Bab 25 Orang Asing

11K 1.2K 468
                                    

Hai, Temanssss pertama² saya mau minta maaf karena belum sempat balas semua komen. Saya konsen nulis Temans². Balikin mood lagi juga butuh waktu. Jadi, hanya beberapa yang saya balas setelah itu menghilang lagi. Maaf yaaa 🙏🙏🙏🙏

Sejauh ini saya menulis sampai bab 43 dan nggak tahu tamatnya bab berapa 😂

So, mohon doanya aja ya Temans.

Btw, terima kasih sudah membaca dan meninggalkan komen positif berisi semangat dan doa buat saya 🙏🙏🙏

Kalian luar biasa, Temans²ku. Terima kasih ya sudah membaca semua ketikan alay saya. 🥲🥲🥰🥰🥰🥰

Selamat membaca 🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰

191021
=========================================


Kata orang bijak, tidak ada pernikahan yang sempurna, meskipun tampilannya luar biasa. Pernikahan itu menyatukan dua isi kepala berbeda dalam satu nama, cinta. Menghabiskan waktu yang lama dengan orang yang sama itu pasti mendatangkan kebosanan. Dua kepala yang beda isinya itu harus sepandai mungkin mengakali panjangnya perjalanan waktu.

Aku dan dia memang punya isi kepala yang berbeda, meskipun kami telah menyatu tanpa sehelai kain. Menghabiskan malam bersama, merenda api asmara yang panas, mengusap peluh keringat, dan diakhiri dengan mengukir mimpi indah. Berharap pagi tak cepat datang agar waktu berpelukan lebih lama. Mumpung belum bosan, kami ingin terus menikmati momen ini.

Mungkin itulah yang dimau pria yang sibuk di pagi hari ini. Menghabiskan waktu 24 jam dengan bertengkar dan berdebat ringan. Cuma bingung seputar menu sarapan, bukan bingung gimana cara cari uang belanja. Cuma bingung mau pakai celana dalam warna apa, bukan bingung cari kerjaan di mana. Sesederhana itu, pernikahan ini mulai tampak nyata.

Namun, bukan berarti kami kompak dalam segalanya. Seperti kata orang bijak, kami menghabiskan pagi dalam perbedaan. Kalau dia gegas mandi dan mendirikan salat, lalu olahraga kecil macam push-up dan aerobik di halaman samping. Aku lebih memilih gegoleran main HP selepas mandi besar dan Subuhan. Bingung, padahal tadi sudah berpandangan malu-malu dengannya. Ups.

Kalau ibu rumah tangga normal, aku pasti sudah sibuk mengaduk kulkas. Membuat sarapan pagi dan menunggu pujian mesra. Sedangkan aku ibu rumah tangga yang abnormal. Masih karbitan dan belum jatuh cinta pada hal yang bernama “memasak”. Sehingga hanya bisa membuat suami atletisku yang badannya basah oleh keringat itu melongo. Perutnya lapar, tapi tak ada makanan apa pun.

“Kamu nggak ada niatan bikin apa gitu?” sindirnya setengah menaikkan alis. Ciri khas Ribi kalau nggak melotot ya pasang wajah sinis. Seolah lupa ingatan kalau tadi malam dia banyak tertawa di atasku.

Aku bangun ke posisi duduk sembari menatapnya lekat. “Gimana kalau kita cari makan pagi, pecel gitu, Kak?” usulku girang yang disambut kerucut bibirnya.

Ribi melengos cuek sembari melepas kaos basket tipisnya itu. Ketiak kuningnya itu menggoda untuk digelitiki, seriusan cowok ganteng itu nggak betah geli. Dia bisa tahan kalau ada Srimulat joget di depan mata, tapi tidak dengan digelitiki. “Kayaknya aku bakal turun berat badan kalau saban pagi gini terus.”

“Udah bikin aku kelaparan semalaman, nggak mau tanggung jawab pula.” Ribi mengomel sepanjang menit berjalan ke dapur.

Kuikuti langkahnya dengan menahan gemas. Doi sudah membuka kontainer plastik dan mengeluarkan sebungkus minuman tentara. Langsung aku melonjak karena perutku berontak membayangkan kelegitan minuman itu. “Mau dong, Kak, Imukalnya!” seruku girang.

Ribi menyeringai judes. “Bikin sendiri!”

“Dih, pelit! Sekalian dong,” bujukku merepet pada tubuh tingginya. Berhubung Ribi sudah jinak, aku berani mendekatinya dari belakang. Benar saja, dia cuek saat aku mengalungkan tangan ke pinggangnya.

“Aku keringetan,” ujarnya dingin yang kujawab gelengan manja.

“Nggak apa-apa, wangi kok,” jawabku tanpa jijik. Kalau sudah cinta, mau ada septic tank meledak pun tiada peduli.

Ribi mendorong halus tubuhku dengan bokongnya. “Gerah aku, Sal!” tegurnya malas.

Doh, dengan terpaksa aku menjauh beberapa meter. Biasanya orang gerah itu gampang ngamuk, ‘kan? Daripada nanti Ribi cepet tua karena marah pagi-pagi, mendingan aku menjauh. Lagian aku terlalu ganjen sih cuma gara-gara dapat ting-tingnya. Asem!

Es Doger memandangku tajam. “Kamu ini nggak ada usaha amat, belajar masak kek. Udah lengah lagi, ya, dibaikin dikit aja!” omelnya lagi.

“Huh, jahat amat sih? Jangan merusak pagi harikulah, Kak. Seharusnya kita itu memandang malu-malu sekarang. Isi hari cutiku dengan indah kek, kalau Kakak ngomel terus mendingan aku balik kerja lagi deh,” balasku yang membuatnya diam.

Bukan Ribi namanya kalau tidak membuat orang beban pikiran, dia malah asyik menuang air panas ke dalam mug. Lantas diaduknya minuman beraroma cokelat itu tanpa peduli aku sedang menatapnya lekat. Nggak lihat apa bibirku sudah monyong lima senti, ngambek berat. Habis dia masih saja judes dan cuek meski sudah menikmatiku semalaman. Kurjar nggak sih?

“Kenapa, mau?” tawar Ribi yang ternyata sudah memandangiku lekat. Dihirupnya aroma minuman manis itu, lalu menaikturunkan alisnya nakal.

Aku melengos kesal. “Ogah, habisin aja sendiri.”

Rupa-rupanya Es Balok mendekatiku tanpa sadar, tahunya sudah mencolek perut kecilku. Nggak ditoleh itu geli, ditoleh kok makan hati. Karena sentuhannya makin intens, mau-mau malu aku menoleh. “Enak lho, mau minum langsung atau ngicip dari Kakak?” tawarnya sedikit mendesah.

Kutatap tak percaya manusia ini. “Nah, ‘kan, labil! Nggak ingat tadi habis ngapain?” semprotku terhenyak. Dia bagaikan taman margasatwa yang menakjubkan, sikapnya selabil ABG tua.

“Kalau terlalu mesra, nanti Sal bosan. Enakan gini, debat kecil terus baik-baikan. Ayo, mau nggak? Isi perut pakai ini terus kita masak telur ceplok. Kakak ajari, ya?” Ribi menowel pipiku gemas. Tak lupa melempar senyum jenaka. Seriusan, nemu di mana sih makhluk ajaib ini? Pengen kupites, tapi sayang.

“Nggak mau, mau pulang ke rumah Mama aja,” aku terus merajuk meski sepenuh tubuhku ingin dijamah olehnya. Aku kerasukan reog ganjen, hastagah.

“Ya udah deh kalau nggak mau,” celetuknya pendek, menyeruput Imukal dan menaruh mugnya cuek ke atas meja makan.

Ha, kok …? “Ya udah kalau dipaksa!” putusku PD.

Lekas kusambar mug yang isinya tinggal separuh itu. Menyeruput Imukal cokelat hangat di bekas bibirnya. Semakin manis karena si empunya memandangiku gemas. Senyum usilnya itu masih ada, meski separuh tubuhnya bersandar di meja. Matanya lekat dengan tangan terlipat ke dada, memandangku seolah hanya aku manusia di sini. Ya memang.

“Ngambekan kamu, ya!”

“Kakak usil banget, judes!”

“Memang Kakak gitu, ‘kan, Sal?” Ribi mengelus pipiku sayang. “Bermanis manja bukan ciri khas.”

“Buktinya ini bisa!” protesku cepat. Dia terbahak.

“Karena aku ada maunya!” sambarnya cepat.

“Apa?” desahku tak kalah cepat. Apa sesi quicky seperti di novel dewasa? Hah, aku benci pikiranku!

Ribi menahan tubuhku di antara kedua kakinya. Dia mengangkat tubuh kecilku ke atas meja dengan halus, dengan mata yang terus fokus pada mataku. “Bantu Kakak, ya, Sal!”

“Ap – apa …?” desahku terbata-bata. Jangan ditanya kondisi jantung, sudah jogging girang. Darah sudah merendah hingga kepalaku oleng.

Ribi mendekatkan bibirnya ke daun telingaku. Suhu napasnya membuatku merinding disko ulala. “Gerakan manis yang Kakak bisa cuma ini, tolong terimalah.”

“Y – ya … aku suk – suka kok …. Tapi Kakak mau apa …?” tanyaku masih dengan napas tersengal-sengal. Hanya dua hal yang membuatku berdebar parah, hard landing dan Ribi.

“Maaf jika mengecewakanmu, tapi bisakah Sal bantu Kakak membakar foto dan botol-botol yang kamu benci itu?” tanya Ribi dengan raut wajah serius. Kedua alisnya mengerut, mata kecilnya menyiratkan kesedihan.

Suasana nakal, usil, yang mengarah pada kenakalan itu berganti menjadi dramatis. Suasana hati priaku memang mudah berubah, entah apa yang membuatnya tiba-tiba membahas pertengkaran semalam. Apa muaranya akan ke kemesraan lagi? Sungguh, sampai detik ini susah menebak jalan pikirannya. Ribi sungguh kompleks.

“Buat apa, jangan kalau hanya membuat Kakak sedih. Simpanlah, aku bisa menutup mata,” tolakku setengah menghibur.

“Mari jalani hari cutimu dengan membersihkan kenangan lamaku.”

“Kata Kakak mereka karib, teman seperjuangan. Sudahlah.”

“Aku hanya ingin membingkai wajahmu di setiap tembok rumah ini.” Ribi menahan wajahku dengan kedua tangannya. Mata tajam itu berubah sedih, berair, dan memerah.

“Kumohon, jangan sedih! Seorang Ribi cocoknya melotot, bukan berkaca-kaca. Demi Tuhan, aku akan belajar menerima masa lalu Kakak juga,” ujarku lebih bijak.

Pria tinggi itu menunduk. Sesaat ingin mengganti raut sedihnya dengan senyum datar. Namun, gantian aku yang mengangkat wajahnya. Kugelengkan kepala dengan maksud tak masalah dia memasang mata sedih. “Mulai sekarang, akulah teman sejati Kakak. Akulah buku harian, tempat kamu bercurah tanpa ditutup-tutupi. Terbiasalah membuka semua padaku, termasuk kesedihan dan kebahagiaan. Kamu boleh kecewa kok.”

“Apa jadinya kalau Kakak nggak ketemu kamu, Sayang.” Ribi memandangku dari kening ke bibir, lalu sentuhan jempolnya mendarat di janggutku.

Dia mengaku tak pandai berkasih mesra, tapi semua perilakunya selalu manis. Belaiannya selalu berarti dan menumbuhkan bunga di hatiku. Jadi, dia itu penipu ulung. Dan aku adalah korban tipuannya yang masih hidup dengan bahagia.

Kupeluk erat suami tercinta yang rapuh hatinya ini. Sikap dinginnya itu hanya sebagai tameng palsu kerapuhan hatinya. Ada hati yang lembut dan mata yang cengeng di balik Ribi yang dingin dan judes. Akulah orang yang bisa membuka pintu hatinya, beruntung tidak?

So, kita sarapan dengan tangis?” tanyaku pelan menempel di jantungnya yang berdegup kencang.

“Mbak pramugari biasanya kasih sarapan apa ke penumpang?” tanyanya berusaha meriang-riangkan suaranya.

“Hem … omelette, smoked sausage, mix veggies kukus, and mashed potatoes. Makanan maskapaiku terbaik,” pujiku mengerling mata meski dia tak melihatnya.

“Bisa kita membuatnya?” Ribi menghadapkan badanku ke wajahnya. Senyum cerah itu sudah terbit dengan manisnya karena berisi rayuan yang entah.

Sikapnya memang labil, seperti anak kecil yang sebentar menangis dan tertawa.

“Yah, dengan sedikit effort,” balasku mengedikkan bahu bingung, tapi hanya bisa tersenyum memperlihatkan seluruh gigi depanku. Mengiakan tanpa tahu mewujudkan. Dari mana aku dapat semua bahan itu cobak?

Ribi minta sarapan seperti mamak-mamak ngidam. Dia membawa pagi seorang perempuan berpiyama gambar anak ayam ini dalam perasaan kesal, dramatis, dan berakhir pada pemaksaan kehendak lagi. Bagaimana caranya membuat sarapan ala maskapaiku di jam setengah 6 pagi? Sementara itu, setengah jam lagi dia harus berangkat ngantor karena katanya banyak kerjaan.

Doh, Debok kadang banyak maunya!
---

Cuti hari kedua, kuhabiskan dengan bertingkah selayaknya ibu rumah tangga. Pagi tadi, Ribi hanya sarapan dengan Imukal dan pelukanku. Dia pergi ngantor dengan sedikit kesal karena makanan idaman belum siap. Yaiyalah, menurut lo aku bisa mendatangkan makanan maskapaiku cuma pakai komat-kamit. Aku bukan mbah dukun atau tukang sulap.

Maka dari itu, jam 10 pagi aku pamit pergi ke supermarket di pusat kota. Untung di Malang sudah ada Superindo dan Hypermart. Tidak susah mencari bahan sarapan ala maskapaiku di dua tempat itu. Susahnya adalah membujuk Ribi untuk meminjamkan Harry dua jam saja.

Dia bersikeras tidak mengizinkanku menyentuh Harry, bahkan untuk mencari makanan idamannya. Katanya, mending menunggu dia pulang ngantor untuk pergi bersama. Tapi aku nggak suka belanja dengan cowok, ribet. Ribi bisa membuatku tak nyaman belanja karena manajemen waktunya ketat. Pasti dia menyuruhku belanja dengan estimasi waktu, hanya mengambil barang yang butuh.

“Ya udah nggak usah masak kalau gitu,” putusku sebal setelah 10 menit berdebat di telepon. Gaya, ya? Antara rumah dan kantor depan saja telepon-teleponan. Bahas belanja pula, bukan hal yang penting macam perdamaian dunia.

Jangan, udah pengen, nih!” tolaknya cemas. Kebakaran bulu ketek takut kututup teleponnya. “Lagian kamu nggak boleh ke mana-mana. Jam 2 siang ada voli sama ibu-ibu asrama. Jangan bolos!”

“Yah, nggak ada libur emang?” sambungku mendadak pias.

Nggak,” jawabnya tegas. “Cuma kerjamu aja yang libur, kegiatan asrama nggak!”

“Aku pengen malas-malasan di rumah aja, Kak. Mendung-mendung gini,” ujarku beralasan sembari memutar-mutar rambut. Sumpah, gegoleran di kasur kamar Ribi itu menyenangkan. Kamarnya adem dan teduh meski nggak pakai AC. Memang dasar Malang hawanya sejuk, beda sama JKT.

Kalau gitu kamu nggak usah jadi istriku,” sahutnya kambuh. Kuhempas napas malas.

“Ya udah, aku siapin baju aja kalau gitu,” putusku pasrah.

Sekalian siapin baju buat nanti sore. Kita belanja bahan makanan tadi dan kado buat lahiran. Ada sasuhku yang baru dikaruniai anak ketiga,” celotehnya ceriwis.

“Wew, masih seumuran Kakak udah tiga anaknya?” lonjakku heran.

Anak pertama kembar, usianya 2 tahun terus dapat adik lagi,” jelasnya singkat.

“Oh ….”

Telepon ditutup karena katanya Ribi mau pulang. Istirahat siang dan mau makan mangga potong di kulkas. Kalau tahu mau pulang kenapa harus ngobrol di telepon segala. ‘Kan capek. Tapi memang begini mungkin yang namanya rumah dan tangga. Membicarakan hal nggak penting dari belanjaan sampai nyari kado di telepon. Bukannya melempar canda mesra gitu. Ah, sudahlah, Ribi cuma jinak kalau ada maunya saja.

Kelihatannya sepele, tapi tidak bagiku. Ini kali pertama dia bersikap selayaknya manusia normal. Biasanya seganas jagal kerbau, sekarang jadi nyantai. Bisa ngobrol ringan tanpa ngegas. Ternyata dia cowok normal juga kok. Performa di ranjang ini juga masih normal, ups.

Skip, bukan waktunya untuk mengeres. Sekarang waktunya siap-siap. Pasang wajah dan badan sebagai istri yang normal. Mempersiapkan makanan suami sebelum diomeli. Tak lupa bersiap untuk kegiatan sebentar sore. Harus ikut tanpa di-skip yang ini. Nggak masalah kok, biasa berangkat kerja jam 2 malam pun aku jabanin. Kenapa ketemu dengan para ibu ini tidak?

Biasanya, aku memasang senyum simetris setiap kali terbang, nggak peduli aku sedang sedih atau ditagih Shopee Paylater. Aku selalu semringah dan ramah menyambut semua penumpangku, meski disembur akibat delay 30 menit. Kenapa aku harus merengut saat bertemu para ibu yang menatapku takjub ini?

Seharusnya aku bahagia menyambut keantusiasan para ibu yang ingin berkenalan denganku ini. Mereka menatapku – yang dalam balutan training olahraga hijau – tanpa jeda, katanya aku secantik boneka. Katanya aku mirip Dilraba Dimurat. Oh, pada akhirnya ada yang memuji dan menyadari kecantikanku. Ahaha, ngakak, aku bahagia kok meski harus menahan panas di tangan karena harus bermain voli.

Aku bahagia kok meski harus menjaga sikap selalu tunduk dan hormat pada ibu komandan yang datang bersama para sesepuh. Come on, dunia ini bukanlah dunia yang baru bagiku. Dulu Mama pun sama, dihormati dan menghormati pula. Tidak perlu kaget dengan mengubah sedikit gaya bahasa. Izin-izin, siap-siap, itu sudah biasa.

Tanpa terasa, waktu bergeser ke pukul 4 sore. Matahari mulai labuh dan udara dingin Malang mulai menyapa. Kota ini terkenal dengan hawa dinginnya apalagi jika musim kemarau datang. Dan saat hawa mulai semriwing aku pulang dan mendapati suami tersayang sedang menyiram tanaman pakai selang. Aduhai, jadi pengen disiram juga, pakai selang maksudnya!

Assalamualaikum, Sal pulang, Kak.” Kucium tangan Ribi selayaknya istri salihah di sinet Indosiar.

Walaikumsalam, tadi bikin ulah nggak?” Wow, sambutan yang ramah sekali Bapak Ribi!

Kukedikkan bahu cuek. “Nggak ada kecuali salah sebut namamu. Seharusnya memperkenalkan diri sebagai Nyonya Iqbal, bukan Nyonya Ribi. Mereka nggak kenal.”

“Ckckck,” Ribi berdecak penuh cibiran. “Makanya jangan ngasal ngasih nama orang! Udah saya bilang ‘kan, panggil Iqbal sejak awal!”

“Terus yang boleh manggil Ribi cuma Ibu, Bapak, dan Alula?” ceplosku sembari melepas sepatu. Ulala, kayaknya aku salah omong, ya nggak sih?

Melihat mata judes Ribi, sepertinya ya!

“Dasar perempuan, bahas apa larinya ke mantan!”

“Lah, malah diperjelas,” ceplosku makin heran. “Dasar cowok …!”

“Mau ngajak berantem lagi?” Ribi sudah dalam mode judes, alis naik satu dan bibir maju.

“Nggak, ah! Aku lapar, mau cari makan aja sekalian belanja. Daripada bahas masa lalu bikin mules,” hindarku ngeloyor masuk rumah beraroma kopi dan vanilla ini. Akibat diffuser kesayangan yang kunyalakan dari kamar.

Namun, Ribi menyusul langkahku. Dengan gemas dia mengangkat tubuh bau asemku ke kamar. Aduh, mau buat apaan nih? Kontan, aku berteriak-teriak pura-pura kesal. “Kamu mau aku bahas Razka juga? Atau mau reka adegan semalam?”

Alamak, Es Balok sudah menindihku ke kasur kamar kedua. Wajahnya yang nakal itu seperti menyiratkan kerinduan. Seriusan, ya! Seharian sama Ribi itu melelahkan. Hatiku dibuat naik dan turun sesuai kehendaknya. Meski begitu, aku kok bahagia. Mulai menikmati setiap alur dan tempo permainannya pula. Mungkin ini definisi jodoh.

“Kamu ini siapa sih, orang asing, anaknya orang yang tiba-tiba ikut aku. Kamu nggak pulang? Nanti dicari papa mamanya lho, Dik,” celoteh Ribi aneh, tapi kutahu arahnya ke mana. Dia sedang menggodaku, pura-pura lupa ingatan aku ini siapa.

Tak tahan tertawa, aku pun hanya mengalungkan tangan ke lehernya. “Mau nggak angkat aku jadi istri Bapak? Aku jatuh cinta sama Bapak, Pangeran Lorengku,” sambutku mulai tak masuk akal.

Senyum itu meleleh, mirip sekali dengan Oppa Joong-Ki. “Semoga kamu betah sama aku, ya, Sal. Kita pernah jadi orang asing, dan sekarang sedekat nadi. Aku menyesal terlambat bertemu denganmu, kamu seindah ini.”

“Terus saja memujiku dan membuat perutku makin lapar,” sindirku yang sebenarnya malu. Dasar aku, memasang malu padahal sudah menggarong kesuciannya.

Dia memang semurni itu. Lihat tawanya, seolah aku adalah hal paling lucu yang bisa menggelitik selera humornya. Lihat caranya memandangku, seolah hanya aku yang dimilikinya di dunia ini. Caranya menyentuhku, seolah aku barang mudah retak. Jadi, sebenarnya aku yang terlambat menemukannya. Untung Bintang kabur dan menjadikan aku penggantinya.

Sebenarnya aku telah menyerahkan diri dan jiwa dengan sukarela.
---

Selepas Isya, Harry membawa kami ke pelataran rumah sakit Melati Husada di kawasan Kawi. Setelah mengisi tas belanjaan dengan bahan-bahan sarapan ala maskapaiku, kami pergi ke toko perlengkapan bayi. Seperti yang kami bahas siang tadi, kami hendak menjenguk rekan seangkatan Kak Ribi yang baru saja dikaruniai anak ketiga. Kami sepakat membawa sekeranjang hampers baju bayi dan beberapa botol sabun. Tak lupa, Ribi memasukkan beberapa lembar uang di amplop untuk rekannya itu. Masih ingat nama tengahnya apa, Darmawan.

Ciyeh, yang sudah mulai kompak pakai baju mirip. Memang aku berbaju one set lengan pendek tosca motif bunga dandelion putih dipadu pas dengan sepatu flat aksen pita tumpuk. Sedangkan, si Letnan membalut tubuh tingginya dengan kemeja kotak-kotak lengan pendek warna putih kotaknya biru dan celana jeans. Hanya bersandal kulit, santai dan tetap rapi. Tidak usah diragukan kalau style tentara di mana-mana selalu rapi tanpa disuruh.

Sekarang langkahnya sudah menyesuaikan langkahku. Tak terlalu cepat agar selalu bisa mengiringiku. Kami naik ke lantai dua, dengan aku yang sesekali gagal fokus. Saat melihat ibu hamil atau ibu yang baru melahirkan sedang membawa bayinya, aku mendadak ingin merasakan proses itu. Bukankah harapan pengantin baru sama saja, ingin segera hamil dan punya anak.

Terlepas dari aku yang masih terikat kontrak kerja. Melupakan aku yang masih senang-senangnya bekerja. Namun, mendadak berubah karena jatuh cinta pada suami hasil pernikahan paksa. Sekarang anganku terbang setinggi satelit, mulai delusi.

“Kawan, kapan kau cetak sendiri, hah?” sambut Lettu Eko dengan tawa keras.

Menyentak lamunanku untuk kembali ke kenyataan. Ternyata kami telah sampai di depan ruang perawatan pasca persalinan. Bertemu rekan Ribi bernama Lettu Eko Syahputra yang super periang dan excited. Bapak tentara ini agak lupa kalau sedang berada di rumah sakit bersalin yang seharusnya menurunkan suara. Terbukti dari beberapa pasang mata yang mulai memandanginya tajam.

“Nantilah, Kawan! Aku baru pengantin baru,” sambut Ribi pelan seraya tersipu malu.

Aku memandang kedua bapak ini menunggu untuk diperkenalkan diri. Sesekali melongok ke daun pintu yang terbuka sedikit. Niat hati ingin tahu seperti apa rupa bayinya. Namun, sekali lagi aku tak mau banyak tingkah.

“Aku kaget sekali waktu dengar kabar kau nikah. Tapi aku nggak datang, istri merajuk terus bawaan bayi. Aku keluar sebentar saja diamuk sampai berhari-hari,” curahnya ceria.

“No prob, Kawan!” Ribi akhirnya menarik lenganku. Mendorongku halus dengan maksud aku harus memperkenalkan identitas agar tak dianggap pot kembang begonia. “Istriku, Kawan.”

“Waduh, Nyonya Iqbal!” serunya menyambut uluran tanganku. Tipikal bapak tentara satu ini adalah satu, seru.

“Saya Salwabulan, Pak,” kataku pelan yang membuat wajahnya berubah. Dia berbisik pada Ribi.

“Kawan, sejak kapan dia ganti nama dan wajah? Bukannya Alula? Dia ‘kan temen deket Intan, istriku,” bisiknya yang langsung dipotong tatapan tajam Ribi.

“Kau amnesia rupanya!” tegur Ribi tidak suka. Bapak Eko nih lempar petasan, sembunyi tangan.

“Ya Tuhan, sorry-sorry! Maaf, Mbak!” ucapnya cepat kemudian seraya mengubah wajahnya kembali ceria.

Linglung, bak mabok Stella jeruk. Berusaha mencerna obrolan macam apa yang terjadi saat ini. Dua bapak berloreng ini membicarakan apa? Mantan Ribi yang bernama Alula itu? Jadi, sudah seterkenal apa pasangan itu? Jadi, selama ini pasangan itu sudah terkenal, tanpa tahu mereka sudah berpisah setahun yang lalu.

“Sayang,” tegur Ribi yang membuatku tersadar. Kusambut kembali tangan Lettu Eko dengan gugup. Tak lupa memastikan wajah Ribi lewat lirikan, ia terlihat kacau.

“Kerja atau nggak, Mbak?” alih Lettu Eko cepat.

“Kerja, Pak. Pramugari INA Air,” jawabku tanpa banyak ekspresi. Aslinya gugup pengen menghilang. Masih sakit jika mendengar nama itu, seperti ketemu musuh bebuyutan padahal nggak kenal.

“Wow, pramugari,” Lettu Eko memukul keras lengan Ribi seraya tertawa riang lagi. “Memang, yang dulu tentara sekarang pramugari. Selera Ribi memang tangguh semua, ya?”

“Kawan, aku boleh nengok anakmu?” alih Ribi sekaligus menegur si karib yang mulai keceplosan lagi.

Menurutku, keceplosan kok terus? Itu reaksi spontan atau sengaja memecah perdamaianku dan Ribi? Bukankah teramat sensitif membahas mantan suami di depan istrinya? Bapak Eko mengerti tidak sih?

“Astaga, sorry-sorry,” ucapnya lagi lalu menggiring Ribi masuk ke dalam ruang itu. “Ayo, jenguk anakku, Bara Pardamaian namanya!” ujarnya tanpa beban, padahal sudah berhasil memendungkan hatiku.

Nama anaknya mengandung banyak makna, menciptakan perdamaian pakai bara api maksudnya? Mana bisa, seperti si Bapak mungkin yang menciptakan perkenalan denganku dengan ceplosan menyakitkan. Ngajak tawuran!

“Kak, aku ke kamar mandi dulu, ya?” pamitku tanpa menunggu izin lantas ngeloyor ke kamar mandi di ujung koridor.

“Jangan lama, ya, Sayang,” ucap Ribi mesra tanpa kutanggapi. Karena aku sudah sibuk menutup ledakan tangis.

Mungkin cuma sandiwara atau sekedar menjaga hatiku. Sebab si kawan menyakitinya tanpa sadar. Kembali aku jatuh dalam penasaran, benarkah mereka pasangan yang ideal? Pasangan impian semua orang, tapi gagal ke pelaminan. Benarkah berpisahnya Alula dan Ribi tidak ketahuan orang banyak, sehingga banyak yang tidak update tentang hubungan mereka?

Semua tanyaku menyeruak ingin keluar. Sayangnya, cuma air cengeng yang menggenang di mataku. Sampai aku keluar kamar mandi, hati ini masih kacau. Agaknya semakin parah saat melihat laki-laki tinggi berkemeja biru kotak-kotak sedang berdiri, berhadapan dengan seorang wanita semampai berkemeja warna senada.

Bahkan, warna baju mereka serupa meski tak lagi bersama. Alula dan suamiku, saling menatap datar di depan ruang Madura VIP 1. Apa yang sedang mereka lakukan? Sepasang orang asing yang pernah bersama dan sekarang menjadi orang asing lagi itu? Sebenarnya, siapa yang orang asing? Akukah?

Melihat cara Ribi memandangnya, sepertinya aku memang sudah terasing.

Jika dia sudah tidak cinta, kenapa sekacau itu saat saling berpandangan? Ah, Tuhan … kenapa hatiku sesakit ini? Tuh, ‘kan, memang lelah membersamai hari-hari Ribi. Terlalu cepatkah jika aku mengibarkan bendera putih?
***

Bersambung..

Bul² lagi galau, yuk semangatin!!😂😂🥲🥲🥲

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang