Wiryo mengeryit heran. Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Sudah sangat telat untuk Andro. Wiryo tidak berniat bertanya, karena mungkin saja anaknya itu kebagian jatah untuk masuk siang atau piket malam. Sekarang yang nampak oleh Wiryo adalah anak lelakinya itu yang sibuk kembali menata oleh-oleh sebanyak dua koper yang katanya untuk Anggun. Mulut Andro komat kamit sendiri. Dia sekarang seperti melakukan inventaris barang. Takut akan ada yang terlewat dan tidak tersampaikan ke Anggun.
"Oke.. Udah.. Lengkap semuanya..." Senyum Andro langsung mengambang saat mendapati semua barang-barang yang dia siapkan sudah rapi. Di benaknya, dia sudah membayangkan jika Anggun akan terkejut dengan semua oleh-olehnya itu. Dia juga sudah membayangkan jika nantinya Anggun akan tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Bayangan-bayangan itu terus saja bergantian di benaknya.
"Anakmu itu kenapa?" Wiryo mencolek Gina. Lama-lama dia merasa risih juga dengan Andro yang sedari tadi senyum sambil bergumam sendiri.
"Gak tahu juga. Apa mungkin dia kesambet ya di tempatnya tugas? Dia kan team penolong kan? Kali aja Andro ketempelan atau gimana gitu sih yah?"
Wiryo yang mendengar jawaban Gina langsung mengernyit heran. Teori apa lagi sampai ada ketempelan segala? Dia langsung saja menggelengkan kepala tanda dia tidak setuju dengan perkataan Gina baru saja.
"Kamu hari ini dinas malam?" Akhirnya Wiryo bertanya juga setelah sekian lama dia menahannya.
"Besok yah baru dinas. Hari ini masih lepas tugas. Surat Tugas Andro juga sebenarnya sampai hari ini masih OTS. Jadinya hari ini bebas" Jawab Andro, namun tetap saja pandangan matanya tidak lepas dari koper yang sudah tertata di depannya.
"Ayah gak ke kantor?" Andro seperti kembali ke bumi lagi setelah beberapa lama pikirannya melayang membayangkan Anggun dan juga oleh-oleh yang dibawakannya.
"Nanti ayah sama mama ke rumah sakit. Nganter adikmu kontrol kandungan."
Andro seakan baru menyadari kembali jika adiknya sekarang hamil. Tatapannya kini beralih ke Elena yang ada di meja makan. Nampak dia sedang menikmati roti berlapis selai coklat sebagai sarapannya. Letak sofa tempat Andro, Wiryo dan Gina duduk sekarang ini sedikit berjarak.
"Gimana sama kandungan Ele, yah? Sehat kan?" Pertanyaan dari Wiryo hanya dijawab desahan panjang dari Wiryo. Bukan kondisi janinnya yang sekarang ini menjadi pemikiran Wiryo.
"Sehat. Ponakanmu sehat. Gak ada masalah apa-apa. Yang buat ayah mikir itu gimana adik kamu kedepannya. Lihat sendiri kan kejadian ini tuh kayak tamparan keras buat keluarga kita. Tapi kamu bisa lihat sendiri, gak ada satu pun sesal yang ayah lihat di adik kamu" Wiryo berucap sambil melihat bagaimana Elena dengan santai masih menikmati sarapannya.
"Feeling Andro sih Ele bukan gak tahu siapa yang udah menghamili dia, tapi dia sengaja buat nutupin. Entah apa yang udah terjadi, Andro juga gak habis pikir. Sebenernya, waktu itu Andro pengen keras ke Ele, tapi kondisinya yang hamil jelas gak mungkin buat Andro kerasin"
"Harusnya ayah seneng. Mau dapat cucu, tapi bukan seperti ini juga kejadiannya. Bukan dengan jalan seperti ini yang ayah mau buat dapetin cucu. Mau ditaruh mana nanti muka ayah kalau sampai semua saudara sama kolega tahu semuanya."
"Maaf ya, Andro gak bisa kasih masukan buat masalah ini. It just too complicated. Tapi bener juga kata ayah. Andro juga gak liat Ele nyesel dengan semua yang udah kejadian di dia."
Pagi di rumah Wiryo berakhir dengan Andro yang pergi ke rumah Anggun untuk mengantar oleh-oleh sedang Wiryo dan Gina mengantar Elena ke dokter kandungan untuk check up rutin.
Mood Andro sebenarnya sedikit rusak saat tadi ayahnya mengajaknya diskusi mengenai Elena. Sampai di depan rumah Marsih, Andro mendapati kondisi rumah yang pintu pagar tertutup. Andro berdiri di depan rumah hampir sepuluh menit sambil tangannya terus memencet bel, namun tidak ada satupun yang keluar dari rumah Marsih.
"Ini kenapa gak ada orang ya? Apa udah berangkat ke warung semuanya ya? Biasanya juga Seno ada di rumah. Ini kok gak ada semuanya sih?" Kebiasaan Andro yang sering bermonolog kembali muncul.
"Gue ke warung aja deh. Mereka pasti pada ngumpul di sana" Dengan hati yang yakin Andro kembali melajukan mobilnya ke warung Marsih. Jika tadi hatinya penuh dengan optimisme akan bertemu dengan Anggun dan melihatnya kembali, sekarang entah datang dari mana, perasaannya tiba-tiba saja menjadi janggal. Seperti ada sesuatu yang terlewatkan olehnya.
Kening Andro kembali mengernyit. Di depannya adalah warung tempat Marsih dan Anggun biasa berjualan. Kondisinya sama dengan rumah yang baru saja dia datangi tadi. Tertutup rapat dan tergembok. Dua hal itu sudah cukup menegaskan jika tidak akan ada aktifitas di dalam warung itu. Seketika saja Andro merasa panik. Segera dia keluarkan ponselnya dan mencoba menghungi Farhan.
Tuuuuutttttt... Tuuuuttttt....
"The number you're calling is not active or out of coverage area. Please try again in a few minutes...."
"Lha kenapa tumben mas Farhan matiin ponselnya. Gak biasanya juga sampe gak bisa dihubungin gini" Andro tambah heran saat bukan Farhan yang menyahut. Kepanikan Andro semakin menjadi menghadapi hilangnya Anggun dan keluarganya.
"Isshh... Gue juga gak punya nomernya Seno sama ibu juga, apalagi Anggun. Mereka kemana juga sih? Gak mungkin juga kan mereka pergi gitu aja?"
Sekarang, Andro berjalan mondar-mandir di depan warung Marsih yang tutup. Perilakunya yang malah mencurigakan itu mengundang beberapa orang mendekatinya.
"Lo, ngapain? Mau nyolong? Hah?" Tanya salah satu orang yang mendekatinya. Mendapati pertanyaan konyol yang tertuju kepadanya, tentu saja Andro tersinggung. Matanya menyipit memandang orang yang bertanya itu.
"Nyolong warung ini? Ngawur aja lo! Gue ke sini mau ketemu sama Anggun ato bu Marsih! Gue telpon tapi gak diangkat! Trus kali gak ada, tuh barang mau ditaruh mana? Gak mungkin gua taruh atep warung kan" Andro langsung saja pasang gas menghadapi lawan bicara yang sangat mengesalkan baginya.
"Woalah lo tuh kurir barang? Bilang kek dari tadi kalu mau ngirim pesenan barang!" Andro spontan saja membulatkan matanya. Setelah tadi dirinya dikira mau mencuri warung Marsih, sekarang dia dikira kurir barang. Jika saja tidak ingat profesinya sekarang jelas saja orang yang ada di depannya itu sudah babak belur.
"Bu Marsih sekeluarga lagi pergi ke Jepang" Orang itu lantas berkata setelah beberapa lama tidak ada yang mulai berbicara diantara mereka.
"WHAT? JEPANG? NGAPAIN?" Jika ada istilah serangan panik kuadrat, mungkin sekarang Andro mengalaminya. Jika tadi, walaupun dia masih bisa menguasai dirinya dari serangan panik, sekarang tampaknya pertahanannya jebol.
"Lha ya mana gue tau. Bu Marsih cuman bilang kalau mau ke Jepang aja. Pindah kali kesana! Seno juga ikutan ke Jepang. Farhan kan kerjanya di perusahaan Jepang, kali aja Farhan ditarik ke kantor pusatnya trus mereka semua diajak ke Jepang"
Andro melangkah lemas. Kakinya serasa tidak lagi bertenaga. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Kenapa harus pindahnya ke luar negeri segala? Apa dia sudah sangat mengecewakan keluarga Marsih hingga mereka akhirnya pindah ke Jepang? Apa mereka berniat menghindarinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be Your Man (Tamat)
RandomHari sudah menjelang petang kala itu. Anggun melangkah tertatih keluar dari gudang sekolah. Tubuhnya terluka, namun hatinya jauh lebih terluka dari yang terlihat. Habis sudah air matanya meruntuki apa yang terjadi padanya. Dia sendiri tidak lagi bis...