EMPAT PULUH TIGA

3.7K 177 5
                                    

Karin memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Mata sembab dan hidung merah membuat dirinya terlihat sangat menyedihkan. Rambutnya yang setengah basah dibiarkan terurai begitu saja.

Sepulang dari makam Karin langsung membersihkan diri. Ketika sedang mandi, entah kenapa Karin tiba-tiba saja menangis. Perasaannya campur aduk. Dia merasa semesta tidak berpihak kepadanya. Kenapa hidupnya begitu menyedihkan? Setelah Allah ambil ayah, kenapa Allah ambil Naya? Ini semua tidak adil bagi Karin. Bukan kah dia sudah berubah menjadi lebih baik? Karin juga telah mengenakan hijab dan sudah berbakti kepada suami, tapi kenapa Allah masih mengujinya? Sejak dari pemakaman pertanyaan tersebut selalu menghantui pikiran Karin.

"Kamu nangis, sayang?" Tanya Gio yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia tengah menggosokkan handuk ke rambutnya yang basah.

Karin hanya diam. Matanya memandang kearah cermin.

Gio menggantungkan handuknya lalu berlutut disebelah Karin. Dia sedang menyamakan posisi mereka.

"Kamu kenapa? Cerita sama mas." Gio menggenggam tangan Karin.

Karin menggeleng. "Kalau aku cerita, aku bakal nambah beban kamu mas. Udah cukup selama ini kamu nanggung semuanya sendiri. Aku nggak mau nambah lagi."

Gio menggeleng cepat membantah kalimat Karin. "Jangan berpikiran begitu, sayang. Kamu itu bukan beban aku. Dan aku bahagia denger semua keluh kesah kamu. Kita juga bisa cari jalan keluarnya bareng-bareng kan?" Balas Gio tersenyum. "Jadi kamu kenapa?"

"Kenapa Tuhan begitu nggak adil mas?" Karin melontarkan pertanyaan pertama. Dia berpindah posisi menuju sofa yang terletak dekat jendela kamar. "Kenapa Tuhan ambil orang-orang yang aku sayang? Setelah Tuhan ambil ayah, sekarang Tuhan ambil Naya!"

Gio tidak menjawab. Di biarkannya Karin melontarkan semua pertanyaan yang mungkin sudah lama berada dipikirannya.

"Sebegitu besar dan banyaknya dosa aku sampai Tuhan balas dengan ini semua? Apa nggak cukup dengan aku berhijab dan jadi istri yang baik buat kamu? Ini semua nggak adil, Mas!" Ujar Karin berapi-api.

"Apa aku lepas hijab aja biar--------"

"Sstt. Udah ya. Nggak boleh ngomong gitu." Potong Gio sembari menenangkan Karin. "Hijab itu wajib bagi semua muslimah dan bukan kah kamu sudah minta izin sama mas buat berhijab selamanya?"

Karin mengangguk.

"Nah kalau begitu jangan pernah lepas hijab kamu dan luruskan niat bahwa kamu berhijab karena Allah."

"Tapi kenapa ini semua terjadi sama aku mas?" Tanya Karin lagi.

Gio menggenggam tangan Karin. Mata mereka saling bertatapan. "Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 286 yang artinya 'Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya'. Jadi kamu di uji sekarang ini karena kamu mampu, sayang."

"Perihal kepergian Ayah dan Naya, itu sudah ketetapan Allah. Bagaimana pun kita berusaha menahan, kalau Allah sudah berkehendak, kita sebagai umat-Nya tidak bisa berbuat apa-apa." Lanjut Gio.

Suara Gio pelan dan lembut, tapi mampu menembus hati dan logika Karin.

"Sekarang tugas kita sebagai anak hanya mendoakan Ayah. Tidak ada yang bisa kita berikan kepada Ayah kecuali doa. Apalagi doa anak yang sholeh dan sholeha, In Shaa Allah di ijabah Allah."

Karin mengangguk dan memeluk Gio. Entah kenapa, hati Karin menjadi tenang mendengar semua yang disampaikan Gio. Semua kalimat yang di lontarkan Gio adalah jawaban dari pertanyaan Karin selama ini. Dan Karin sangat merasa berdosa telah berpikiran buruk kepada sang pencipta.

Astaghfirullah. Maafkan hamba ya Allah, Gumam Karin dalam hati memohon ampun.

"Dan Mas percaya, dibalik semua kesedihan dan cobaan ini, Allah pasti ganti dengan yang lebih indah." Ujar Gio penuh keyakinan. Tangannya mengusap kepala Karin.

(NOT) DREAM MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang