Meyakinkan Anggun untuk bisa memulai membuka dirinya bukan hal yang mudah. Mati-matian Farhan menjelaskan bahwa apa yang dia lakukan itu bukan berarti dia sudah tidak menyayangi adiknya lagi. Menyimpan amarah hanya akan merugikan diri sendiri, tidak akan ada gunanya. Akan lebih baik jika amarah itu dilepaskan. Satu langkah mudah untuk memulainya adalah dengan berdamai dengan masa lalu.
"Mas minta maaf kalau yang mas tadi lakuin itu ternyata bikin kamu gak nyaman. Tapi, mas juga punya alasan waktu ngelakuinnya." Sekarang ini, mereka berkumpul di kamar Anggun. Bahkan, Seno juga ada di sana.
"Anggun masih saja sakit mas, tiap lihat dia. Apalagi sekarang dia sering muncul di sekitar Anggun. Kejadian itu langsung aja muncul di otak Anggun. Sakit mas.. Rasanya sangat sakit.." Tangan Anggun memukul-mukul dadanya sendiri. Marsih yang duduk di tempat tidur dan ada di samping Anggun, langsung menghentikan apa yang dilakukan Anggun itu. Ditariknya tangan Anggun dan membawanya dalam pelukannya. Tangan Marsih lantas mengusap pelan punggung Anggun, mencoba menenangkan.
Farhan menggeret kursinya untuk mendekat ke Anggun. Sedari tadi memang dia duduk di kursi meja rias Anggun yang letaknya sedikit jauh dari Anggun. Tangannya sekarang meraih tangan Anggun yang terbebas. Diusapnya pelan telapak tangan itu. Sesudah tenang, Farhan kembali menjelaskan lagi kepada Anggun.
"Mas boleh nanya?" Pertanyaan Farhan hanya dijawab dengan anggukan lemah Anggun.
"Selama kamu nyimpen rasa marah kamu, apa yang udah kamu dapat?" Suasana hening sejenak. Setelah beberapa saat, Anggun menggeleng pelan. Dia tidak menemukan apapun dengan menyimpan rasa marahnya.
"Salah.." Anggun langsung memandang kembali Farhan. Matanya mengernyit, menatap langsung Farhan.
"Dengan menyimpan rasa marah terus di hati kamu, banyak yang kamu dapat. Kamu gelisah, sering mimpi buruk, hati kamu berdebar terus, detak jantung kamu gak normal, bahkan tekanan darah kamu juga cenderung naik. Kamu ngerasain itu semuanya kan?" Tatapan mata Anggun sedikit meredup lagi. Tidak lagi setajam tadi.
"Anggun, mas memang gak belajar ilmu kedokteran. Mas juga bukan psikolog. Tapi dari yang mas baca, menyimpan rasa marah memang bisa munculin semua yang tadi. Dan kamu tentu tahu, semua yang mas bilang tadi siapa yang paling dirugikan? Ya kamu sendiri, Nggun" Tatapan Anggun menjadi lemah. Hati dan pikirannya sekarang menjadi tidak lagi seirama. Otaknya membenarkan apa yang dikatakan oleh kakaknya, tapi hatinya berkata sebaliknya.
"Sekarang, coba ikuti saran dari mas. Coba lepaskan rasa marah kamu. Mas takutnya, rama marah yang masih ada di kamu akan berubah menjadi dendam. Gak ada yang bisa dibenarkan atas nama dendam, Nggun"
Tes.. Tes...
Air mata Anggun tanpa dia minta keluar dengan sendirinya. Dia masih diam. Tidak ada isakan atau tangisan keluar darinya. Tangan Marsih spontan mengusap air mata Anggun. Menyekanya lalu kemudian mengusap kepala Anggun dari sisi sampingnya.
"Anggun gak tahu apa Anggun bisa. Dia udah ngerusak semuanya mas. Harusnya Anggun sekarang bisa kuliah, harusnya juga bapak masih ada di sini" Ucapan Anggun makin mengecil.
Farhan mengangguk pelan. Dia sangat memahami bagaimana hancurnya perasaan Anggun, karena diapun juga mengalami hal yang sama.
"Mas pernah ada di posisi kamu. Saat tahu semua yang menimpa kamu, mas sempet mau bales dendam. Mas pengen pukulin itu Andro sama mas pengen perkosa juga adiknya. Tapi kayaknya bapak tahu yang ada di pikiran mas, dan itu yang jadi pesen terakhirnya bapak ke mas. Bapak gak mau mas bales dendam ke mereka. Apapun alasannya" Farhan akhirnya menceritakan apa yang selama ini disimpannya.
"Trus gimana kalau Andro cuman main-main aja? Gimana kalau dia jahatin Anggun lagi?" Masih ada keraguan di diri Anggun. Hal yang wajar jika dia tidak bisa langsung percaya. Bagaimanapun juga luka yang sudah ditorehkan Andro bukan main perihnya.
"Gimana kita tahu jika kita gak kasih dia kesempatan? Bukannya kita yang jadi salah kalau ternyata Andro emang niat mau minta maaf dan mau nebus apa yang udah dia lakuin dulu?"
"Anggun beneran takut mas, kalau dia cuman mau main-main." Anggun masih ketakutan. Takut jika Andro hanya memainkanya saja.
"Makanya itu Nggun. Gak ada salahnya juga kan kita lihat gimana Andro. Serius apa enggak dia mau minta maafnya sama kamu bisa kita lihat kalau kita emang buka kesempatan itu buat dia"
"Mas-mu ada benernya juga, Nggun. Kamu sendiri juga kan yang rugi kalau masih nyimpen rasa marah kamu. Ibu yakin kalau kamu gak mau terus-terusan kan kondisinya kayak gini. Ibu udah seneng banget waktu kamu mau lanjutin sekolah kamu lagi, mau interaksi lagi sama orang. Ibu seneng banget." Marsih berkata sambil membelai lembut rambut Anggun.
"Mungkin ini harus Farhan sampaikan. Farhan yakin kalau informasi ini pasti bikin kaget." Farhan menjeda sejenak. Lalu dia menengok ke arah Seno dan dengan isyarat tangannya dia mengajak Seno untuk mendekat.
"Apa mas?" Ujar Seno sambil mendekat. Dia memang sengaja untuk tidak terlalu mendekat. Seno sengaja memberikan ruang lebih untuk Marsih, Farhan dan Anggun. Walaupun dia sudah dianggap keluarga sendiri, namun tampaknya masalah yang dihadapi oleh Anggun cukup berat. Sampai sekarangpun, dia sendiri belum mengetahui secara detail bagaimana sebenarnya kejadian yang terjadi pada Marsih.
"Sini, di sampingnya mas" Ujar Farhan sambil meminta Seno dengan isyarat tangannya.
"Seno cerita bu kalau di warung, ibu punya salah satu pelanggan yang seringkali pesan makan di warung. Namanya Wiryo. Bener bu?" Farhan mengalihkan pandangannya ke Marsih dan langsung dijawab dengan anggukan oleh Marsih.
"Apa ibu tahu kalau Wiryo yang jadi pelanggan warung itu adalah orang tuanya Andro?" Perkataan dari Farhan jelas membuat Marsih dan Anggun terkejut.
"Seno pernah cerita ke mas, kalau di warung itu ada pelanggan yang namanya Wiryo. Dia seringkali memesan dan membeli makanan di warung. Waktu itu Farhan sedikit curiga, kenapa orang ini seringkali beli makan di warung. Seno juga cerita kalau orang yang namanya Wiryo itu punya perusahaan. Akhirnya dari situ Farhan coba mencari tahu siapa Wiryo. Awalnya iseng aja, tapi saat Farhan tahu fakta bahwa dia adalah orang tua Andro, di situ buat Farhan menjadi curiga."
"Jadi... Selama ini kita dibodohin sama mereka? Gitu? Mereka sering pesen makanan ke kita karena ini semuanya?" Anggun langsung menegakkan duduknya.
"Jangan cepet ambil kesimpulan dulu, Nggun. Mungkin aja kebetulan aja atau jika memang Wiryo udah tahu cerita kamu dengan Andro, mas liatnya apa yang dilakukan sama Wiryo sebagai bentuk dia juga menyesal dan membantu keluarga kita, walaupun itu secara gak langsung"
Kini setelah Farhan mengungkap semua yang dia ingin ceritakan, tinggalah Marsih dan Anggun berpikir keras. Marsih yang berpikir tentang Wiryo yang ternyata orang tua dari Andro, dan Anggun yang masih memikirkan saran Farhan untuk mulai menghilangkan rasa marah di hatinya dan mencoba memberi kesempatan Andro membuktikan permintaan maafnya.
Satu fakta yang membuat semuanya menjadi kaget. Namun, Farhan ada benarnya juga. Untuk apa mempermasalahkan jika Wiryo itu adalah orang tua dari Andro. Bukankah kesalahan yang dilakukan oleh Andro tidak bisa serta merta dilimpahkan kepada ayahnya itu? Sangat tidak adil jika kesalahan Andro dibebankan juga pada Wiryo.

KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Your Man (Tamat)
RandomHari sudah menjelang petang kala itu. Anggun melangkah tertatih keluar dari gudang sekolah. Tubuhnya terluka, namun hatinya jauh lebih terluka dari yang terlihat. Habis sudah air matanya meruntuki apa yang terjadi padanya. Dia sendiri tidak lagi bis...