung berdiri dengan spontan saat pintu dibuka oleh Andro. Raut wajah bingung jelas nampak dari Wiryo dan Gina. Berbeda dengan Marsih yang justru menunjukkan wajah yang lebih tenang.

"Bu Marsih.. Eh.. Saya...." Wiryo hanya bisa tergagap saat Marsih ada di depannya saat ini.

"Saya sudah tahu semuanya, bahkan sudah cukup lama saya sudah tahu kalau bapak adalah orang tua dari Andro." Marsih tampaknya menyadari kegugupan dari Wiryo dan langsung memotong ucapan Wiryo tadi.

"Kami minta maaf bu. Bener-bener kami minta maaf atas kelakuan anak-anak kami ke Anggun. Kami sudah gagal mendidik anak kami sendiri" Wiryo sebenarnya dalam posisi yang bingung. Jika benar Marsih sudah mengetahui dia adalah orang tua Andro, mengapa sikapnya selama ini biasa saja? Saat berinteraksi dengan Marsihpun tidak ada perubahan sikap apapun atasnya.

"Bapak dan ibu tidak perlu minta maaf ke saya. Yang perlu minta maaf itu ya kedua anak bapak ke Anggun. Jadi, jika ingin minta maaf, minta maaflah ke Anggun, bukan ke saya"

Merasa cukup dengan basa-basinya, Marsih lalu melirik Anggun. Tentu saja Anggun paham arti lirikan dari Marsih itu.

"Tadi kamu bilang kalau Elena mau ketemu denganku? Sekarang, aku sudah di sini kan?" Anggun berkata dengan pandangan ke arah Andro. Andro membalasnya dengan tersenyum. Dengan isyarat matanya, dia meminta Anggun untuk mengikutinya ke arah brankar Elena.

Andro menepuk pelan pipi Elena, bermaksud untuk membangunkannya.

"Ele... Ele.. Ini, Anggun udah datang. Lo pengen ketemuan kan sama Anggun?" Andro setengah berbisik membangunkan Elena. Mata Elena yang tadinya tertutup, bergerak-gerak dan kini kedua matanya terbuka. Dia nampak mengedarkan pandangannya dan mencari keberadaan Anggun. Posisi Anggun sendiri saat itu berdiri sedikit berjarak dengan Elena. Sangat tampak jika Anggun masih belum nyaman dengan keadaan sekarang.

Elena berusaha tersenyum dengan bibir pucatnya. Tangan kanannya bebas dari infus, sehingga dia bisa menggunakannya untuk melambaikan, seolah meminta Anggun mendekat.

"Aku di sini saja" Yang dilakukan Anggun malah menggeret kursi dan dia duduk di kursi itu. Masih tetap berjarak dengan brankar Elena. Elena berusaha tersenyum melihat penolakan Anggun. Dia sungguh sadar bahwa penolakannya itu juga karena ulahnya sendiri. Dia sekarang hanya ingin memperbaiki semua perilakunya di masa lalu kepada Anggun.

"Nggun, aku minta maaf..." Ujar Elena lirih. Suaranya bahkan nyaris tidak terdengar.

"Maaf buat apa? Buat kamu yang selalu ngebully aku? Buat kamu yang sering hina-hina aku di depan sekolah? Atau buat tamparan dan jambakan yang selalu kamu lakuin ke aku, padahal aku gak ngapa-ngapain kamu? Atau mungkin kamu minta maaf karena kamu otak dari perkosaan yang aku alami? Ah, atau mungkin kamu minta maaf soal kamu yang udah fitnah dan nyebarin fotoku yang sedang diperkosa sama abang kamu itu? Ini kamu minta maaf buat yang mana?" Ada nada marah yang tertahan dari perkataan Anggun.

Elana diam sesaat, dia merasa dikuliti dengan semua kesalahannya.

"Aku bener-bener minta maaf Nggun. Aku ingin pergi tanpa rasa sakit. Rasanya sungguh-sungguh sakit, Nggun. Hanya kamu dan maaf dari kamu yang bisa membuat rasa sakit ini berkurang" Baru sekarang ini, Elena nampak sangat memohon kepada orang lain.

"Oh, jadi kamu minta maaf karena kamu sakit? Kalau kamu gak sakit, kamu gak akan minta maaf? Kalau kamu sehat kamu masih tetep dengan kesombongan dan keangkuhan kamu kan? Aku gak nyangka se-egois ini kamu. Bahkan kamu manfaatin sakit kamu buat narik simpati dari aku?" Anggun berbicara dengan nada yang sedikit meninggi, menandakan emosinya juga sedang naik.

"Aku harus apa buat bisa dapat maaf dari kamu, Nggun? Apa aku harus bersujud dan mencium kakimu?" Elena berusaha untuk bangun dari brankarnya, tapi tenaganya sudah tidak mampu untuk sekedar menopang tubuhnya sendiri

"Kamu ingat, saat kalian menyeretku ke gudang, kalian menjambak dan menendangku berkali kali di sana, bahkan saat itu aku sudah memohon dan meminta maaf ke kalian yang bahkan aku sendiri gak tahu salahku sama kalian itu apa? Tapi, apa kalian melepaskanku? Enggak kan? Apa kalian juga menghentikan perilaku kalian ke aku? Juga enggak kan? Terus, sekarang ngapain aku harus maafin kamu?" Suara Anggun begetar karena dia memaksakan ingatanya pada kejadian paling buruk selama hidupnya. Air matanya turun begitu saja.

Sesaat suasana diam. Tidak ada suara sama sekali selain suara monitor detak jantung. Ruang rawat yang sekarang ditempati Elena adalah ruang VVIP, sehingga ada ruang tamu dan di sanalah semuanya berkumpul. Mereka semua bisa dengan jelas mendengarkan semua pembicaraan Anggun dan Elena. Tidak ada satupun dari mereka yang mencoba ikut dalam pembicaraan tersebut. Wiryo, Gina dan Andro yang mendengar itu semuanya merasakan sesak di dada mereka.

"Sesakit itu ya Nggun? Bagaimana aku bisa menghapus semuanya? Dengan apa aku bisa menutup semua luka itu, Nggun? Pantaslah kalau kamu sampai sekarangpun belum mau memaafkan kelakuanku dulu. Mungkin, emang gak akan pernah pantas dapat maaf dari kamu." Andro bergumam itu semuanya dalam hati. Perasaan dan hatinya sudah jatuh sejatuh-jatuhnya mendengar itu semuanya.

Setelah mengatakan itu semuanya, Anggun memilih segera berpamitan dan meninggalkan ruang rawat inap itu. Andro yang awalnya menawarkan diri untuk mengantarnya pulang ditolaknya. Anggun pergi tanpa dia mengatakan jika sebenarnya dia sudah memaafkan mereka semuanya. Omongannya memang pedas dan sangat menusuk, tapi hatinya juga luluh melihat Elena dengan kondisi seperti itu.

Let Me Be Your Man (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang