Bab 7 Selamat Datang di Rimba Saya!

8.5K 1K 224
                                    

Apa yang paling kamu sukai dari sebuah libur? Kalau aku sih bisa tidur sepuasnya di mess tanpa terganggu apa pun. Tinggal matikan ponsel dengan alasan wifi mati dan tenggelam dalam empuknya bantal. Apalagi kalau sekamar sama junior yang masih lugu, semacam tuan putri. Dia takkan peduli meski aku meledakkan kamar sekalipun. Ya iyalah setiap langkahku adalah ketakutan baginya.

Jujur, hal itulah yang paling kurindukan sekarang. Setelah moncong roda pesawat jet – Airbus A320 – mendarat mulus di landasan, tak sabar kakiku ingin cepat-cepat melesat ke mess. Untuk itulah kulaksanakan tugas selesai mendarat dengan sesigap mungkin, meski rerata rekanku sudah layu kelelahan. Kasur mess udah melambai dengan sempurna dan membuatku kadang senyam-senyum sendiri. Aku memang lebih suka ketemu kasur daripada ketemu pacar, dulu.

Untung saja dulu pacarku sama-sama awak kabin. Jadi, kami kadang ketemu cuma akhir pekan. Kadang liburnya nggak sama denganku. Kadang dalam sebulan kami cuma ketemu dua kali. By the way, ini mantan ya! Bukan pacar, aduh diriku. Perlu jedotin kepala ke garbarata ini biar amnesia sekalian tentang Razka!

“Terima kasih, ya! Selamat beristirahat!” ucap Mbak Ivanka melambaikan tangannya padaku dan rekan yang lain. Dia juga mengangguk hormat pada Pilot dan Kopilot. “Terima kasih, Captain!” ucapnya kemudian.

“Terima kasih untuk empat harinya, Mbak-mbak dan Mas!” balas Pilot sembari menyalami kami satu persatu, kami jumlahnya ada 5 orang kru.

“Terima kasih, Capt!” kataku semringah. Senyum lebar menebar ke mana-mana. Itu karena dalam hitungan menit bisa tenggelam ke kasur.

Awak kabin yang lain pun menyahuti kalimat yang sama. Semua rangkaian tugas itu kami akhiri dengan sempurna dan penuh syukur. Tidak cuma ketemu kasur saja sih, kami lebih bersyukur ketemu lagi dengan bandara tempat kami berangkat. Artinya, tugas kami selesai dengan sempurna dan selamat tak kurang apa pun. Meski aku yang kurang penuh otaknya gara-gara something.

Oh my God, bukankah sesuatu tengah terjadi di hidupku? Bukankah badai sedang melandaku kali ini? Kenapa aku sampai lupa jiwa kalau sedang berada di situasi apa, perjodohan bodoh dengan seorang pria aneh gila hormat! Parahnya, saat ini mata kami saling bertemu. Mata bulat kecilnya dengan mata bulat lebarku bertemu pandang! Dia menungguku di pintu keluar bandara. Tidak sendirian, bersama ibunya yang tersenyum samar.

Mau ngapain dia di sini?

Terus nasib kasurku gimana? Nggak jadi kopi darat sama kasur dan baso aci instan dong ini? Rencanaku untuk melepas rindu dengan kasur dan kawanannya mendadak gagal. Duh, apes banget ketemu makhluk aneh di momen selelah ini!

“Tante Yona?” desahku sembari mengerem langkah dan meletakkan koper di belakang badanku. Tanpa mengulur detik, aku mencium punggung tangan beliau. Hormat karena dia teman Mama, ‘kan?

“Dik Bulan,” sambutnya ramah meski wajahnya mendung.

“Tante mau pergi ke mana?” tanyaku berbasa-basi meski hatiku sudah lari ke semak-semak. Sialan, pria tinggi itu tak melepaskan matanya dari sekujur tubuhku, hoek!

“Kami mau jemput kamu!” sahut lancang Ribi. Badan tingginya mendekatiku yang tidak berani menatapnya lagi. Mata itu galak betul, kayak nenek sihir.

Aku cuek dan memilih beralih ke Tante Yona. Kugenggam akrab kedua tangan calon mertua itu, eh. “Mau jemput saya untuk ke mana, Tante? Kalau perlu ketemu, Tante tidak usah repot. Saya pasti datang kalau diminta.”

“Tante cuma nggak mau kamu … kabur,” ucapnya ragu sembari menunduk dan menatapku lagi.

Seketika leherku tercekik. Dengan sungkan aku terbahak tidak lucu. “Eh … Tan – Tante … nggaklah, Bulan mau ke mana memang?” ucapku sekenanya. Sesekali mencuri pandang ke wajah keras pria itu, masih merengut kecut.

“Bisa jadi kabur seperti kakakmu, ‘kan? Kami tidak mau ada masalah lagi sehingga Mamamu meminta Tante menjemputmu. Kalau tidak percaya, telepon saja,” ujar Tante Yona datar yang disusul dengan kerasnya getaran ponsel dari tasku.

Spontan. Kuangkat benda itu karena menampakkan nama Mama berkelip. “I – iya, Ma …,” jawabku terbata.

Terdengar cerocosan layaknya air hujan dari seberang. “Kamu sudah mendarat, Dik? Tante Yona jemput kamu di pintu keluar. Tidak cuma itu, Kak Ribi juga datang untuk membawamu ke Malang. Kamu harus pulang secepatnya untuk mengurus pengajuan nikah. Meski kamu anak komandan, kamu harus tetap menghadap ke Danyon, Dandim, Danrem, dan Pangdam. Jelas?”

Sebentar, ini Mama apa kereta uap sih? Kok persis, ya? Ngomongin apaan tadi?

“Hah, pulang ke Malang?” pekikku lantas sadar kalau ada pria tinggi yang berdecak judes. “Pulang, Ma?” ulangku dengan lirih, sesekali melirik takut ke arah pria itu.

Iya, Bulan! Tidak ada waktu lagi, pernikahan kalian sudah di depan mata! Kami tidak mau menunggu lama karena tidak mau dipermainkan siapa-siapa lagi!”

“Tapi Ma, Bulan harus terbang besok malam. Ke LN lho, Ma. Nggak bisalah …,” tahanku beralasan.

Papa anggap tidak dengar apa pun!” potong Papa dari belakang Mama yang seketika membungkam lisanku. Ternyata beliau ada di situ, Guys! Otomatis aku nggak berkutik kalau Papa sudah bekerja, doh!

“Tap – tapi, Pa …,” masih berusaha membantah.

Pulang atau surat resign-mu terkirim!” ancam beliau kemudian.

Dalam hati aku sudah berteriak layaknya vokalis heavy metal hard rock! Kesel sumpah, pengen gigit apaan gitu? Banting apaan enaknya nih? Jedot-jedotin kepala ke tembok sambil teriak-teriak sampai tenggorokan mau putus bisa nggak? Kenapa gini amat perubahan hidupku! Bisa nggak aku merem sejenak sebelum tenggelam dalam kegilaan ini!?

Turuti semua petunjuk Tante Yona dan Kak Ribi baru telepon Papa lagi!” pungkas Papa sebelum telepon ditutup.

Suara Papa membuatku sakit kepala. Kuletakkan ponsel ke dalam tas lalu berbalik dan menghadapi kenyataan. Inilah dia, aku harus pergi bersama dua orang asing yang sebentar lagi menjajah keindahan hidupku. Satunya ibu yang cantik layaknya artis Korea. Satunya cowok sejenis SJK KW super yang hobinya merengut. Tak banyak bicara dan dia hanya merampas handle koperku.

“Kita pulang ke rumah Tante dulu, ya? Nanti kamu baca dulu surat pengajuan di sana baru ditandatangani. Sorean dikit kita harus ngepas bajumu lagi! Nanti Kak Isabel datang,” Tante Yona berkata panjang lebar sembari mengiringi langkahku ke parkiran bandara. Kak Isabel siapa lagi itu?

Sejenak abai karena fokus pada pria berkemeja kerah hitam dan celana jeans yang berjalan di depan tanpa menoleh atau apa. Dia menarik koperku tanpa kuminta. Sok baik sekali padahal aslinya kayak bukan manusia. Apa maksudnya coba? Mana sok keren pakai kacamata hitam pula. Iya sih memang silau, tapi sok ganteng banget. Benci buanget aku sama dia!

“Kamu sudah punya nomornya Kak Ribi, ‘kan?” tanya Bu Yona pelan saat mobil mulai berjalan, disetiri si Pangeran Kegelapan tanpa banyak cing-cong.

Dengan sungkan aku menoleh dan mengangguk berkali-kali. Kagok betul di dekat beliau nih. “Su – sudah, Tante. Danton Iqbal sudah SMS saya.”

Ya padahal nasib nomornya di ponselku masih tak bernama. Bingung mau kasih nama apa, masa iya “Es Balok Hidup”?

“Danton Iqbal?” Tante Yona menatapku heran. Apalagi saat aku mengangguk yakin. “Masa kamu manggil calon suami begitu, Dik?” Kuanggukan kepala lagi.

“Ck!” Terdengar dercakan judes dari penjuru depan. Pangeran Kodok sudah melirik tajam padaku yang berada di jok tengah.

“Lah emang iya!” eyelku tak takut, padahal hatiku masih sembunyi di semak-semak.

“Lho, nggak bisa gitu. Meski pertemuan kalian aneh dan terkesan dipaksakan, tapi Bulan tetap manggil Kak Ribi seperti sewajarnya. Panggil ‘Kak’ gitu, ya?” omel Tante Yona halus.

“I – iya, Tante …,” jawabku sembari tersenyum, terpaksa sih. Mau gimana, Tantenya cemberut. Kayak marah tanpa batas padaku gitulah.

“Coba dulu!”

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang