Bab 14 Mau Kabur atau Tidak? Kabur!

10.4K 1K 281
                                    

Pernikahan bisa menyatukan dua pribadi yang berbeda, masa iya? Sepertinya setengah benar setengah salah. Benarnya, aku dan Ribi yang punya kepribadian beda ini bisa kok satu mobil. Salahnya, kami tetap manusia asing yang berpayung pada wadah yang sama, pernikahan. Memang di mata para sesepuh yang semringah semenjak kemarin itu, kami adalah pasangan suami istri yang bahagia. Namun, di balik mereka kami adalah pasangan kutub positif-positif.

Tolak-menolak.

Papa Mama Bapak Ibu mengira semalaman kami hokya-hokya di kamar hotel setelah resepsi selesai. Diperkuat dengan kesaksian para mbak perias yang menyebar gosip. Nyatanya, nggak. Ribi kabur ke rumah asramanya, pamit sekenanya padaku lewat WA. Sedangkan, aku sibuk packing koper besar dan kecil supaya siap pergi ke Bromo pagi ini. Please, lupakan apa itu honeymoon. Aku lebih nyaman menyebutnya jalan sendiri-sendiri yang dibiayai suami. Ew, suamik!

Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya, sebenarnya apa yang membuatku bisa menikah dengan pria berjaket abu yang sedang menyetir tegang kendaraan itu. Isi kepala kami sungguh beda. Kebiasaan kami juga beda. Pasti kami juga punya kesukaan dan kebencian yang beda. Wait, kebencian yang sama, benci berdua di satu titik seperti ini.

Seriusan aku nggak suka berdua doang sama dia. Pertama, aku takut sama kemesumannya. Kedua, aku bingung mau membuka percakapan apa. Dia itu sehening luar angkasa, membuatku kagok harus bicara apa. Salah bicara sedikit muaranya ke hal yang tabu. Nggak salah sih kalau dia menginginkan itu. Salahnya adalah jangan sama aku, okay!

Untung aja semalam dia membuatku tidur sendiri di hotel. Mungkin dia paham kalau aku nggak bakal kasih apa-apa. Baguslah kalau dia sadar diri. Dengan begitu di hotel Bromo nanti, aku juga bakalan nempati kamar sendiri. Ah, kali ini dia cukup pengertian. Masih ada hal yang normal dari seorang Ribi.

Apalagi hal normal darinya, ya? Rasa-rasanya aku masih asing dengan “Tarzan” di sebelah ini. Yang kutahu dia itu ganteng, rapi, dan wangi. Tiga kata mewakili semuanya. Dia rajin ibadah karena selama kami berinteraksi, nggak pernah melewatkan waktu salat. Nggak repot dia meminggirkan mobil di rest area demi mengejar waktu Ashar, saat kami pengajuan ke Surabaya dulu.

Dia itu cah soleh, tapi mesumnya itu lho. Apa cuma sama aku, ya, karena aku sudah jadi kekasih halalnya? Ah, embuh! Nggak mau berandai-andai. Kepikiran jatuh cinta sama dia aja kagak ih, mit-amit!

Dia itu cuma layak dijadikan temen makan bakso rombong. Lhadalah, gimana bisa kami punya selera yang sama sih? Dari jutaan panganan di dunia ini, kenapa seorang Ribi bisa suka bakso rombong? Kenapa dia nggak suka sate kodok kek, bakwan serangga kek, sup lipan kek, dih. Untung aja tetep beda selera kok meski jenis panganannnya sama.

Dia tim bakso campur semua bumbu diaduk, sedangkan aku tim bakso putihan plus sambel. Apa nggak aneh tuh selera Ribi? Bukannya lebih enak pakai sambal doang, jadi rasa baksonya masih otentik? Dasar gedebok pisang, kalau nggak aneh bisa perang dunia.

“Kamu ngapain sih ngelirik saya terus? Marah karena saya tinggal sendiri di hotel?” buyar manusia berjenis kelamin laki-laki berlesung pipi itu, tanpa menoleh dan terus konsentrasi ke jalanan Probolinggo di depan.

Aku langsung gagap dan menggeleng kuat. Dengan cekatan pula kukibas-kibaskan tangan ke samping badannya. “Enggak, malah makasih karena aku bisa tidur sendiri. Nanti di Bromo, kita pisah kamar juga. Okay!”

Celotehanku hanya dibalas dengan seringai remeh darinya. Sudah mulai terbiasa dengan bad attitude-nya. Dasar nggak sopan, untung udah tua. Coba kalau lebih muda, udah kugeplok pakai sandal kerja. Lihat gayanya, sok keren amat. Dia kira ganteng apa pakai sweater abu, celana jins hitam, sandal kulit hitam, dan jam rantai hitam. Kontras dengan kulit kuningnya gitu.

Ganteng gila tauk, ah!

“Aku kamar sendiri. Okay?” tegasku lagi setelah berusaha keras meminggirkan lamunan edan. “Ndan!” Kugeplak lengannya karena dia terus menyebalkan.

Dia hanya menoleh kecil, lalu memasukkan tuas persneling. Ugh, otot tangannya. “Nggak tahu, hotelnya full!”

“Eh, kok bisa?” sahutku mulai menyesal ikut pada perjalanan ini. “Jangan bilang nanti cuma ada satu kamar!”

Lagi-lagi, Ribi hanya tersenyum misterius tanpa suara. Aku makin tidak sabar menanti kepastian jawabannya. Mumpung belum sampai di tempat, aku mau balik aja ke Malang. Daripada kehormatan berhargaku dirusak olehnya, mendingan nggak usah liburan dah ah. “Menepi, Ndan. Mendingan aku balik ke Malang aja pakai bus. Nggak usah liburan segala deh.”

“Nggak ada cancel, show must go on!” tolaknya angkuh.

Wajahku mengeras untuk menyemburkan amarah kekesalan. “Turun! Aku nggak mau sekamar sama Anda!”

“Pasal 4!” potongnya setengah mendelik. Menyebut perjanjian embuh yang mendadak melintas di otak pusingku ini.

“Apaan, aku nggak hafal!” bantahku yang membuat Ribi mengerem mobil dan meminggirkan kendaraan ke tepi jalan.

“Jangan manggil ‘Anda’ atau ‘kamu’!” bentaknya yang bikin keder.

Tanpa bicara, dia membuka laci dashboard di depan posisi dudukku. Mengeluarkan setumpuk kertas dan dibanting ke atas pangkuanku. Ribi menyuruhku membuka dan membaca kertas itu, tentu kuturuti daripada dia ngamuk terus balikin kendaraan di depan sana. Ternyata isinya pasal-pasal ngawur yang dia ocehin kemarin itu. Terniat memang si doi merusak hidupku.

“Aku malas hafalin semuanya. Nggak penting.” Kubuang kertas tebal itu sembarangan.

Kelakuanku membuat Ribi makin tak santai. Tentara itu malah mengambil cepat gulungan kertas dan membantingnya kembali ke pangkuanku. “Saya tidak mau tahu, kamu harus hafalkan di luar kepala.”

“Alias lupa ….”

“Hafal!” pungkasnya tegas. Aku mingkem, selalu mati kutu meski pandai mendebatnya.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang