Malam ini dihabiskan oleh Marsih dan Anggun dengan berbincang ringan sambil mereka menonton tivi. Seno tidak bergabung. Dia memilih untuk belajar dengan modul-modul pelajaran yang baru saja dikirim. Semangatnya sangat tinggi untuk bisa belajar lagi. Malam ini sengaja Marsih meluangkan waktunya lebih banyak untuk Anggun. Dia masih sedikit cemas dengan kejadian tadi pagi. Beberapa waktu ini kondisi psikis Anggun memang sudah menunjukkan perkembangan membaik, bahkan beberapa kali dia sudah bisa tertawa karena candaan ringan dari Seno yang memang mempunyai sifat riang dan lugu. Marsih tentu tidak mau jika semua itu memburuk kembali dan Anggun kembali ke titik nol seperti saat kejadian bullying dan pemerkosaan itu terjadi.
"Oh ya bu, tadi itu ada yang belum Anggun ceritain ke ibu" Anggun yang duduk di karpet sambil tangannya memegang satu toples kaca berisi emping.
"Cerita yang kamu tadi ketemu gak sengaja sama Andro?" Anggun menoleh dan kemudian mengangguk pelan. Tadi, Anggun memang hanya menceritakan bahwa dia bertemu dengan Andro dan kemudian dia memilih lari agar tidak merasa terganggu. Tentang ungkapan maaf yang sempat keluar dari Andro, belum diceritakan Anggun.
"Tadi itu Andro sempet bilang kalau dia tuh nyesel dan minta maaf" Tentu saja perkataan Anggun membuat Marsih kaget. Andro yang Marsih tahu adalah orang yang sangat angkuh dan berandalan. Walaupun belum pernah bertatap muka secara langsung, namun dari apa yang sudah terjadi, Marsih bisa menyimpulkan bahwa Andro bukanlah pribadi yang santun dan hangat.
"Oh ya? Trus?" Marsih langsung penasaran. Dia langsung memposisikan dirinya lebih mendekat ke arah Anggun.
"Ya gitu bu. Sebelum Anggun lari, dia narik Anggun. Trus Anggun kan ngancem buat teriak. Bodo amatlah waktu itu Anggun mikirnya. Toh yang malu kan dia." Anggun menjeda ceritanya dan mengambil minum untuk sedikit menenangkan dirinya. Masih ada sisa emosi yang muncul jika dia menceritakan masalah tadi pagi.
"Trus Anggun lari kan, tapi dia malah teriak-teriak gitu di depan kantor bank. Dia bilang kalau dia nyesel dan dia juga bilang kalau dia minta maaf"
"Lha kamu trus gimana waktu denger dia teriak minta maaf ke kamu?" Sebenarnya Marsih cukup terkejut saat Anggun bisa dengan lancar menceritakan apa yang tadi dia alami. Dia hanya berharap bahwa trauma yang sempat diderita oleh Anggun sudah sepenuhnya pulih.
"Itu bu yang bikin Anggun bingung. Mau Anggun kasih maaf Anggun apa enggak kan gak akan ngaruh juga. Udah kejadian juga. Gak akan bisa bikin balik semuanya kayak sebelum kejadian itu kan bu?"
Marsih kembali menatap lembut Anggun. Sisi nalar dan logikanya membenarkan apa yang baru saja dikatakan oleh Anggun. Untuk apa memberikan maaf kepada orang yang sudah menghancurkan hidupnya bahkan sampai pada titik yang paling rendah. Namun, sisi hatinya juga menginginkan Anggun untuk memaafkan Andro. Marsih tidak mau Anggun menjadi pendendam yang akhirnya akan berakibat buruk pada kondisi kesehatannya sendiri.
"Kalau menurut ibu, Anggun harus gimana bu?" Anggun kembali bertanya setelah mendapati ibunya terdiam selama beberapa saat
"Ibu tidak bisa menjawab soal itu. Semuanya tergantung dengan kamu dan tentu dengan hati kamu sendiri." Marsih mengambil aman. Apapun keputusan yang akan diambil oleh Anggun, dia hanya bisa mendukung keputusan anaknya itu.
"Yahh.. Sama aja gak jawab pertanyaan Anggun bu."
"Mau dengerin gak saran ibu? Hm.." Anggun lantas menjawabnya dengan anggukan ringan. Untuk sekarang, saran dari ibunya sangat penting untuk dirinya melangkah.
"Tidak ada yang salah dengan kamu memberi maaf ke Andro. Memang tidak akan merubah apapun. Yang namanya waktu gak akan bisa diajak mundur. Tapi cobalah untuk bisa berdamai."
"Jadi Anggun harus memaafkannya ya bu? Tapi gimana kalau dia masih kayak dulu? Gimana kalau dia masih juga brengsek kayak dulu?"
"Kalau dia mau minta maaf, seenggaknya dia udah punya niat yang baik. Atau mungkin dia juga udah tobat dan nyesel sama apa yang udah dia lakuin ke kamu" Jika sampai sekarang Anggun masih mempunyai pikiran jelek tentang Andro, mungkin sangat bisa dimaklumi. Kejadian yang sudah terjadi empat tahun silam itu sangat menorehkan luka bagi Anggun.
"Kalau ibu jadi Anggun, gimana?"
"Hm... Kalau nih misal ibu yang jadi Anggun, ibu akan ikuti alur dulu. Kita kan gak tahu dia beneran nyesel apa gak hanya dengan satu kali ketemuan kan? Yakin deh abis ini, kalian akan ketemuan lagi, bahkan mungkin lebih sering. Kalau ibu jadi kamu, ibu gak bakalan menghindar. Ibu akan tetep hadapin dia. Ibu gak akan ngomong ke dia kalau ibu maafin atau enggak. Lihat dulu bagaimana usahanya dia buat bikin hati ibu yakin kalau dia emang beneran nyesel" Marsih akhirnya menjelaskan dengan panjang lebar.
"Jadi Anggun harus kayak jual mahal gitu ya bu?" Anggun berucap setelah beberapa menit berusaha mencerna perkataan dari Marsih.
"Ibu gak tahu juga sih namanya apa itu. Intinya itu, kamu jangan langsung ambil keputusan buat maafin atau gak maafin Andro dulu. Lihat seberapa keras dia berusaha. Lihat seberapa serius dia memperbaiki dirinya." Anggun mengangguk mengerti. Ternyata apa yang dikatakan oleh Marsih tidak jauh dari apa yang dipikirkannya. Sempat dia berpikir kalau dia terlalu mudah memberikan maafnya ke Andro, dia tidak akan pernah tahu bagaimana dia menderita selama ini.
Malam semakin larut, namun dua wanita itu masih belum juga beranjak tidur. Mereka masih senang mengobrol. Jika tadi mereka hanya mengobrol sambil melihat televisi, sekarang mereka malah sambil mengupas sayuran yang akan mereka masak esok pagi. Bukan hanya Marsih dan Anggun, namun kini Seno yang telah selesai belajar ikut bergabung juga. Jarum jam sudah menunjuk di angka sepuluh malam, namun masih juga mereka bertiga belum mengantuk.
TOK... TOK... TOK
Canda dan obrolan dari ketiga orang itu lantas terhenti saat mereka mendengar pintu depan rumah diketok. Sangat tidak lazim jika sudah selarut ini masih ada yang bertamu, kecuali jika memang ada keperluan yang sangat mendesak.
"Emang siapa sih malam-malam waktunya orang tidur kayak gini mau bertamu? Kurang kerjaan banget deh?" Anggun bersungut-sungut mendengar suara ketokan pintu masih saja berbunyi.
"Udah mbak, biar Seno aja yang bukain. Mbak sama ibu di sini aja." Seno lantas segera berdiri dan menuju ke ruang tamu.
"Mas-nya mau cari siapa ya?" Pertanyaan pertama yang muncul saat pertama kali Seno membuka pintu dan mendapati seorang pria tampan di depannya.
"Kamu siapa?" Tanya pria itu dengan wajah sedikit kebingungan
"Sen... Seno... Siapa yang dateng?" Setengah berteriak Anggun berkata. Karena penasaran Seno yang tidak segera kembali, Anggun segera menyusulnya.
"Siapa sih Sen yang dateng?"
"Anggun....." Sapa lelaki itu dengan senyum yang mengambang dan di saat yang bersamaan, Anggun hanya bisa terdiam di tempatnya berada. Wajahnya jelas menunjukkan ekspresi kaget melihat siapa yang datang di depannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Your Man (Tamat)
RandomHari sudah menjelang petang kala itu. Anggun melangkah tertatih keluar dari gudang sekolah. Tubuhnya terluka, namun hatinya jauh lebih terluka dari yang terlihat. Habis sudah air matanya meruntuki apa yang terjadi padanya. Dia sendiri tidak lagi bis...