Bab 26 Sisa Hujan Musim Penghujan

10.5K 1.1K 340
                                    

Terima kasih telah bersedia menunggu. Selamat membaca 🥰
######################

Kota ini telah memasuki musim peralihan dari hujan ke kemarau. Hawa yang biasa gerah karena mendung mulai berganti menjadi kering nan dingin. Langit yang suram, mulai berubah jadi biru. Namun, kadang musim kemarau belum mau menetap lama. Hujan sesekali masih datang sebagai sisa. Seperti malam ini, gerimis sisa musim penghujan masih merintik di tengah suhu dingin Malang.

Sama seperti kisah cinta suamiku, masih ada sisa masa lalunya yang kembali. Belum mau menjauh pergi, menghilang selamanya meski telah setahun mereka berpisah. Alula hadir sebagai hujan sisa di musim peralihan, beralihnya hati Ribi ke hatiku. Dikatakan tawar, ini sakit. Dikatakan sakit, bolehkah aku memprotesnya? Galau.

Gerimis turun dan membuat suara-suara galau di genting rumah sakit. Sementara itu, aku masih menatap kedua manusia ahli senjata itu bicara. Tak berani mendekati karena aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan saat tak ada aku. Karena keduanya tentara yang biasa bersuara keras, mengintip seperti ini sudah cukup untuk mendengar isi pembicaraan mereka.

Mendadak hatiku mendung, gaya penceritaanku dramatis, puitis tragis. Cinta telah mengubah hidupku, sebagian besar hidupku. Merasakan bahagia dan sakit hati dalam waktu bersamaan. Semua karena satu nama, Iqbal Darmawan Al-Magribi. Yang sedang membuang matanya pada wanita di depannya, padahal Alula berusaha membuat kontak mata.

Stop senyum-senyum, cause shit about to go down!” Kata Kak Nessie.

“Izin, sudah bahagiakah Danton bersamanya? Apa pernikahan itu benar-benar sudah membuat Danton tidak mau membalas pesan-pesan saya?” Alula membuka percakapan sentimental itu dengan sedih. Raut wajah cantiknya yang selalu berkerut itu seperti tak pernah senyum.

“Tidak ada yang perlu dibahas. Katakan apa saja yang kamu mau, selesaikan! Ada istri saya di sini!” kata Ribi ketus.

“Memangnya kenapa? Apa dia akan cemburu? Memang dia tahu tentang kita?” Alula makin menjadi dan hatiku makin teriris. Mengintip memang tidak enak, apalagi mencuri informasi yang seharusnya tak perlu kutahu.

Ribi menatap tajam mantan kekasihnya itu. “Jaga etikamu pada atasan!”

“Siap,” Alula menegakkan badannya, lalu wajah itu kembali merengut. “Izin, benarkah Danton mencintai dia? Sudah bahagiakah Danton bersamanya, izin?”

“Urusan rumah tangga saya bukan konsumsimu. Kita sudah selesai, Lula. Mari melanjutkan hidup masing-masing!” pinta Ribi tegas. Wajahnya yang datar itu berubah menjadi berkerut, seperti hancur atau apa. Entahlah, tidak begitu jelas karena lampu teras yang temaram.

Alula terduduk lesu di bangku kayu vintage, matanya meneteskan air. “Siap, apakah pertanyaan saya ini laksana omong kosong yang tidak perlu terjawab? Izin petunjuk, Ndan! Izin, anggotamu ini terlalu bodoh.”

“Dengar petunjuk saya, jangan pernah menoleh pada saya sekalipun kita berpapasan! Kamu tidak perlu memberi saya hormat, hapus semua kontak saya dan jangan berusaha mencarinya lagi! Salwabulan adalah perempuan yang harus saya jaga hatinya mulai sekarang. Paham?” tutur Ribi tegas. Kaku, dia memang balok sebenarnya.

Namun, aku bangga pada ketegasan sikapnya. Setianya itu terdengar nyata meski aku tidak tahu isi hatinya. Apalagi wajah Ribi tak ada tegar-tegarnya. Kalimat itu diucapkan dalam raut kacau balau, hancur bak dibom musuh. Berarti masih ada apa, sisa luka. Benar, Alula ada penyebab rapuhnya hati manusia itu.

“Izin, apakah Danton sudah lupa perpisahan kita karena apa? Bukan tidak cinta, tapi karena … agama,” bahas Alula masih berusaha menahan langkah Ribi.

“Betul, dan tidak ada yang perlu diperjuangkan dari itu. Agama adalah urusan kita dengan Tuhan. Mustahil jika saya pindah ke kamu atau kamu pindah ke saya. Cukup, Sersan?” tanya Ribi yang tak sanggup dijawab Alula.

Si Judes itu menyakiti Alula terlalu dalam lagi. Pertemuan mereka hanya bermuara pada air mata dan kesedihan. Aku saja menangis dari balik tembok, apalagi dua manusia galau itu. Berulang-ulang kuseka air mata, ingin pergi saja dari sini. Tapi urung saat dia memandangku lekat.

Ribi sudah membalik badannya, kedua matanya tertuju padaku yang menempel ke tembok laksana tokek. Ketahuan mencuri dengar percakapan pribadi mereka dan bersiap dihukum. Sebelum Ribi melakukannya, aku sudah merasakannya. Sakit hati karena suamiku berbicara dengan mantan pacarnya.

“Kamu kebelet sekali, ya, Sayang?” Ribi menghampiriku dengan senyum dipaksakan.

Selanjutnya, semua gerakan lanjutan ini adalah keterpaksaan. Sengaja dipamerkan ke depan bekas kekasihnya itu, demi menegaskan pilihan. Bahwa dirinya telah kumiliki dan Alula harus berhenti memikirkannya. Seharusnya aku bangga, bukan sakit hati. Namun, aku tak mau dijadikan tameng pelampiasan.

“Lho, Alula, kok di luar aja? Istriku mencari lettingnya ini!” buyar Lettu Eko yang membuatku menoleh nanar.

Tak percaya. Alula bukan orang asing bagi mereka-mereka ini. Dia rekan seangkatan Refika, istri Lettu Eko. Rupanya begini, Lettu Eko dan Ribi sama-sama berhubungan dengan wanita seangkatan, sama-sama Kowad. Mereka pasti dulu double date. Ah, alangkah indahnya para manusia ini.

“Mbak pramugari, mau gendong Bara nggak?” Lettu Eko lantas memandangku lekat. Mungkin hanya formalitas karena aku teronggok di sini. Bahkan, Lettu Eko tak ingat siapa namaku.

“Eng …,” aku meringis aneh. “Saya izin ke mobil aja, Pak. Mendadak harus menelepon maskapai,” ujarku beralasan.

“Kamu disuruh terbang?” sela Ribi bingung. Namun, dia adalah orang yang pandai mengatur muka dan ekspresi. Mudah saya mengubah warna wajahnya, seperti bunglon.

Kulepas kasar pegangan tangannya di pinggang bawahku. Lalu kurampas kunci mobil Harry dari sakunya. “Izin minjam mobil, Ndan!” sindirku seraya berlari menjauhi ketiganya.

Kubiarkan mereka bernostalgia. Mungkin saja Ribi berkata sesetia itu karena melihat sekelebat bayangku. Aku terlalu kentara untuk bersembunyi. Ahli strategi dan perang sepertinya hanya memandang sikapku sebagai lelucon. Di matanya aku hanya perempuan bodoh yang mudah dimanipulasi. Sadar diri, silakan Kalian berekspresi.

Aku yang akan pergi.

Gegas aku berjalan setengah berlari ke arah parkiran. Tak peduli Ribi yang mengikuti langkahku dengan cepat. Karena emosi, aku bisa memacu langkah mengalahkan tentara. Tak peduli beberapa rintik gerimis menjatuhi kepala, aku sampai juga di parkiran. Tentu saja, tangan ini tak sempat meraih handle pintu karena Ribi kadung menahannya.

“Kamu kenapa lagi? Mau bawa mobil ke mana?” tanyanya dingin di bawah temaram langit malam yang mendung. Bulan separuh ada, tapi ditutupi mendung hujan.

“Tidak usah pedulikan aku. Silakan jenguk teman dan bernostalgia, Kak! Kehadiranku tak ubahnya dari udara.”

“Kamu nggak percaya aku lagi, Sal?” tahannya memiringkan kepala.

“Wajahmu nggak bisa bohong,” tepisku melengos.

Ribi menarik napas panjang. “Maaf kalau kamu terkesan dicueki, tapi aku udah lama nggak ketemu Eko.”

“Bukan itu,” bantahku keras, beberapa kali mengedip karena kena gerimis. “Baru saja aku masuk ke kamar mandi karena perutku sakit, mendengar nama itu. Balik-balik sudah ada Kakak dan dia yang berbicara dengan … romantisnya!”

“Romantis katamu?” sindir Ribi seraya menajamkan matanya. “Saling melotot dan bersitegang itu romantis menurutmu, ya? Cemburu silakan, tapi tidak usah melantur. Mengada-ada kamu!”

“Lho kok balik marah? Aneh Kakak ini!”

“Kamu menudingku terus, Salwabulan!” sentaknya menyebut nama lengkapku. Apa dia sama seperti Papa yang selalu menyebut nama lengkapku saat marah dan kecewa? Kenapa aku mendadak kangen Papa?

“Kakak bilang semua sudah selesai, apa tidak termasuk dengan melupakannya?” tanyaku gantung.

“Entah gimana caranya buat kamu percaya, Sal,” kata Ribi lesu, matanya mengendur. “Setiap orang punya masa penyembuhan yang berbeda. Benar katanya, perpisahan kami bukan karena tidak cinta. Tapi karena keyakinan. Tentu masa melupakannya sedikit lebih lama karena lukanya lebih dalam,” urainya kosong.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang