Part 42

9.1K 588 18
                                    

Sepulang dari rumah sakit, Anggun memilih untuk langsung ke kamarnya. Dia ingin menenangkan dirinya setelah sedari tadi di rumah sakit emosinya naik. Di dalam kamarnya, Anggun sengaja meredupkan pencahayaan kamar. Hanya lampu tidur yang di atas nakasnya yang menyala. Suasanya redup seperti ini sangat membantunya untuk menenangkan diri. Membuatnya bisa menurunkan emosinya yang tadi lumayan meledak.

Tidak berapa lama, pintu kamarnya diketuk dan setelahnya, Marsih muncul. Ibunya itu mendekati Anggun yang duduk bersandar di headboard tempat tidurnya sambil memeluk gulingnya. Kakinya ditekuk sehingga sekarang dia memeluk guling sekaligus juga kakinya.

"Nak, gimana kamu sekarang?" Tanya Marsih dengan suara yang lembut. Anggun menolehkan wajahnya, lalu dia menggelengkan kepalanya pelan. Pendangannya meredup. Sangat kontras bila dibandingkan dengan saat tadi di rumah sakit. Tatapan yang penuh amarah dan juga sinis ditunjukkan Anggun saat berada di dekat Elena.

"Gak tahu juga bu. Anggun gak tahu. Kalau boleh jujur sih bu di hati Anggun ada rasa senengnya juga lihat Elena kayak tadi. Lihat Elena seperti tadi kok sebagian hatinya Anggun kerasa lega gitu. Kayaknya, semua kesakitan Anggun yang dulu itu terbalaskan. Tapi, Anggun juga kasihan. Dia kayak menderita banget gitu kan tadi."

Marsih lalu memilih lebih mendekati Anggun. Dia duduk di samping Anggun lalu membawa kepala Anggun ke pangkuannya. Dibelainya lembut rambut Anggun.

"Bu, Anggun kayak gini kejem gak sih? Kesannya tuh tadi Anggun malah kayak orang yang gak punya belas kasihan gitu?" Anggun yang sekarang merebahkan kepalanya di pangkuan Marsih kembali menyuarakan kebingungannya.

"Ibu boleh nanya gak? Tapi mungkin pertanyaan ibu agak sensitif? Gimana?" Marsih tampak sangat berhati-hati dengan Anggun. Tadi di rumah sakit, Anggun seperti memaksa memutar kembali kenangan yang membuatnya berada di titik terendah. Anggun hanya

"Kamu masih belum memaafkan Elena?" Marsih tahu jika pertanyaan ini bisa membuat emosi anaknya kembali naik. Makanya dia bertanya dengan sangat hati-hati.

"Anggun sebenarnya udah gak perduli lagi bu. Anggun berusaha lupain semuanya, berusaha nerima kondisi Anggun yang sekarang ini. Anggun mencoba nerima diri sendiri dulu. Udah mulai lupain semuanya, tiba-tiba aja Andro dateng, bikin Anggun kembali lagi ngerasain sakit yang lalu. Trus kayak sarannya ibu sama mas, Anggun coba aja buat nerima kehadirannya. Gak perlu menghindar atau sembunyi kalau dia ada di sekitaran Anggun. Udah mulai pulih lagi, sekarang ada lagi si Elena. Anggun bingung bu..."

Anggun kembali menegakkan duduknya, dia lantas bersandar lagi di headboard tempat tidurnya. Tampaknya dia ingin ngobrol dengan sedikit serius.

"Kalau tadi Anggun keliatan emosi, itu semua terjadi gitu aja. Pas ngeliat Elena, langsung aja keputer semua apa yang udah dia lakuin ke Anggun. Tapi jujur, Anggun sebenarnya udah mencoba maafin dia. Tapi untuk ngelupain semua yang udah dia lakuin ke Anggun, kayaknya gak bisa. Sama, ke Andro juga sih bu. Anggun coba maafin mereka semua. Tapi Anggun gak akan bisa lupa sama kelakuan mereka ke Anggun"

"Yang penting sekarang, kalau kamu udah mencoba memaafkan mereka, sekarang cobalah untuk ikhlas dengan semuanya. Dengan masa lalu kamu, dengan kesakitan kamu, dengan semuanya"

Malam itu dihabiskan Marsih dan Anggun dengan mengobrol antar sesama wanita. Bahkan sampai Marsih ketiduran di kamar Anggun. Mendengar apa yang diobrolkan oleh Anggun, setidaknya Marsih bisa bernafas lega. Anaknya itu bisa mencoba untuk memaafkan orang-orang yang sudah menghancurkannya. Menurut Marsih, sekarang bukan waktunya memikirkan balas dendam, tapi bagaimana menata masa depan, itu jauh lebih penting.

***

Dua hari berselang setelah kejadian di rumah sakit. Kehidupan berlangsung seperti apa adanya. Pagi itu berlangsung seperti biasa. Marsih, Anggun dan Seno berkutat di dapur dan mempersiapkan makanan yang akan mereka bawa ke warung untuk dijual. Sementara Farhan mempersiapkan semua yang harus dibawanya ke kantor.

Lampu notifikasi di ponsel Anggun berkedip, menandakan ada pesan masuk yang belum dibuka Anggun. Tapi Anggun memilih untuk mengabaikannya. Dia lebih fokus pada masakan yang ada di depannya saat ini.

Saat semuanya sudah selesai dan mereka bertiga berangkat ke warung. Anggun mengambil ponselnya, dia sedikit terkejut saat melihat beberapa notifikasi pesan masuk dari Andro.

"Nggun, Ele kritis sekarang."

"Ele makin drop kondisinya. Aku mohon banget maafin semua salahnya Elena. Kalau kamu mau marah, mau bales dendam, ke aku aja. Aku ikhlas nerimanya tapi tolong banget maafin Elena"

"Anggun, Elena udah gak ada... Aku mohon banget maafin dia. Maafin kesalahannya."

"Nggun, kalau hari ini ada waktu, please datang ke rumah ya. Ada yang harus aku sampein. Amanah dari Elena"

Sejenak Anggun terdiam. Berulang dia membaca deretan pesan yang dikirim oleh Andro. Untuk beberapa saat bahkan Anggun tidak bisa berkata apapun.

"Mbak, ada apa? Kok sampai pucet gitu? Mbak Anggun sakitkah?" Anggun langsung tersadar saat Seno menepuk pelan pundak belakangnya.

"Ibu mana Sen?" Bukannya menjawab pertanyaan dari Anggun tapi malah balik bertanya ke Seno.

"Ibu udah nunggu di depan mbak......" Belum juga Seno selesai berkata, Anggun dengan langkah yang dipercepat meninggalkan Seno yang langsung bingung dengan apa yang dilakukan oleh Anggun.

"Bu... Ibu... " Begitu Anggun sampai di teras depan rumah, langsung saja dia mencari ibunya.

"Kenapa? Kamu kenapa kok kayak panik gitu?" Marsih dengan jelas melihat bagaimana raut wajah Anggun yang panik dan pucat saat ini. Anggun tidak menjawab, dia hanya memberikan ponselnya ke Marsih. Layar ponsel itu masih menampilkan pesan yang Andro kirim kepadanya.

Marsih menerimanya dan wajahnya langsung menampakkan reaksi yang sama dengan Anggun tadi.

"Kamu mau ke sana? Mau ke rumahnya Andro?" Tanya Marsih pelan

"Boleh bu?" Anggun seperti memastikan jika Marsih mengijinkan dia pergi ke rumah Wiryo.

"Kamu ke sana aja. Kamu selesaikan semua yang memang harus kamu selesaikan. Warung, biar ibu sama Seno yang jaga."

"Anggun pamit ya bu..."

"Iya.. Kamu kasih tahu mas kamu. Satu pesan ibu, jaga emosi kamu ya. Di sana nanti kamu mungkin akan ketemu sama temen-temennya Elena yang dulu udah jahatin kamu. Hati-hati pokoknya"

"Oh ya, jangan lupa nanti kabari mas-mu ya. Minta ijin juga sama mas kamu ya" Marsih menambahkan untuk Anggun. Bagaimanapun Farhan sekarang adalah kepala keluarga, jadi dia juga harus tahu apa yang terjadi.

Anggun mengangguk mendengar nasihat dari Marsih. Benar juga, disana nanti dia pasti akan bertemu dengan teman-teman Elena yang dulu sudah berbuat jahat kepadanya. Dia harus bisa mengendalikan emosinya. Bukan tidak mungkin jika nanti mereka akan kembali memancing emosinya. Dia tidak boleh kalah. Tujuannya hanya satu, menyelesaikan semuanya. Bukan untuk Elena, tapi juga untuk dirinya sendiri. Untuk kedamaian hatinya. Untuk ketenangan hatinya.

Let Me Be Your Man (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang