Andro keluar dari ruang komandannya dengan wajah yang dihiasi senyum cerah. Permohonannya untuk pengalihan penanganan kasus yang dibebankan kepadanya ternyata disetujui oleh komandannya. Kini dia tinggal merayu senior yang sudah dia anggap sebagai kakaknya sendiri, Radit, untuk mau menjadi leader sekaligus mentornya dalam menangani kasus perkosaan ini. Andro masih terbebani dengan tugas baru, apalagi secara psikologis, kasus ini mengingatkan dia akan kelakuan buruknya di masa lalu.
"Selamat siang senior! Mohon ijin menghadap!" Ucap Andro saat dia memasuki area kerja dari Radit. Mendengar suara yang sangat familiar di telinganya, Radit lantas sedikit mendongakkan kepalanya. Terlihatlah sekarang wajah sumringah dari Andro. Walaupun dia sedang bersikap sempurna, tapi tetap saja wajah cerah dan senyumnya tidak bisa ditutupi.
"Ijin diterima. Silakan duduk" Andro mengangguk patuh dan mengambil duduk di depan meja Radit. Masih dengan sikap sempurna, dia lantas menyerahkan satu bendel berkas yang berisi kasus pemerkosaan yang kemarin sebenarnya dibebankan kepadanya.
"Sudah menghadap komandan? Bagaimana hasilnya?" Sebenarnya tanpa harus bertanya dan melihat bahwa Andro datang kepadanya dan menyerahkan berkas satu bendel perkara pemerkosaan itu, maka itu artinya kasus itu dilimpahkan kepadanya.
"Siap! Seperti yang telah tertera di lembar disposisi, maka kasus ini dilimpahkan ke senior!" Radit hanya bisa mendesah pelan. Beban pekerjaannya sudah banyak. Kasus-kasus yang dilimpahkan kepadanya oleh komandannya juga belum semua tertangani, dan kini dia sudah ketambahan kasus baru yang bukan kasus mudah. Beban itu bertambah saat dia masih harus membimbing Andro.
"Baik. Taruh saja semua berkas itu di meja. Saya pelajari dulu."
"Siap! Mohon ijin untuk kembali" Andro lantas berdiri dan meletakkan satu bendel berkas kasus. Selesai menyerahkan itu semua, Andro lantas beranjak dari tempat itu. Sebelum mereka berjarak lima langkah, Radit bersuara setengah memanggil Andro
"Kita keluar pas istirahat makan siang. Sekalian ngomongin kasus ini" Ucap Radit yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Andro.
Waktupun beranjak dan kini sudah waktunya untuk istirahat siang. Mengingat janjinya dengan seniornya, Andro lantas beranjak dari kursinya dan menuju ke kubikel tempat Radit, tapi belum juga Andro berdiri, pundaknya sudah ditepuk oleh seseorang. Sontak dia menoleh, dan didapatinya Radit sudah berdiri di sampingnya.
"Yok keluar, udah laper juga ini." Ujar Radit santai. Andro lantas tersenyum saja mendengar ajakan dari senior, mentor dan juga sudah dia anggap sebagai abang sendiri.
"Bawa baju ganti gak? Ntar ganti baju. Pake baju biasa aja. Kita akan ke rumah korban. Berkas yang kamu kasih tadi, sekilas udah abang baca. Sepertinya kita perlu untuk ke rumah korban. Abang butuh keterangan langsung dari korban."
"Pasti ada baju ganti di mobil. Baik bang, junior ikut aja gimana. Mohon bimbingannya ya bang"
Sekarang, keduanya telah berganti. Tubuh tegap mereka tidak lagi dibalut dengan seragam kepolisian. Ini dilakukan karena Radit bermaksud untuk mengawali penyidikannya tentang kasus perkosaan yang sekarang beralih menjadi tanggung jawabnya.
Dua lelaki dengan postur tubuh ideal, paras yang tampan dan potongan rambut yang khas kepolisian itu sedang asyik menikmati makan siang mereka. Keduanya nampak diam dengan dua porsi makanan di depan mereka. Tidak ada suara saat mereka menyantap makanan di depan mereka. Pola didikan di Akademi Kepolisian nampaknya sudah sangat tertanam di pikiran dan tingkah laku mereka.
"Sebenarnya ada alasan apa kamu menolak kasus ini? Sepertinya kalau kamu cuma beralasan belum memiliki kemampuan, tidak juga. Aku yakin ada hal lain yang kamu sembunyikan dari penolakan kamu kan?" Selesai makan, Radit langsung berucap. Instingnya sebagai seorang polisi dan penyidik mengatakan jika ada hal yang dia lewatkan dari juniornya itu. Andro hanya diam, dia bingung mau menjawab apa tentang pertanyaan Radit. Sangat tidak mungkin jika dia harus berterus terang sekarang ini ke senior sekaligus mentor untuknya itu.
"Untuk kasus pidana yang rumit seperti itu, Andro belum pernah menangani. Bingung juga harus mulai dari mana" Andro memilih aman dalam menjawab. Tapi dia juga sadar jika Radit tidak mungkin akan percaya seratus persen apa yang baru saja dia katakan.
"Udah selesai makan kan? Kita langsung saja ke rumah korban. Kita bisa mulai penyidikan kita dari sana." Tampaknya Radit memilih untuk tidak memperpanjang keingintahuannya tentang alasan sebenarnya dari Andro. Biar saja. Karena nanti hal itu akan terbuka dengan sendirinya. Bukankah sekarang ini Andro dan dia adalah satu team untuk kasus ini, dan itu berarti masih cukup banyak waktu untuknya tahu yang sebenarnya.
Tok.. Tok.. Tok..
Radit mengetok pelan pintu yang masih tertutup di depannya. Sekarang ini mereka sudah ada di depan rumah korban. Rumah yang sangat sederhana. Terletak di dalam gang dan tanpa pagar, bahkan tanpa halaman rumah. Cat rumah itu juga sudah terlihat kusam, menambah kesan biasa saja pada rumah itu.
Beberapa menit menunggu, digunakan oleh Radit dan Andro untuk mengamati keadaan sekitar rumah itu. Lingkungan yang sedikit ramai oleh lalu lalang orang. Gang kecil itu terasa semakin sesak saat banyak anak kecil yang berlarian tidak tentu arah. Mereka berceloteh menggunakan bahasa yang bagi sebagian orang terdengar kasar dan tidak pantas didengar oleh anak seusia mereka, tapi nampaknya hal itu sudah biasa di sini.
Ceklek...
Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu. Matanya jelas menatap Radit dan Andro.
"Selamat siang bu, kami dari kepolisian. Kami ingin bertanya mengenai kasus dugaan pelecehan yang menyangkut putri ibu. Bisa kami ketemu dengan putri ibu?" Radit memperkenalkan diri sekaligus menunjukkan tanda keanggotaan kepolisian untuk meyakinkan wanita di depannya itu.
"Silakan masuk dulu pak." Ada raut kelegaan saat mendengar siapa yang ada di depannya itu. Radit dan Andro kemudian mengekor, mengkuti wanita itu. Setelah duduk, Radit kembali mengungkapkan keinginannya untuk menemui Mutia, korban pelecehan seksual tersebut.
"Kondisi anak saya sekarang sedang tidak baik-baik saja selepas kejadian malam itu. Dia akan cenderung diam dan ketakutan sendiri. Jadi nanti saya mohon tolong bersabar dengan anak saya" Radit mengangguk mengerti. Ini bukan kasus kekerasan seksual pertama kali buatnya. Jadi, dia sangat memahami bagaimana kondisi psikologis dari korban.
Benar saja, tatapan Mutia terkesan kosong saat ibunya menuntunnya keluar. Sangat susah untuk sekedar mengobrol dengannya, apalagi jika harus mengorek kembali peristiwa yang sudah membuatnya kehilangan seperti sekarang.
Waktu sudah menjelang petang saat Radit dan Andro keluar dari rumah Mutia. Tidak banyak informasi yang bisa mereka ambil. Kondisi Mutia yang sangat rapuh dan sangat susah untuk diajak komunikasi membuat tidak banyak cerita yang bisa digali. Andro sendiri mendadak seperti orang gagu saat melihat kondisi Mutia. Pikirannya mendadak bercabang pada kejadian yang melibatkan dirinya beberapa tahun silam. Sungguh, Andro kini tidak bisa fokus dalam pekerjaannya. Pikirannya sekarang dipenuhi oleh rasa bersalah yang besar, dan sekarang dia sendiri bingung dengan apa yang harus dia lakukan.
Selepas dinas, Andro memilih menenangkan dirinya. Kemarin dia sudah memilih kedai kopi untuk membuat pikirannya sedikit tenang, sekarang, dia berada di taman kota. Menjelang malam, kondisi taman kota ramai oleh anak muda yang berososialisasi. Bercanda bersama, menghabiskan waktu dengan bermain skate board atau sekedar berada di sana memanfaatkan jaringan internet gratis.
"Lo dimana Nggun? Gue pengen banget ketemu. Gue pengen pastiin gimana lo sekarang. Gue tahu gue salah, kalaupun lo gak mau maafin gue, gue bisa terima, but at least I wanna make sure that you are just fine" Andro berkata pada dirinya sendiri. Kaleng minuman soda yang berada di tangannya dia lemparkan begitu saja, dan untungnya lemparannya tepat sasaran di tempat sampah yang sedang tidak tertutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Your Man (Tamat)
AléatoireHari sudah menjelang petang kala itu. Anggun melangkah tertatih keluar dari gudang sekolah. Tubuhnya terluka, namun hatinya jauh lebih terluka dari yang terlihat. Habis sudah air matanya meruntuki apa yang terjadi padanya. Dia sendiri tidak lagi bis...