Bab 45 My Guardian Angel

6.8K 1.1K 273
                                    


"Pesawat INA Air Ditembaki di Timika, Papua. Tiga Orang Kritis dan Satu Orang Meninggal Dunia."

Sebagian besar layar kaca di rumah besar itu dihiasi berita yang sama. Breaking news yang benar-benar memecahkan hari indah keluarga itu. Mereka berpelukan panik di tengah kukuk perkutut yang seolah ikut sibuk mencari kabar. Tentu saja karena salah satu anggota rumah merupakan awak INA Air yang sedang nahas itu. Salwabulan Aurora Salim yang sedang menjadi awak kabin IA456 PK-LVV rute TIM-SUB.

"Coba telepon lagi, Bin!" Pak Tama kembali menyuruh si Sulung menghubungi nomor si Bungsu.

Bintang menggeleng sembari meletakkan kembali ponsel ke pangkuannya. "Nggak aktif, Pa ...," lalu menunduk lesu.

"Ya Allah ... Bulan ... apa salah satu dari korban itu kamu, Nduk?" ratap Bu Res kehilangan separuh hatinya. Diremas-remasnya sarung bantal sofa karena tak kuasa terbayang sesuatu yang buruk pada putri bungsunya itu. Hatinya mulai retak hancur.

"Tenang, Ma ... Belum tentu Bulan naik yang itu," ujar Bintang berusaha menghibur sang Mama.

Namun, Bu Res malah mendelik panik. "Kak, kemarin Adik sempat telepon Mama kalau dia mau terbang ke Timika. Jadwal INA Air rute Timika-Surabaya itu cuma sekali dalam sehari. Berarti apa?!"

Bintang melengos, antara panik dan berusaha tenang. Tentu saja menyangkal, dalam hati dia berharap si adik baik-baik saja. Tidak menjadi korban seperti yang diberitakan. Nama para korban memang belum dipublikasikan, tentu pemburu berita masih terus menggali informasi. Mungkin sejam kemudian atau beberapa menit lagi setelah berita dadakan ini selesai.

"Ribi!" Tiba-tiba sebuah usul tercetus dalam benak Pak Tama hingga menyebut nama menantu kesayangannya itu. Pria bersahaja itu lekas mengutak-atik ponselnya untuk menemukan nomor sang menantu. Pak Tama sempat lupa jika Bulan berada di tanah yang sama dengan sang suami bertugas.

"Bener, Pa! Coba hubungi Ribi," sambut Bu Res mulai bersemangat.

"Nomor yang Anda tuju sedang sibuk!" Hanya suara operator yang menyambut panggilan telepon Pak Tama untuk sang menantu. Ya, Letnan Ribi sedang sibuk di saluran teleponnya.

"Nomornya sibuk," ucap Pak Tama lesu.

"Mungkinkah dia sudah ketemu Bulan? Atau ... sibuk yang lain ...?" tebak Bintang pelan. Akibat panggilan 'Mbak' di sejenak sebelum keberangkatan dulu, Bintang mulai peduli dan memikirkan si adik ipar. Dia berharap adik satu-satunya, Bulan, berada dalam pelukan lelaki dingin itu. Tak ada sesuatu yang buruk.

"Jangan-jangan Ribi tidak tahu, Pa ...," desah Bu Res kembali layu. Pak Tama hanya menggeleng lesu sembari terus berupaya menghubungi sang menantu.

---

Beberapa jam sebelum kejadian ....

"Beneran kita nggak bisa ketemu, Kak?"

"Aku di sini kerja, Sal. Bukannya piknik. Nggak janji."

"Cih, padahal kita sudah setanah, selangit, seudara, kok masih saja nggak bisa ketemu. Andai Kakak tahu betapa susahnya aku dapat rute ini."

"Sudah kubilang, aku nggak bisa ninggalin tempat seenaknya. Kamu kira satgas itu macam dinas biasa? Nggak, Sal!"

"Cuma ketemu, meet-up di bandara doang, Kak. Kalau nggak, kita saling lambaikan tangan doang nggak masalah. Masa gitu aja nggak boleh? Jadi, vicall juga nggak bisa?"

"Sampai kapan pun kamu nggak bakal ngerti, Sal!"

Duar! Gluduk, jder!

Suara keras petir menggelegar dari kelabunya langit Timika, tapi tak bisa membuyarkan lamunan seorang pria. Dia tetap termangu di tepi jendela pos mile 68 saat hujan tak begitu deras, tapi juga tak kunjung reda. Oktober memang kala pertama hujan menyapa bumi Indonesia, tapi khusus Papua memang tiada musim. Hujan bisa turun sepanjang tahun dan mungkin itulah yang membuat hati seorang pria semakin gulana. Kekasih jiwanya ngambek sejak kemarin sore, tiada mau memberitahu nomor penerbangannya.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang