Bab 12 Saya Terima Nikah dan Kawinnya ...

9.3K 1.1K 293
                                    

Perutku memang sudah kenyang gara-gara semangkok bakso berisi 15 buah bola-bola daging, tapi hatiku masih lapar ingin menanyai akar masalah kehidupanku, Bintang. Setelah dipaksa Ribi menghabiskan dagangan Abang bakso, akhirnya aku punya tenaga untuk mendatangi Bintang yang sedang disidang Mama Papa di ruang kerja Papa. Tanpa mengetuk atau apa, aku langsung membanting pintu. Kesopanan? Kayak nggak kenal tuh.

Sontak, Papa dan Mama mendelik ke arahku. Namun, pandangan itu melemah saat melihat wajah kerasku menahan amarah. Mereka pun membiarkanku ikut “menghajar” Bintang yang duduk menopang satu tangannya ke tangan sofa. Wajah cantiknya itu layu dan juga luka-luka karena aksi beringasku. Tak peduli, aku langsung berdiri angkuh di depannya.

“Kenapa Kakak tega lakuin ini ke aku? Aku salah apa sampai Kakak jebak aku gantikan posisimu? Kamu tahu semua yang udah kulewati nggak?” Kutahan-tahan tangisku untuk mulai menanyainya. Namun, Bintang hanya menarik napas panjang. Tidak tahu kalimat bedebah macam apa yang akan diucapkannya.

“Sekali ini saja, hem. Kamu tidak usah memaafkanku.”

Bedebah sekali, bukan?

“Apa alasanmu, Kak?” tanyaku setengah hati. Setengahnya lagi sudah kemretek hancur.

“Kamu saja yang nikah, jangan aku, Bulan!”

“Tapi kenapa?”

“Kamu yang pantas di posisi itu. Kita tidak bisa sedunia kerja yang sama. Kamu bisa jadi batu sandunganku. Dapur dan jadi ibu rumah tangga lebih cocok untukmu.”

“Benarkah hanya itu alasanmu?” sindirku sentimen saat dia hanya terdiam. “Itu nggak masuk akal, Kak. Kita saja beda maskapai!” tudingku kasar. Papa dan Mama tak berupaya mencegah aksiku. Mungkin mereka juga puas melihatku menghakimi Bintang. Alasannya terlalu tidak logis.

“Aku nggak suka kamu nyamain profesiku, Bulan!” Bintang menatapku tajam. Matanya bulatnya terlihat penuh pergolakan kebencian.

“Masih nggak masuk di akalku. Salah kalau kita banggain Papa Mama dengan cara yang sama? Salah kalau cita-cita kita sama? Salah kalau aku jadikan Kakak role modelku?”

“Salah! Cari profesi lain, jangan ikuti aku!” bentak Bintang kuat.

Suaraku merendah dan bergetar. “Apa karena itu kamu nggak suka aku, Kak?” Ocehannya berhenti, dia hanya diam menunduk meski Papa dan Mama telah kehilangan kata-kata untuk memisahkan kami.

“Kalian tidak akan berhentikah?” sindir Papa setengah mengancam. Beliau menunjuk pintu yang agak terbuka. “Bisa kalian perbaiki situasi di luar? Mau taruh di mana wajah Papa ini, hah!” Papa menggaruk udara di depan wajahnya, frustrasi.

Menyerah bukan sifat Bintang, dia tetap membusungkan dada menantang emosiku. “Ya, aku benci sama kamu! Aku nggak suka punya adik sepertimu. Nama mirip kita itu sangat menggelikan. Kita selalu terhubung bahkan lewat nama dan menerima perbandingan demi perbandingan.”

“Kakak …,” desahku makin tak habis pikir. Gimana bisa ada kakak yang benci sama adik kandungnya?

“Sejak kecil, semua orang suka kamu karena kamu periang dan lucu. Semua nggak suka aku karena aku judes. Pusat perhatian selalu berada di kamu, bukan aku! Lalu kenapa kamu harus ikuti jejakku, saat aku telah nyaman di dunia itu, Bulan?” Bintang menatapku sakit. Justru aku yang lebih sakit sampai tak bisa berkalimat apa-apa.

“Saat aku jadi pramugari maskapai nasional, grade-ku jauh di atasmu! Aku unggul dibandingmu, dan aku bangga. Kamu cuma kecoak tengik, Bulan!” Bintang terus saja memojokkanku, hingga bibir ini menggeram tak karuan. “Kamu serakah!” pungkasnya kemudian.

“Bintang, haruskah sekejam itu pada adikmu? Membuat masalah seperti ini sangat menyakitkan Papa Mama, Kak …,” tegur Mama mulai merendahkan suara karena tak tega melihat tangis bercucuran anak laknatnya itu, juga tangisku yang mulai menderas layaknya hujan di musim penghujan.

“Kamu tahu masalah apa yang sudah kamu timbulkan, Bin? Betapa malunya Papa pada Om Hasan!” Papa masih menunjuk-nunjuk Bintang dengan pedang panjangnya.

“Bintang tahu, makanya Bintang pulang,” tukasnya santai.

“Maksudmu apa?” sentak Papa lagi.

“Memang Bintang mau kembali ke tempat semula?” tanya Mama bingung.

Bintang menggeleng hebat. “Tidak, aku pulang untuk melihat dia menikah. Sebelum aku pergi ke Doha untuk masuk ke Qatar Airways. Pernikahan di militer tidak akan semudah itu mengganti nama calon istri, Bulan tetap calon istri Ribi.” Tangan kurang ajarnya itu menunjukku sombong.

Seketika tulangku lunak mendengar penuturan congkaknya. “Selamat, ya! Akhirnya kamu mampu meraih mimpi dengan menginjak hidupku.” Kuberi seringai tajam tak peduli. Meski satu kakiku terluka, aku akan tetap berdiri sombong.

“Meskipun itu menyakitkan, thanks!” ucapnya tanpa rasa bersalah.

Kusipitkan mata yang nanar penuh air mata ini. Perutku yang kenyang karena bakso rombong mendadak teraduk hebat. “Aku nggak nyangka kamu sekejam itu, Kak!”

“Mana pernah aku baik. Jadi, berhenti ikuti aku!” tandasnya keji.

Fine! Ini terakhir kita bicara sebagai orang yang saling mengenal! Ini pertama dan terakhir kalinya kamu injak harga diriku, selanjutnya kamu akan hancur, Bintang!” ucapku ngawur karena emosi, membuat Mama melambaikan tangannya histeris.

“Ya Allah … jangan begitu, Nak! Kalian ini kenapa sih?” Mama menangis berusaha meleraiku dan manusia tengik itu. Namun, wajah songong Bintang terlalu mudah untuk dimaafkan.

“Ini juga terakhir kali kita bicara! Jangan menyapaku meski kita bertemu di mana pun itu!” putusku kecewa. Tak ada hati lagi untuk kakakku yang bernama Bintang. Bagiku dia sudah sirna.

Seketika aku berbalik badan. Menahan gemertak gigi karena geram. Rasa-rasanya memukul, meninju, atau menggulat Bintang tak akan cukup membuatnya sadar. Wajah cantiknya sudah babak belur oleh ulahku dan pipiku juga lebam perih karena bekas cakaran. Dia tetaplah gadis ambisius, kurang ajar yang bersinar semu. Namun, sebelum aku beranjak dari ruang kerja Papa ini, ingin rasanya aku menegaskan sesuatu.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang