Bab 36 Jangan Marah, Kak, Aku Sakit!

9.6K 1.1K 179
                                    

Haloooohalooo, datang lagiii. Siapa yang udah kangen???

Salam manis buat yang baca dan makacih ya udah mampir 🥰🥰🥰🥰🥰

Part puanjang 7k karakter 🤣

Bismillah, piring cantik 🥰

081121
=========================

Selasa pagi, aku sepakat pergi ke rumah sakit. Itu karena perutku terus bergejolak, lambung terasa menghentak hingga membuatku mual tak keruan. Keringat dingin terus mengucur meski aku cuma lima menit berdiri. Tak cuma itu pandangan mata berkunang-kunang. Sepertinya aku sakit.

Kalau kata Ribi, aku hamil. Namun, kalau kataku, asam lambung naik karena aku kelelahan dan stres. Membantah Ribi dengan mudahnya menggunakan sebuah alat tes kehamilan yang satu garis merah. Negatif. Dia nggak tahu saja kalau saban pagi aku selalu bermain air seni, ckck.

Memang tubuhku terlalu keras berusaha. Dua minggu ini jadwal sangat padat yang kadang membuatku makan sekenanya. Otak juga dipaksa mikir lima kali lebih keras dari biasanya. Keadaan perasaan jangan ditanya, babak belur berusaha survive. Pernikahan, tidak, mencintai seseorang benar mirip perang. Aku harus berusaha sekeras tenaga berjuang dan mempertahankannya.

Kata orang, menjaga lebih susah daripada mendapatkannya. Benar, mendapatkan Ribi sangat mudah bagiku. Menikah dengannya bagaikan makan gula-gula, beralih dari Bintang ke aku semudah memutar kelopak mata. Namun, jangan ditanya merawatnya, itu sangat susah. Mungkin biar adil, ya, kata Tuhan? Karena itulah belakangan ini aku mulai merasa letih, meski bahagia yang tumpah-tumpah.

Jam delapan pagi, aku memutuskan pergi sendiri ke dokter. Itu pun setelah debat hampir setengah jam lewat telepon dengan Paduka maha ceriwis alias Ribi. Dia ngotot mengantarku berobat, tapi aku sudah tak tahan lagi jika harus menunggunya turun piket. Izin turun duluan bisa saja, tapi aku tak enak membuat dinasnya terganggu. Akhirnya, aku pergi pakai taksi online.

Pulangnya, baru deh dijemput beliau.

Inginnya happy, ya? Tapi kok perutku teramat sakit. Mirip cucian yang diperas-peras. Melilit rasanya, nggak bisa kentut dan terus saja mual. Hanya bisa mendesis, meremas perut ini, sembari bersandar di ruang tunggu dokter Jihan di sebuah rumah sakit tentara. Okay, aku setengah nakal sekarang.

Aku berbohong pada kak suami. Bilangnya mau ke dokter Indah di kawasan Araya situ. Eh, malah pergi ke Rumah Sakit Tentara dr. Soepraoen. Sebenarnya nih selain aku hendak berobat, aku juga ingin menjenguk Alula. Sekalian membuat Ribi menjenguknya. Ndablek, tidak aku hanya sedang berusaha. Siapa tahu satu pertolongan kecil ini bisa membantu Alula bangun.

Yaaa, baik, aku tahu kok sedang berusaha menyulut api ini.

Dia mau ngajak berantem, ya, nanti saja okay? Yakin kok kalau dia nggak bakal ngamuk besar jika aku berdalih sedang sakit parah. Ribi itu memang sadis dan keji, tapi hatinya masih bisa dielus menjadi lembut. Okay, kuhibur diri sendiri sekarang karena bayangan kejudesan Ribi semakin memeras lambungku.

“Nyonya Salwabulan!” Suster yang melongok dari daun pintu membuatku lega seketika. Akhirnya, namaku dipanggil juga. Gegas aku berdiri dan berjalan pelan menuju ruang dokter itu. Suster muda itu memapahku karena jalanku terlihat kaku menahan sakit.

“Silakan, Bu!” Dokter Jihan menunjuk kursi kecil di depannya. Aku langsung duduk dan menceritakan semua keluhanku. Dokter itu pun langsung menyuruhku tiduran di ranjang periksa.

Beliau memeriksaku dengan stetoskop. Salah satu tangannya memencet lembut perut sebelah kiriku. Kemudian tangannya berpindah ke area lain, mengetuknya lembut dan menanyai responku. Ditanya sakit atau tidak dan kujawab sakit. Dokter pun manggut-manggut seperti sudah mengetahui sakit yang kuderita.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang