Bab 2 Beban Hatinya Kak Ribi

11.9K 1K 126
                                    

Ting-tung, ting-tung! Dua denting kecil itu berbunyi, diikuti dengan pengumuman bahwa tanda kenakan sabuk pengaman telah dipadamkan. Artinya, para penumpang diperbolehkan melepas sabuk pengaman atau pergi ke toilet. Bagiku tidak cuma itu, tetapi juga pertanda kegiatanku akan dimulai. Serving makanan ke pax alias penumpang karena maskapaiku full service.

Kupatut sekali lagi wajah mungil ini depan kaca kecil dari dalam handbag, selalu manis dan cantik mirip Dilraba Dimurrat. Bolehlah memuji diri sendiri biar awet percaya diri. PD adalah modal terbesar untuk bekerja di sektor jasa ini karena aku harus menghadapi banyak karakter. Dari awak kabin yang bekerja denganku sampai para penumpang, semua punya karakter beda-beda. Bahkan, rekan di sebelah ini pun beda.

Sesekali kulirik Mbak Melda yang sedang membenarkan riasan matanya, kemudian aku berjalan hati-hati menuju microwave untuk mulai menyiapkan menu-menu makanan. Jobdesk kali ini aku bertugas serving makanan di kabin bisnis. Senengnya tuh gini, penumpang yang dilayani cuma sedikit. Jadi, aku bisa duduk manis lagi sembari menyeruput soda rasa sarsaparila.

Gimana kalau curi kesempatan mumpung menunggu makanan yang dipanasi ini? Haus bandel gara-gara take-off Captain Adri sedikit buruk tadi. Mungkin hujan angin bikin landasan agak kurang bersahabat. Toleh kanan kiri dan aman, tangan mungilku mengeluarkan botol plastik bening berisi air cokelat dari dalam tas. Demi apa aku bawa minuman soda di ketinggian 33.000 kaki. Tenang, minuman sodanya sudah dipindah ke botol plastik kok. Jadi, tidak akan membahayakan atau menimbulkan ledakan.

“Hem, enak banget,” ucapku keenakan saat gelontoran soda manis itu masuk ke mulut. Rasanya masih sama meski beda tempat dan sanggup menerbitkan senyum puasku.

Dasar aku, antara kurang kerjaan dan terlalu niat. Demi menyemangati diri sendiri untuk bekerja di akhir pekan, aku sampai bela-belain bawa minuman darat untuk diminum di langit. Mungkin itu yang bikin Mbak Melda memandangku aneh saat ini.

“Mbak …,” kekehku tak enak sembari meringis kuda. Aku bak anak SD yang ketahuan nyuri mangga tetangga.

“Ngapain kamu minum itu diam-diam, sembunyi, dan senyam-senyum pula,” tegurnya beruntun dan heran sembari memeriksa timer di microwave. Dua menit lagi makanan ready to serve.

Aku meringis lagi. “Maukah, Mbak? Sarsaparila-nya AW?” tawarku menyodorkan botol.

What?” pekik Mbak Melda tertahan meski mata cantiknya melotot sempurna. Dia mencubitku gemas. “Salwabulan Aurora Salim, ngapain lo bawa soda ke penerbangan? Mau cari masalah lo, ya!” omelnya kesal lalu berkacak pinggang.

Aku kembali meringis, meminta iba dari senior satu ini. “’Kan udah dipindah ke botol plastik, lagian udah kukocok-kocok tadi Mbak. Jadi, sodanya udah nggak ada. Coba aja,” paksaku lagi.

“Salwabulan Aurora …,” omelnya yang tiba-tiba kuberi telunjuk.

“Mbak, udah waktunya serving. Pending dulu ngomelnya, ya!” potongku sembari membuka microwave dan membuat hawa panas menyebar di sekitar kami.

Tentu saja Mbak Melda terdiam. Dia memilih untuk mengabaikanku demi rangkaian tugas di depan mata. Menata piring saji berisi tumpeng mini nasi kuning lengkap dengan lauk-pauknya. Tak lupa menuang jus tomat ke gelas dan menata tisu di nampan. Istimewanya melayani kelas ini adalah aku sekalian jadi chef yang bisa plating. Padahal aku nggak bisa masak, ugh.

“Seteguk dulu sebelum jalan!” putusku sembari meminum soda manis itu, diiringi pandangan ilfeel dari Mbak Melda. Sirik banget sih padahal aku senyum bahagia lho ini.

“Ckck, manusia aneh lo, Bul!” oloknya lalu berganti wajah menjadi lebih semringah ramah.

Menyisihkan kekesalan dengan senyum ramah sepenuh jiwa sudah biasa bagi pramugari macam kami. Itulah suka duka kami, harus bisa berwajah banyak sesuai dengan situasi. Sesuai yang kubilang tadi, kami bertemu dengan banyak karakter. Membuat kami pun bisa menjadi banyak karakter – bukan kepribadian ganda: catet. Yang manja dipaksa dewasa, layaknya aku. Yang aslinya ribut dipaksa anggun, layaknya aku.

Perkenalkan, aku Salwabulan Aurora Salim, Bulan atau Salwa terserah mau dipanggil apa. Umur masih 22, tapi sudah menjadi pramugari tahun ketiga di maskapai INA Air. Aku tidak kuliah karena sudah keenakan kerja sejak lulus SMA. Pilihanku sekaligus memupus harapan Papa Mama yang ingin aku jadi dokter atau tentara seperti Papa.

Memang aku tak minat pada dunia akademis semenjak tahu deretan angka rupiah bayaranku sebagai pramugari. Maklum sejak sekolah uang sakuku sering cupet. Ya, anak kolong biasa prihatin. Saat aku lahir, Papa masih perwira pertama yang bayarannya tak sebanyak sekarang. Maka dari itu, aku bahagia punya penghasilan sendiri.

Yeaps, aku anak tentara. Papa, Gautama Salim, seorang tentara dengan tiga melati di pundaknya. Tentara yang tegas kalau berseragam, tapi melankolis kalau sudah menimang burung perkutut kesayangannya. Ya sudahlah, manusia tidak ada yang sempurna lantaran aku juga begitu. Tidak bisa memenuhi harapan beliau untuk jadi dokter atau kowad.

Sedih juga kalau dirasa sebab kakakku satu-satunya pun sama sepertiku, tak bisa memenuhi harapan Papa Mama. Pilihannya sama denganku, bisa dibilang aku yang menyamai pilihannya. Semenjak berusia 19 tahun, Kak Bintang mantap masuk ke sebuah maskapai pelat merah milik pemerintah. Kariernya sebagai pramugari tak terbantahkan lagi, rute-rutenya kebanyakan luar negeri. Wajahnya sering terpampang nyata di majalah bulanan maskapai sebelah.

Ceperannya kebanyakan mata uang asing. Uang terbangnya nggak terhitung karena dia selalu terbang di peak season, semacam itulah. Menyandang titel sebagai adik Kak Bintang itu tidak mudah karena dia terkenal di dunia ini. Selain karena kecantikan tiada tara mirip Guli Nazha, public speaking-nya top. Sering diminta mewakili maskapainya dalam promosi pembukaan rute baru di luar negeri. Dia juga sering menari tradisional mewakili maskapai di event-event resmi.

Salsabintang Aurora Salim yang rupawan, meskipun judes; dingin; cuek nggak ketulungan.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang