Bab 32 Balas Dendam Terindah

9.1K 1.1K 253
                                    

Mohon maaf nih belum sempet balas semua komen Temans². Saya sibuk nulis Temans, kalau menanggapi komen membuat konsentrasi saya buyar karena terlalu asyik mainan HP. 😭😭😭😭

Jadi, mohon maaf yaa. Agak telat balas komen kalian. Yang penting update ga telat yaa. 🥰🥰🥰

===========================

Jam 3 pagi aku terjaga dari tidur cantik. Bangun ke posisi duduk setelah labuh di pelukan dadanya. Aksi balas dendam Kak Ribi membuatku tepar. Lelah maksimal setelah melepas rindu seberat kapal induk. Anehnya, sekarang aku malah terbangun dalam kondisi segar bugar. Maklum baru dapat nafkah batin.

“Nakal!” celetukku pelan seraya menatap Ribi yang mengubah posisi tidurnya. Kurapatkan selimut ke lehernya karena takut kak Suami masuk angin kena terpaan udara penyejuk udara.

Berjingkat pelan agar tak menimbulkan suara menuju kamar mandi. Buang air seni sekaligus bebersih. Setelahnya aku mengendap menuju kulkas kecil di kamar ini, hasrat hati ingin mengambil air mineral dingin atau soda sarsaparilla gitulah. Tadi waktu Ribi belum masuk kamar, minuman itu kumasukkan ke benda ini. Semoga masih ada dan nggak dibuang Ribi. Yash, aku udah dilarang keras minum gituan.

“Masih ada dong!” gumamku pelan yang terdengar bahagia sangat. Langsung aku berjinjit menuju kursi tepi jendela.

Karena ngantuk sudah hilang, kuputuskan untuk memandang langit malam Jakarta. Sama seperti saat aku jet lag di mess dulu, bosan drakor dan akhirnya nonton langit. Ini mulai masuk kemarau, jelas langitnya cerah tanpa mendung. Ditemani soda manis rasa balsam, aku siap me-time. Ugh, nikmatnya.

Melirik tipis ke arah ranjang berantakan untuk memastikan priaku telah lelap ke alam mimpi. Beres, Ribi itu tidurnya ngebo banget. Dia cuma bangun kalau sudah waktunya bangun, sisanya deep sleep. Pengen belajar untuk mengatasi susah tidur akibat jet lag. Ya sudah, mari kita seruput air manis ini.

“Hem, enaknya …,” desahku keenakan seperti tadi saat gelontoran air bergelembung itu mengalir masuk ke kerongkongan. Sumpah, kalau ketemu sama pencipta rasa menakjubkan ini aku pengen salaman sampai sejam. Dia sangat berjasa.

Senyumku lepas seolah sudah lupa semua beban hidup. Buat apa memikirkan sesuatu yang sudah terjadi. Harusnya dijalani saja to? Suatu saat kebenaran akan terbuka, bahwa aku korban fitnah. Someday, aku bakalan ngomong ke bu Puspa. Waktu yang tepat pasti datang, akan kubalas dengan prestasi.

Andaikata aku dikeluarkan dari INA Air, aku masih bisa jadi ibu Persit. Istri kesayangan Ribi tidak buruk juga. Ada langit yang kusukai, tapi ada manusia di darat yang selalu merindukanku, tsah bahasaku! Ngomong-ngomong, melihat ponselnya yang teronggok nganggur di atas meja membuatku berpikir busuk. Pengen kepo isinya, boleh nggak sih? Dia itu penjunjung tinggi masalah privasi. Tapi aku istrinya. Sebenarnya sah-sah saja aku mengoprek itu benda sampai ke akar.

“Kak Ribi pinjam, ya …?” ujarku bicara sendiri. Kuambil benda kotak yang mahal harganya dan tidak berkode kunci apa-apa itu dari atas meja.

Kupencet tombol kecil dan membuat layarnya menyala. Wauw, ini kali pertama aku memegang benda pribadinya secara langsung. Eits, bukan benda yang itu, gawai maksudku. Apaan gambar layar kuncinya, ah … foto pernikahan kami. Diam-diam bucin juga sih. Apalagi saat membuka layar depannya, hatiku semakin tak terkira.

Sejak kapan dia punya gambar wajahku yang sedang merem ini, hah? Kok dia bisa punya fotoku saat ngowoh ketiduran gini? Sebentar, ini foto kapan? Bukannya ini foto waktu kami pulang pengajuan dari Surabaya kala itu? Aku letih dan tepar seperti biasa. Alangkah kagetnya aku kalau ternyata Ribi diam-diam suka memotretku.

Coba koprek isi galerinya! Mataku langsung membola setelah melihat satu folder bernama “istri” di bagian atas aplikasi. Lincah memencet dan semua langsung terpampang nyata. Semua berisi fotoku yang entah kapan dia ambil. Terbaru, ada aku yang sedang berjalan melongo di pintu keluar tadi.

Bergulir sampai ke bawah dan aku menemukan sebuah fakta luar biasa. Ribi mengambil fotoku semenjak aku menangis sedih setelah rikes di Rampal saat itu. Aku sibuk tersedu, menyandarkan kepala ke dashboard, dan ternyata dia mengambil poseku. Ada rasa sedih sekaligus besar kepala saat memandang foto ini. Siapa yang nyangka kalau seorang Es Balok begitu memuja istrinya.

Kubuka satu persatu foto itu. Seolah menonton timeline perjalanan pernikahan kami semenjak kenal sampai sekarang. Tak ada satu pun momen yang tak diabadikan olehnya. Foto itu mampu bercerita betapa banyaknya hal yang telah kami lalui. Pengajuan, pernikahan, pedang pora, Bromo, perpisahan Malang dan beberapa kota, dan pertemuan manis kami. Ah, indah betol!

Seorang Ribi selalu mengukur setiap sikap dan perbuatannya. Semua yang dilakukannya selalu dipertimbangkan dan punya alasan yang logis. Foto-foto ini menyiratkan cara unik Ribi dalam mencintaiku. Membicarakan foto-foto, kenapa aku malah kepikiran hal nggak penting lainnya. Lantas apa makna foto-foto di IG lamanya itu? Iya, yang foto tempat-tempat itulah!

Pasti ada maknanya, ‘kan?

Kalau aku bertanya sekarang, gimana? Bakalan dijitak atau dipopor nggak sih? Aku nggak mau merusak taman kembang di hatinya. Apalagi sampai menggugah singa yang sudah lelap kelelahan macam dia. Aduh, tapi rasa penasaranku mulai di ambang batas. Overthinking yang kumat di waktu yang salah.

“Kak,” jawilku pelan tak serius di betis rampingnya. Jangan bangun, please!

Huft, Ribi tidak bergerak sedikit pun. Syukurlah aku selamat. Ya udah deh mendingan balikin dulu aja gawainya sebelum ketahuan. Ya meski aku masih penasaran dengan isi kontak dan perpesanannya. Nggak ada waktu banyak, membongkar itu bisa sampai pagi.

“Kok udahan, nggak mau kepo WA, IG, email, dan telegram juga?” pecah suara serak Ribi yang membuatku membeku.

Aduh mamae, dia bangun! Benar saja, mata kecil ngantuknya itu terbuka sempurna. Tampangnya siap membumihanguskan masa depanku. Baik, bye semesta, aku digampar dulu! Oh tidak, aku ditarik lagi dalam pelukan rapatnya. Sampai terbatuk karena napasku begitu sesak. Aduh, dia paham nggak sih kalau body pramugari itu kudu disayang-sayang. Aku udah kopyor akibat turbulensi dan perubahan ketinggian ini woey!

“Beneran mau nelanjangi aku kamu, Sal!” katanya tak serius, sebab pitingan kuatnya telah berubah jadi pelukan yang hangat. Jujur, dia nggak marah. Keajaiban, ‘kan?

“Ya … ‘kan … udah,” celetukku malu-malu, mau.

“Apa lagi sih yang pengen kamu tahu? Nanya aja bisa nggak daripada nyuri kesempatan kayak maling,” katanya lagi dengan mata merem.

“Memang Kakak bakalan jawab jujur?” Kak Suami berdehem ringan.

“Apa maksud foto-foto aneh di IG lama Kakak?” Dia langsung membuka mata, ekspresi wajahnya berubah tegang.

“Harus kita bahas ini di jam setengah 4 pagi? Saat kamu baru saja minum soda dan aku masih acak-acakan gini?” lonjak Ribi sebal.

“Kayaknya aneh.” Mataku setengah menyipit mulai mencium gelagat amis.

Ribi menarik napas panjang dan melepas pelukannya. Aku dibiarkan kembali ke posisi duduk untuk menerima jawaban yang sepertinya menyakitkan itu, ya, sepertinya.

“Itu foto Alula,” katanya pelan, tapi sanggup mengagetkan sanubari jiwaku.

“Al …,” gumamku kacau. Menyebut nama mantan, antara ikhlas dan tidak sih sebenarnya.

“Aku suka bermain simbol. Saat kami putus, kuhapus semua foto berdua kecuali beberapa foto yang bermakna. Itu tempat penuh kenangan kami,” jelasnya santai, tapi hatiku sudah kemretek hancur. Iya benar, seharusnya aku nggak membahas ini dengan perut kosong. Mual, asam lambung naik!

“Rampal, kami sering jogging bareng. Lapangan tembak, kami pernah ikut Piala Pangdam bersama, dia mewakili satuannya dan …,” jelas Ribi.

“Huek,” ceplosku spontan yang bisa memotong kalimat ilmiah Ribi.

“Mana yang sakit?” tanya Ribi menepuk punggungku. Mulai cemas bin panik karena kelakuan absurdku.

“Maaf,” tahanku menutup mulut. “Cerita itu nanti aja, ya?”

“Makanya aku bilang nggak usah diceritakan. Cemburu kamu!”

“Nggak!” bantahku yang dibalas cibiran bibir olehnya.

“Ya udah kamu hamil,” ceplosnya santai kayak di ngarai.

“Mana ada! Aku baru beres mens seminggu lalu!”

“Berarti kamu masa subur!”

“Ih, enggak!”

“Untung aja tadi kondomnya Kakak bolongin!”

“Ah, Kakak!” rengekku kacau. Ribi terkekeh di balik bantal, tenggelam dengan bahagia setelah sukses menggodaku.

Ampun, pria mateng ini kenapa sih? Suka banget lihat aku kebakaran bulu alis. Selalu saja berhasil membungkam mulut sibukku dengan aksi senonohnya. Tadi bahas apa ujungnya ke mana? Sudahlah, aku berusaha ikhlas menerima masa lalunya. Akan tetapi, kok selalu diuji gini kek mana, Waaak? Halo Bulan, dia cuma berusaha menjawab pertanyaan edanmu, bukan salahnya!

“Cup, sudah nggak usah bahas itu!” pungkas Ribi pelan setelah tawa girangnya reda.

Bibirku masih manyun layaknya Donal Bebek disengat tawon. Mataku masih melirik tajam karena wajah tengilnya. Hati masih panas karena aksi usilnya. Namun, sebuah suara keras, “gluduk”, dari tembok sebelah mengagetkanku. Kami langsung berpandangan serius sembari menerka-nerka barusan suara apa. Itu bukan suara meteor atau asteroid yang jatuh ke atas genteng, ‘kan?

“Kak, aku takut,” ucapku menjijikkan saat Ribi sibuk berpakaian. Disambarnya kaos tanpa lengan untuk menutupi badan kekarnya seraya berjalan menuju pintu, dengan aku yang mengekor cemas.

Ribi membuka pintu dengan cepat dan pemandangan mencengangkan hadir di depan mata. Bukan asteroid atau meteor yang barusan jatuh, melainkan Bintang yang tersungkur ke atas lantai dengan botol kecil yang berhamburan isinya. Bintang, kakak laknatku, pingsan dengan memegang botol berisi pil … ibuprofen.

Dia sakit? Mengapa perlu menelan tablet antiinflamasi nonsteroid itu? Apa keanehan sikapnya lantaran obat ini? Berhubungan dengan sakit yang dideritanya hingga membuatnya pingsan ini? Rasanya pikiranku kembali mumet kepada Bintang kejora di langit yang gulita itu. Huh!

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang