Part 38

7.6K 539 4
                                    

Dua hari berlalu. Elena masih berada di ruang pemulihan ICU dan masih belum menunjukkan tanda membaik. Tanda vital tubuhnya menunjukkan masih menunjukkan ritme yang positif, namun Elena sendiri masih belum siuman. Setelah proses operasi kemarin, Elena hanya bisa bertahan dalam beberapa jam saja, setelah itu dia pingsan dan hingga sekarang masih belum juga siuman.

Kesibukan dan perhatian keluarga Wiryo sekarang terpecah. Antara fokus dengan Elena yang masih belum siuman, juga fokus pada Davin. Akibatnya, waktu mereka banyak dihabiskan di rumah sakit. Beberapa kali Wiryo terpaksa membawa pekerjaannya ke rumah sakit. Sementara Andro sendiri harus pontang panting karena dia sendiri tidak bisa meninggalkan tugasnya sebagai seorang polisi. Jam kerja polisi yang harus siap siaga 24 jam juga menyulitkan baginya untuk membantu orang tuanya.

"Cucu kita... Sayang dia hadir seperti ini.." Gina memandang Davin yang masih berada di ruang bayi. Matanya menatap cucunya yang sesekali menggerakkan badan kecilnya.

"Ekhm... Bagaimanapun dia cucu kita. Kita yang nanti akan membesarkan dia. Jujur saja, aku sendiri tidak yakin jika Elena bisa membesarkannya dengan benar. Dengan dirinya sendiri saja dia seperti itu, apalagi dengan Davin." Helaan nafas panjang datang dari Wiryo. Dia memutus sejenak perkataannya.

"Kita sudah gagal dua kali. Kita gagal mendidik anak-anak kita. Masih untung Andro bisa berubah dan sekarang dia sudah menunjukkan perubahan yang baik. Mungkin Tuhan mengirim Davin ke kita agar kita bisa menebus kesalahan kita mendidik anak-anak kita. Kali ini, aku gak mau lagi kecolongan seperti Andro dan Elena. Kita harus didik Davin dengan bener. Jangan sampai dia rusak lagi." Wiryo melanjutkan perkataannya.

"Aku tidak masalah sama sekali untuk mendidik Davin. Tidak masalah harus mengulang dari awal mendidiknya. Satu yang aku takutkan, dia akan tumbuh dengan keluarga yang pincang. Dia gak punya seorang ayah. Bagaimana dia bisa menghadapi cibiran orang di luar sana? Apa dia sanggup?" Suara Gina sedikit bergetar, tanda bahwa dia sedang menahan emosi yang muncul. Wiryo yang berdiri di samping Gina memeluknya lalu menarik kepala Gina untuk bersandar di pundaknya. Berdua mereka masih betah melihat Davin dari balik kaca ruang bayi.

Tanpa mereka sadari, berjarak lima langkah dari mereka berdiri sekarang, Andro sudah ada di sana. Dia bisa mendengar semuanya. Sejujurnya hatinya menjadi tercubit. Kelakuan yang dulu dia anggap sebagai lelucon dan dia anggap sebagai bahan tertawaan saja ternyata sudah melukai banyak orang. Bahkan orang tuanya yang tidak tahu apapun juga turut menanggungnya sekarang.

"Ayah... Mama.." Panggil singkat Andro. Dia sendiri harus menata nada suaranya. Dia baru saja pulang dari dinas dan bermaksud membawakan makan malam untuk orang tuanya.

Panggilan dari Andro sontak membuat Wiryo melepaskan pelukannya. Gina juga menegakkan kepalanya dari pundak Wiryo.

"Ayah, mama, ini Andro bawain makan malamnya. Ayah sama mama habis ini pulang aja ya. Biar malam ini Andro yang jaga. Nanti ada apa-apa Andro kabari ayah sama mama"

"Kamu besok kan masih harus dinas, ndro?" Tanya Wiryo kemudian.

"Besok Andro kena piket malam yah, jadi berangkatnya siangan" Jawab Andro. Wiryo dan Gina lantas kompak menganggukan kepala. Raga yang sudah cukup menua membuat Wiryo dan Gina memang harus beristirahat.

Andro merebahkan dirinya di kamar yang seharusnya menjadi kamar rawat inap Elena. Pikirannya sungguh penat. Mendengar apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya, membuat penyesalannya menjadi lebih dalam. Permintaan maafnya kepada Anggun hingga sekarang belum mendapatkan respon.

Setelah mengganti pakaiannya dengan kaos yang lebih santai, Andro memilih keluar dari kamar rawat inap. Langkahnya menuntunnya ke arah ruang ICU, tempat Elena masih terbaring tidak sadarkan diri. Team dokter rumah sakit sendiri tidak bisa menentukan kapan Elena akan siuman. Beberapa tanda vital di tubuh Elena memang menunjukkan progres yang membaik namun itu masih belum cukup untuk membuatnya sadar.

"Jujur Ele, gue sebenarnya berat di kondisi ini. Beban gue udah berat. Rasa bersalah ini gue rasa gak akan bisa hilang. Bantu gue El, please... Kali ini gue mohon banget sama lo. Bantu gue. Ringanin beban yang ada di pundak gue. Kalo bukan lo, gue harus minta tolong kemana?" Mata Andro mendadak terasa panas. Air matanya luruh tanpa dia bisa cegah.

"Kenapa lo bisa sekeras itu nyembunyiin siapa ayahnya Davin? Gue yakin lo tahu siapa dia. Lo bukan orang bodoh yang gak tahu apa yang lo lakuin. Kenapa lo malah ngorbanin Davin? Dia gak punya salah apapun, tapi lo udah korbanin dia. Lo juga udah korbanin ayah sama mama" Bahkan hingga anaknya sudah lahirpun Elena masih bungkam dengan siapa yang sudah menjadi ayah dari anaknya itu. Bukan tanpa usaha juga Andro mencoba mencari tahu. Posisinya yang sebagai penyidik polisi, sudah tentu dia gunakan untuk menyelidiki tentang siapa yang sudah menghamili adiknya. Tapi semua hanya berujung pada kebuntuan. Dia tidak bisa menemukan petunjuk apapun, soal siapa yang sudah melakukannya.

Puas bermonolog sendirian, Andro kembali melanjutkan langkahnya menuju keluar rumah sakit. Di depan rumah sakit yang cukup mewah itu, banyak yang berjualan makanan. Mulai dari cafe, hingga penjual makanan kaki lima. Andro memilih untuk nongkrong di warung kaki lima. Dengan memesan segelas kopi tubruk, dia duduk lesehan di trotoar pinggir jalan. Sejenak dia menghirup dalam udara. Menenangkan pikirannya. Itu yang menjadi tujuan utamanya.

Rokok kembali terselip di antara jari tangan kiri Andro, sementara tangan kanannya sekarang membuka operasi ponselnya. Dicarinya satu nama yang ada di kontaknya, dan dia segera melakukan panggilan pada nomer tersebut.

"Ngapain lo malem-malem gini telpon? Lagi gabut dinas malam lo?" Bahkan tanpa mengucapkan salam terlebih dulu, lawan bicara Andro langsung memberondongnya.

"Heheh.. Gak sih mas. Andro lagi gak dinas malam. Lagi jagain Elena aja. Pengen nelpon Anggun sebenernya, tapi gak punya nomernya Anggun. Mau minta nomernya gak dikasih sama Anggun" Andro menelpon Farhan sebenarnya ingin mengabari jika dalam beberapa hari ini, dia tidak bisa menjemput atau mengantar Anggun karena dia harus fokus dulu kepada adiknya. Mungkin juga Farhan bisa menemaninya dan mungkin mau mendengarkan keluh kesahnya.

"Mas, hm... Mas bisa nggak ke sini? Temenin Andro di rumah sakit. Sekalian ada beberapa yang harus Andro bicarain sama mas Farhan. Mas Farhan lagi gak sibuk kan?" Nada suara Andro memelan. Dia memang sekarang butuh teman untuk sekedar berbagi.

"Lo sekarang di RS mana? Gue off sih, gak apa-apa kalau emang mau ketemuan"

"Surya Nusa Hospital. Ntar Andro tungguin di lobby mas"

"Ok, wait for me"

"Thank in advance ya mas..." Sesudah itu, Andro memutus pembicaraan di ponselnya.

Let Me Be Your Man (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang