Saya memohon maaf belum sempat membalas semua komen ya Temans. Anyway terima kasih buanyak sudah mampir dan memberikan buanyak komentar positif 🥰
Beberapa hari lagi muales pol nulis gara² meleng ke film. 😭
Haduh, mood lagi ancur²an 🙃
Untung msh ada sisa² bab 🤣
Ya udah selamat membaca dan nano² with Bulan
101121
############################
Salwabulan POVGodaan penyakit belum juga beranjak dari hidupku. Setelah lima hari jadi pasien dokter Ribi, aku masih harus merasakan derita akibat tangan dan kaki yang tiba-tiba jadi budukan. Bediding mendatangkan banyak efek padaku, positif dan negatif. Negatifnya, aku jadi merasakan sakit macam-macam, alergi dingin kambuh dan infeksi lambung. Positifnya, jadi dimanja dan ditimang-timang bapak berambut cepak.
Serius, kalau nggak gara-gara sakit aku nggak bakalan tahu gimana watak asli Ribi. Ternyata manusia itu bisa selembut bedong bayi. Suaranya bisa sehalus rambut putri raja, meski kadang harus mengomel karena aku makan cuma sedikit. Akibatnya, timbanganku semakin bergeser ke kanan dari 48 ke 45 hanya karena 5 hari sakit. Wow, gimana caranya gembrot sih? Serius nanya aku, hiks.
Kapan sih ini hawa Malang bisa normal lagi untuk dihuni makhluk antidingin sepertiku? Sumpah, aku kangen hawa Jakarta yang sumpek dan hangat itu. Mendingan, karena alergiku jarang kambuh. Sekarang aku jadi menderita gara-gara semalam tak sadar menggaruk tangan dan kaki saat tidur. Saat bangun semua jadi mengerikan, aku mirip monster bentol.
Mau berendam di air dingin yang ada gigiku gemelatuk tak kuat. Air Malang serius seadem es. Serba salah intinya dan bikin Kak Suami makin keki. Mungkin kekesalannya akibat aku yang mendadak memakai seragam kerja dan minta diantar ke Surabaya nanti sore jam tiga. Niatnya sih ngasih kode halus, tapi yang ada malah daku dipelototin. Kayaknya doi melarangku bekerja lagi. Doh, gimana nih?
Izin kayak gini aja udah bikin aku nggak enak hati sama bu manajer. Itu karena semua jadwal jadi berantakan karena keabsenanku. Ya, tapi siapa juga yang mau sakit? Meski dimanja suami, tapi aku emoh juga. Mendingan sehat, bisa terbang, dan bawain Ribi utangku; cinnamon roll 5 pc.
Berbekal keinginan bekerja yang semakin kuat, kukuatkan hati dan diri untuk nyemplung ke bak hitam besar yang ternyata muat sama tubuh kurusku. Brrr, adem pol Reek. Astaga kalau nggak demi INA Air dan cinnamon roll-nya Kangmas, ogah daku kayak gini. Seriusan, enakan di rumah ini kok. Ngemil camilan dari Mama dan koperasi sambil nonton Netflix.
Kayaknya sih keinginanku dikabulkan Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Jam 12 siang, tepat azan Zuhur seluruh bentolku kempes. Hanya tersisa di tangan dan itu tak jadi soal. Gegas aku mengambil wudu dan mendirikan salat, setelah itu membuat kudapan sederhana untuk makan siang Kak Suami. Harus baik-baikin perutnya sebelum kutinggal kerja. Akhirnya, jam 1 aku selesai packing untuk terbang rute Surabaya – Makassar – Manado dengan layover di Makassar.
Kemungkinan besar aku baru kembali ke Malang di akhir pekan. Kayaknya bahagia karena Ribi bakalan libur dan kami bisa melalui waktu berkualitas lagi. Seems legit. Yah, hanya itu yang membuatku bisa sesemangat ini menjalani setiap pekerjaan. Setelah lelah, akhirnya ketemu doi lagi di akhir pekan. Terlalu menikmati yang membuat pernikahan ini berjalan cepat.
“Beres!” gumamku puas sembari menepuk koper besar warna dark grey di depanku ini. Sometimes, aku perlu menghargai diri sendiri atas kinerja yang selalu prima.
Aku bangga pada diri sendiri karena bisa melewati dan menjalani hidup seperti ini. Meski lemah di otak, aku pandai dalam berkemas dan cekatan dalam bekerja. Meski seringkali menangis menahan rindu, aku berhasil menjaga setia pada Ribi seorang saat kami berjauhan. Setiaku menjadi setianya Ribi jua, ya aku percaya dia adalah pria yang tidak neko-neko. Siapa yang suka bekerja keras saat badan baru saja enakan? Siapa yang suka berjauhan dengan suami saat sedang sayang-sayangnya?
Serius, semakin hari tingkahnya membuatku jatuh cinta. Kangmas Ribi tak lagi mengeluh saat aku hanya bisa menghidangkan mi kari ayam plus toping sawi rebus dua ikat dan telur dadar yang bentuknya trapesium ini sebagai makan siangnya. Dia melahapnya dengan nikmat tanpa banyak bicara saat sampai di rumah jam setengah dua. Lunch yang mundur dari biasanya karena beliau teramat sibuk di kantor.
Namun, dia tetap menepati janjinya. Jika aku sembuh sebelum Zuhur, maka dia akan mengantarku ke Surabaya untuk bekerja. Ternyata memang aku sudah sembuh saat dia menuntaskan hasil kerja kerasku selama 15 menit di dapur ini. Terlihat kenyang dan puas saat ia mengusap bekas sesapan air minum di bibirnya. Mungkin itulah yang membuatku makin mencintainya.
Iqbal Darmawan Al-Magribi adalah pria penuh syukur; sederhana; dan tidak aneh-aneh, meski di awal aku mengenal dia adalah manusia yang kaku dan membosankan. Yah, aku bahkan pernah menjulukinya predator ganas saking keselnya. Tapi apa yang dia lakukan sekarang? Aku telah mengakrabinya dari sisi yang lain, hanya ada seorang pria biasa yang penuh cinta.
“Aku cemong?” tanyanya yang menyentakku. Gegas aku fokus pada mangkok mi di depanku, ya, aku belum memakan isinya karena terlalu sibuk melamun. Bisa-bisanya aku melamun di tengah berisiknya kukuk Jambul – burung perkutut pemberian Papa yang sekarang jadi penghuni rumah ini.
Aku menggeleng. “Nggak kok, kayaknya Kakak udah kenyang, ya?”
“Terpaksa, kamu barusan sakit makanya aku nggak maksa buat masak. Sayangnya, kamu maksa sekali untuk kerja,” sindirnya tajam sembari mengusap mulut dengan tisu makan.
Kulemaskan bahu berusaha santai. “Doh, kok bahas itu lagi sih, Kak? Aku nggak bisa izin terus-terusan. Mana barusan pindah ke base SUB, ‘kan? Tolonglah mengerti aku!”
Ribi menyeringai keji. “Mengerti aku?” tekannya mulai menaikkan satu alis.
“Seharusnya kamu yang mengerti diri sendiri, Sal! Aku nggak yakin kamu udah sembuh total. Seharusnya kamu check-up lengkap, aku harus tahu apa yang ada di tubuhmu itu!” tunjuknya jahat.
“Ya ampun, Kak! Aku serius udah sembuh. Obat dokter aja udah habis, nafsu makanku juga udah kembali. Lagian kalau aku nggak sehat juga nggak bakalan lulus medex nanti.” Kubuat Namaste ke dada. “Please atuh, Kak. Jangan marah teruslah. Anterin aku yang happy gitu lho, aku mau terbang lho ini!” bujukku berusaha meraih pangkuannya.
Namun, Ribi melengos jutek ke arah lain. Ya kalau dia baik malah aku bingung. “Semoga kamu masih hipotensi biar gagal terbang!”
“Doh, doanya!” Kugeplak pangkuannya spontan dan membuatnya mendelik. “Ups, maaf ….”
Ribi memicingkan matanya mulai kesal. “Kayaknya kita harus memperbarui kontrak itu deh. Kalau kamu mulai sakit-sakitan, mendingan kamu resign aja! Aku berhak kasih izin kamu terbang atau nggak, bukan pilot!”
Pengen kali kujedotkan kepala ini ke sudut meja. Kenapa Kangmasku semakin posesif? “Doh, mana bisa begitu? Ampun, Captain. Saya boleh terbang, ya?” Kukedip-kedipkan kedua mata genit laksana boneka Suzan.
“Jadi kamu kayak gini juga sama pilot? Genit juga kamu, ya? Ketahuan juga kamu, ‘kan!” tunjuk Ribi yang membuatku menelan ludah kecut. Astaganaga Alibaba, kenapa sih tingkahku nggak ada yang bener?
“Ya ampun, nggak, Kak! Sumpah!” Kubuat angka dua pakai jari. “Aku cuma cinta, kangen, sayang sama Kakak, sama Sayangku. Ulu-ulu Tayangcuuu,” ucapku mulai kumat, edan. Kuraba-raba perutnya berharap dia ketawa geli terus bubar deh itu ngamuknya.
Tapi dia semakin melengos. “Bomat! Malas! Udah sana, rayu pilot-pilot itu!” Ribi mulai cemburu buta. Aslinya, Ribi kalau bucin itu begini, Guys. Suka ngambek nggak jelas gitulah.
“Doh, Es Balok!” ceplosku lirih, tapi seperti biasa kupingnya selalu bisa mendengarku.
“Kamu bicara apa?”
“Eng … es doger. Enak nih siang-siang. Beli yuk Kak nanti di perjalanan. Ya, ya?” bujukku busuk, tapi dia semakin mendelik.
“Alergi dingin kok minum es! Nggak! Kerja? Nggak! Nggak ada perjalanan, nggak ada terbang-terbangan!” putusnya otoriter sembari ngeloyor ke kamar.
Sek-sek, kalau istri ngambek masuk kamar pertanda suami harus nyusul buat merayu dan ujung-ujungnya hokya-hokya gedubrak, ‘kan? Apa itu juga berlaku pada istri? Okay, baik sepertinya aku harus menerapkan hal yang sama. Kayaknya Kangmas harus diberi sentuhan terapi sebelum kutinggal kerja nih. Lama-lama kok rewel amat sih ini cowok mirip ABG labil.
“Kakak … punggungnya pegel, ya? Masih ada waktu sejam, aku pijetin, ya!” kataku bernada rayuan gombal nackal plus senyum durjana. Kalau dia licik, aku mah berakal bulus.
---
Jam setengah lima sore, Harry membawaku sampai di tanah Surabaya. Aku telah selamat diantarkannya ke terminal 1A Bandara Internasional Juanda. Bukan oleh Harry sih, melainkan oleh kekasih halalku yang tadi sudah takluk oleh sentuhan pribadiku. Yash, akhirnya kami berangkat juga setelah sempat berantem kecil yang berakhir pada … ah sudahlah.
Tak bisa terlalu lama saling memeluk melepas cinta karena jarum jam semakin mepet pada waktu keberangkatanku. Yah, aku memang terbang jam 9 malam, tapi 4 jam sebelumnya aku sudah harus di Bandara. Memang seperti itulah aturan dari maskapai. Setelah dikalkulasi, masih tersisa setengah jam bagi kami untuk saling bertukar hangat lewat pelukan erat di parkiran.
Dia yang paling ribut mencerewetiku. Jangan lupa pakai selimut saat tidak bertugas, jangan lupa pakai kaos kaki atau syal di leher. Jangan lupa pakai salep dan minum obat. Jangan makan sembarangan dan sebelum makan harus izin dia terus. Dan jangan-jangan yang lain yang membuatku pusing sendiri mendengarnya. Sudahlah, kuanggap itu bentuk cintanya.
Dia menceramahiku sampai setengah jam berpelukan ini. Sesekali dia menciumku erat, tak ingin melepasnya meski aku engap. Dia membingkai wajahku, mengecup kedua mataku yang membuat warna cokelat perona mata transfer ke bibirnya. Tak mengapa, dia hanya tertawa santai. Kutahu sedang menutupi kesedihan. Realitanya, Ribi yang paling berat dengan perpisahan ini karena cintanya.
Kadar cinta kami tak sama, karena dia yang teramat cinta dan aku yang cintaaa sekali dengannya. Ya sama saja, Dodol!
“Jangan nangis, cup!” larangku menyimpulkan bibir rapat karena memblokir akses air mata keluar.
“Kamu itu! Aku mah udah biasa,” hindarnya pada pemandangan senja plus Boeing 777 yang baru climbing.
“Ciss,” desisku geli. “Ya udah, Sal masuk ke dalam, ya, Sayang?” pamitku kemudian lalu meraih punggung tangan kuningnya.
Kukecup lembut untuk merangkum aroma wanginya, memejamkan mata sembari menyedot lagi aroma lotion-ku yang sudah jadi indeksnya. Ribi memang menyukai semua barangku, katanya supaya terasa dekat saat aku seperti ini. Sudahlah, dia memang bucin kok. Kalau dijabarkan bisa bikin mual-mual.
“Jangan lupa istirahat cukup, Sayang. Sekali lagi kamu sakit, surat resign langsung kukirim!” ancamnya setengah serius setengahnya entah, aku tak bisa membedakan keduanya.
Kubuat hormat di kening. “Siap! Kakak ngantar aku sampai ke dalam, ‘kan?”
“Ya, sebentar. Di sini dulu supaya aku puas menciummu!” ujarnya menimpal pipiku. Sudah kudugong, perona pipi telah transfer ke bibirnya. Tapi dia tak peduli.
Ribi malah tertawa lepas seraya melipat tangan ke belakang headrest. “Kapan, ya, kita nggak gini lagi? Jemput kamu setiap pulang terbang aja udah seneng. Semoga akhir pekan aku nggak ada kerjaan.”
Sindiran itu menohok jantungku. “Aamiin. Someday, aku pasti selalu di dekatmu. Anyway, aku selalu pulang untuk Kakak kok. Siapa lagi coba, Mama udah jauh di Magelang. Dia juga mikirin Bintang melulu sekarang.”
“Kalau ada mereka, aku nggak penting lagi?” Ribi manyun, entah serius atau tidak aku tak tahu bedanya.
“Ya penting atuh. Ulu-ulu Tayangcuu, jangan ngambek dong! Baik-baik, ya! Jangan lupa makan dan bobok teratur, jangan begadang! Apalagi cuma buat ngelihatin Flight Radar, percayalah aku baik-baik saja,” pesanku sembari membelai pipinya lembut. Tak cuma itu kugaruk-garuk janggutnya seperti menimang anak kucing. Serius, dia suka dibegitukan, serasa dimanja gitu. Eng … ya sudahlah.
Dia tersenyum simpul yang membuat bibirnya itu makin imut. Membuatku kembali monyong dan mengecup Song Joong Ki imitasiku ini. “Aku akan selalu merindukanmu, Kak!”
“Safe flight and I can’t wait to see you again,” balasnya berbisik.
Tanpa terasa air mataku mengalir. Berulang-ulang kami berpisah seperti ini, bertemu lagi seperti nanti. Tapi masih saja hatiku teriris. Jadi, inilah realita hidup percintaanku sekarang? Dulu, aku sangat ingin terbang jauh meninggalkannya. Langit adalah hal yang paling kucintai, tapi ternyata semua telah berbeda. Aku telah meninggalkan semua hatiku di darat, hanya untuk pria yang kini lebih banyak membawa mobil bagusnya ini ke asrama.
Hanya untuk kepentinganku. Dia bilang tak tega melihat kulitku terpapar UV A dan UV B. Dia tidak mau aku hitam dan kepanasan, kedinginan dan kehujanan. Dia butuh Harry setiap saat karena aku bisa tiba-tiba minta dijemput. Dia yang rela meminggirkan lelah setelah menghadapi setumpuk pekerjaan di kantor hanya untuk menjemputku ke luar kota.
Karena menikah dan jatuh cinta padanya, aku rela berlelah-lelah ria pulang ke Malang dari Surabaya setiap pulang terbang. Tak peduli landing dini hari, aku tetap pulang dan dia tetap menjemputku. Semua demi menempati posisiku sebagai nyonya rumah di rumah dinasnya. Menempati posisi Nyonya Iqbal Al-Magribi agar suamiku selalu fokus bekerja – sebagai prajurit yang teladan. Seperti kata Ibu mertua, kehadiranku teramat penting baginya.
Dia yang telah membuatku jatuh cinta hanya karena rela memandangi layar ponsel semalam suntuk, menatap aplikasi penerbangan. Dia telah merawatku sepenuh cinta selama lima hari. Rela sepiring berdua, rela memasakkanku air panas untuk mandi saat pulang dini hari, dan berbagai hal sederhana yang menurutku luar biasa. Pantas kutinggalkan seluruh hatiku hanya untuk dirinya.
Pantas aku mulai tak fokus bekerja kendati sekarang telah berpisah dengannya, beberapa menit yang lalu. Ya, mataku masih berembun meski sudah bersiap melakukan briefing di dalam flops milik INA Air. Lambaian tangannya masih terlihat, sentuhannya masih berbekas, pelukan dan kecupannya masih terasa. Aku sudah merindukan Kak Suami, meski dia masih tertahan di masjid bandara menunggu waktu kelahirannya, Magrib.
“Sudah, fokuslah, Bulan!” gumamku menyemangati diri sendiri. Benar, ingat semua ini risiko atas pilihan siapa? Bukankah itu aku!
Fokus, saatnya fokus! IA 009 adalah fokusku saat ini. Sekarang waktunya rapat kecil sejenak sebelum terbang. Pak Tony sebagai FSM akan membagi para awak kabin sesuai tugasnya. Malam ini aku akan bertugas sebagai FA 3 yang akan bertugas di kelas bisnis. Selain itu, aku juga sebagai asisten cockpit yang punya tugas memberi makanan dan minuman ke kokpit. Nanti aku duduk di sebelah Pak Tony, semoga Kak Suami nggak cemburu soal yang ini.
Sebelum itu, kami saling menunjukkan bagian dalam FAC alias Flight Attendant Certificate. Saling memeriksa antarkru demi menghindari kesalahan. Ini penting karena aku harus memiliki rating yang sesuai dengan pesawat yang kunaiki sebentar lagi. Jangan sampai aku yang punya rating pesawat Airbus A320 tiba-tiba naik Boeing 737. Atau aku ketuker nugas di A330, itu sudah beda lagi meski sama-sama Airbus. Wadidaw, bisa salah konsep, kacau! Cukuplah hatiku yang kacau, doh, curcol.
Andai aku bisa mengatakan “skip-skip” pada semua kejadian ini. Pasti perjalanan waktu ini akan terasa cepat. Hingga tibalah akhir pekan yang kutunggu itu. Ah, sejak kapan aku jadi segila ini? Biasanya aku paling semangat kerja sampai enggan ketemu libur. Sekarang beda akibat pria yang baru saja mengirimiku pesan ini.
Dari: Kak Suami (HARUS DIBALAS TERUS!)
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Es Balok (TAMAT)
RomanceRated: 21+ Please, yang di bawah umur itu jangan baca! Jangan nekat! Saya tdk bertanggung jawab atas risiko yang timbul di kemudian hari. Source Pic Cover: Pinterest Edit by Canva Design by Nayla Salmonella Cover #2 By Kak Niaratika DILARANG PLAGIA...