Salwabulan POV
"Kondisi janin meninggal di usia kehamilan lebih dari 20 minggu disebut stillbirth. Sementara itu, kandungan Mbak Bulan belum mencapai itu, sehingga disebut keguguran. Dengan sangat amat menyesal, saya menyatakan bahwa Mbak Bulan telah mengalami keguguran. Detak jantung janin tidak lagi terdeteksi, begitu pun dengan pergerakannya. Tidak ada pergerakan saat diperiksa."
"Lalu apa yang harus kami lakukan, Dokter?"
"Kuretase, karena usia kandungan yang masih sekitar 12 minggu."
"Apa penyebab istri saya keguguran, Dok?"
"Banyak, Pak. Kelainan plasenta, kelainan kromosom, penyakit yang diderita ibu, dan lain sebagainya. Harus ada pemeriksaan lebih lanjut dan saya tidak bisa menyimpulkannya untuk saat itu."
Percakapan menyakitkan sedang terjadi di ruang 4 x 4 meter milik dokter Gania ini. Salah satu ruangan di RSIA yang biasanya menyenangkan bagiku ini sekarang terasa gelap dan suram. Mungkin karena raut wajah dokter kesayanganku yang tak ceria, atau mungkin suamiku yang tak banyak mengangkat wajahnya. Atau mungkin aku ... yang banyak terdiam menunduk di kursi roda dengan menahan rasa tak nyaman dari kedua pangkal kakiku.
Kediamanku karena banyak sebab. Pertama, aku sakit. Kedua, hatiku sakit. Ketiga, duniaku runtuh dan gelap. Andai dokter jaga yang berkata, aku masih bisa tak percaya. Namun, jika dokter Gania telah angkat suara, aku tak bisa mengelak lagi. Calon buah hati kami telah pergi, bahkan semenjak kemarin sore. Ya, perkiraan dokter seperti itu. Itu salah satu penyebab kenapa aku mengalami pendarahan dan kontraksi.
Rupa-rupanya, aku telah kehilangan seseorang di hari ulang tahunku. Bukan, hari ulang tahun kami, aku dan suamiku. Aku telah batal menjadi seorang mama karena Nugget pamit pergi, tanpa izin dan peringatan.
"Dok," panggilku lirih dan serak yang membuat dokter Gania memfokuskan matanya padaku. "Bukankah saya tidak ada masalah semenjak awal kehamilan?" tanyaku sedikit bernada protes.
Dokter ayu itu menarik napas panjang dengan wajah penuh simpati. "Saya paham perasaan Mbak Bulan. Namun, tiga bulan pertama kehamilan memang waktu yang rentan. Janin belum sepenuhnya dikatakan kuat dan hal seperti ini bisa saja terjadi. Sebuah studi bahkan menunjukkan bahwa 10-25% dari semua kehamilan yang diakui secara klinis akan berakhir dengan keguguran. Biasanya terjadi sebelum 12 minggu kehamilan."
"Apa saya salah makan atau kurang menjaga kondisi badan, Dok?" eyelku meski mendapat penjelasan panjang bin gamblang. Hal ini mampu membuat Ribi menyentuh kedua tangan yang kuremas di atas pangkuan.
Dokter sabar itu menggeleng lebih keras dengan kedua alis berkerut. "Sekali lagi, jangan menyimpulkan sesuatu tanpa pemeriksaan mendetail, Mbak. Kita harus mengevaluasi semua dari awal. Jangan menyalahkan diri sendiri dulu, ya?"
"Tapi saya salah, 'kan, Dok?" Tangisku makin tumpah.
Ribi mendesis lembut. "Sal, sudahlah. Ini bukan kesalahanmu, Sayang."
Tangisku makin meledak hingga tak kuasa menatap matahari. Kutundukkan kepala dengan kedua tangan menutupi wajah. "Kalau hal buruk terjadi pasti karena ada yang salah. Karena aku nggak bisa jaga anak kita, Kak."
"Ini semua sudah takdir, Sal!"
"Benar kata suami, Mbak Bulan. Semua sudah takdir, ini adalah sesuatu yang tidak bisa kita atur atau tolak." Dokter menutup kesedihanku, bukan, perlawananku akan kenyataan pahit ini.
Sejatinya, aku masih dan terus menyangkal kenyataan bahwa aku telah kehilangan seseorang yang jadi semangat hidupku.
Seorang Paulo Ceolho berkata, "If you're brave enough to say goodbye, life will reward you with a new hello." Jika kamu berani berkata selamat tinggal, maka kehidupan akan menghadiahimu pertemuan baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Es Balok (TAMAT)
RomanceRated: 21+ Please, yang di bawah umur itu jangan baca! Jangan nekat! Saya tdk bertanggung jawab atas risiko yang timbul di kemudian hari. Source Pic Cover: Pinterest Edit by Canva Design by Nayla Salmonella Cover #2 By Kak Niaratika DILARANG PLAGIA...