Bab 22 Melanggar Pasal 2

12.1K 1.3K 607
                                    

Pernah nggak sih kamu berpikir sejuta kali di dalam otak padahal mulut sangat ingin bertanya sesuatu sampai mendetail? Pengen menginterogasi, tapi harus ditahan. Empet nggak sih? Aku merasakannya sekarang, dada ini sesak. Sejuta pertanyaanku terantuk Pasal 2, tentang privasi apalah itu. Es Balok Bangke!

Padahal saat melihat wajah tampannya aku ingin sangat bertanya. Sebenarnya gimana hubungannya dan Alula? Sedalam apa sampai-sampai Ibu mertua pun enggan membahas itu? Apa ada yang aneh di antara mereka? Sumpah, aku sangat penasaran. Sayangnya, lagi-lagi aku terbentur Pasal 2, ya ampun help!

Demi apa dan ngapain sih dia ke sini? Ini hari apa, bukannya dia besok kerja? Lhadalah, ternyata aku yang lupa jiwa. Besok adalah LWE alias libur panjang. Jelas saja, Ribi bisa datang ke kota ini seenak dengkulnya. Apesnya itu adalah kenapa dia bisa memergokiku saat bicara dengan Razka, kenapa nggak pas aku nolak Razkanya tadi aja. Ini sungguh terlele.

Yang paling apes dan bangke adalah dibantingnya HP tercintaku sampai remuk layarnya. Seriusan, kekuatan tangan Ribi itu seberapa sih? Gerakannya cepat, senyap, tapi langsung mak pruk, remuk! Kursem, kurjar, aku harus minta ganti rugi. HP yang paling mahal. Namun, sebelumnya geplak punggung bidangnya itu boleh kali yes?

Tidak bisa, ini tidak bisa dibiarkan! Dia bahkan sudah berkali-kali melanggar pasal 2 itu!

Bug! Kupukul emosi punggung yang terus mengabaikanku itu. Dengan mata berapi-api aku menghadang si tinggi ini. Wajahnya tetap saja tanpa ekspresi, nggak kesakitan meski aku menabok pakai kekuatan penuh. Mungkin benar, salah syarafnya sudah potek saat digantung di jemuran dulu.

“Ngapain sih ke sini?” tanyaku judes.

“Pasal 2, jangan melakukan kontak fisik yang tidak perlu!” katanya judes bin dingin.

Kucebikkan bibir remeh. “Heleh, situ sendiri ngapain melanggar teros? Tiba-tiba ke sini, tidak menghargai privasiku. Terserah aku dong mau ngobrol sama siapa aja, Kakak nggak berhak marah. Oh iya, barusan,” kuacungkan tangan ke depan wajah glowing-nya, “Kakak narik tanganku. Ada apa hayo!”

Kalimat cerewetku seperti biasa hanya ditanggapi cuek olehnya. Pria loreng ini lebih memilih menghindariku dengan terus berjalan lurus. Tidak tahu ke mana tujuannya. “Hei, hei! Kalau ada orang ngomong tuh didengerin! Manner mana sih, Mas?” sindirku membuntutinya.

Ribi berhenti dan menatapku tajam. “Tadi sama mantan bisa bicara sambil duduk, kenapa sekarang sama suami malah sambil jalan? Manner mana, Dik?” balasnya menyebalkan.

“Kakak cemburu, ya?” sahutku sekenanya, tapi wajah Ribi tetap saja datar. “Cemburu, ‘kan?” tegasku lagi dan dijawab dengan pelengosan Ribi ke arah lain.

“Debok!” kutukku lirih sembari menghentak kaki emosi. Kesel nggak sih Kelen?

Akhirnya, aku berusaha mengimbangi langkah lebarnya itu dengan langkah kecilku. Sesekali mencuri pandang pada wajah kakunya itu. Ya masih untung selisih tinggi kami tidak terlalu njomplang, aku masih bisa kok mengikuti langkah cepat tentara ini. Namun, memang lebih cepat temponya. Dan entah kenapa dia sekarang malah masuk ke IOC alias INA Operation Centre. Doi mau apa?

“Kak, jangan asal masuk kantor orang sembarangan deh! Ini bukan wilayah kerja Kakak!” larangku menahan tangannya. Membuat para mata bingung itu memperhatikan kami. Halo, ini bukan hutan, melainkan bandara yang ruamai.

“Kalau kamu tidak kompeten minta pindah base, bilang dari awal! Biar saya yang turun tangan,” sentaknya sinis.

“Eng … permisi, Pak dan Mbak,” pecah salah satu awak kabin yang hendak masuk ruangan dengan wajah bingung. Langsung aku menarik jam tangan Ribi menepi ke sebelah pintu, karena aku terlarang menyentuh kulitnya, ‘kan?

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang