Bab 46 Peluk Aku Semalam Saja!

9.8K 1K 157
                                    

Kurasa, ini part terpanjang di kisah ini 🤣

Dan, yeah, sesudah kesedihan pasti ada kebahagiaan. Optimis aja, oke!🙂
131221
########


Ribi adalah malaikat yang dikirim berkali-kali oleh Tuhan untuk menolong kesulitanku. Saat hampir hipotermia di Bromo silam dan saat aku di bawah tekanan moncong senapan musuh tadi. Mungkin dia juga orang yang telah menyelamatkanku berkali-kali saat mulai disiksa oleh rindu. Sesungguhnya, dia penyelamatku juga dari kebencian pada sosok Bintang.

Cintanya telah mengalihkan hatiku dari rasa yang bernama benci. Hatiku dibuat sibuk hanya untuk memikirkannya, sehingga tak ada ruang untuk rasa yang bernama kebencian. Bukannya berkurang, malam ini aku malah semakin merindukan dan memikirkannya. Jam 9 malam waktu Timika, pria penolongku belum juga menampakkan batang hidung mancungnya. Apa dia masih sibuk mengejar penjahat, tidak ingatkah masih ada hati yang perlu diobati di sini?

Jam 9 malam, aku terbaring di ranjang rumah sakit. Dokter memutuskan untuk mengamati kondisiku sampai tengah malam. Jika tak ada hal buruk yang terjadi pada tubuhku, mungkin aku akan diizinkan pulang. Namun, sepertinya malam ini aku akan menginap di sini karena aku merasa masih lemah. Tubuhku bak benang basah, berdiri pun nggak kuat. Mungkin karena tensiku cuma 80/60.

Aku bak naik kapal feri, bergoyang-goyang dan berputar-putar. Kadang sedikit mual dan sesak napas, terutama kalau ingat peristiwa tadi sore. Demi apa selama 22 tahun hidup, ini adalah kali pertama aku mendengar suara letusan senjata dari jarak dekat. Baru kali ini aku jadi korban upaya pembajakan sumpah. Astaga, ini beneran epic sekaleee, seorang Bulan yang gitu hidupnya berombak juga, ya!

Mungkin karena itulah Papa, Mama, dan Bintang meneleponku dari jam 7 sampai jam 9 malam ini. Bukan cuma itu, Papa menelepon rekannya di Timika untuk memberiku pengawalan ekstra. Hem, tidak usah repot-repot, Papa. Yang kubutuhkan cuma satu tentara saja, Kangmas Ribi. Maka bisakah Papa membuatnya berada di dekatku saat ini? Sumpah, aku cuma kangen dan butuh suamiku seorang.

Dik, beneran kamu nggak terluka?” Mama sudah lima kali bertanya hal yang sama dan jawabanku sama, menggeleng. “Diperiksa semua aja, ya? Bulan pulang ke Malang, ya? Mama jemput, ya!”

Dih, Ma, Bulan itu pramugari bukan anak TK. Udah deh, dia bisa pulang sendiri pakai pesawat maskapainya. Deadhead namanya. Yang penting udah baikan nggak masalah,” timpal Bintang remeh yang kali ini aku setuju padanya.

Bintang, jangan gitu!” Mama terlihat meninju lengan kakak resekku itu. Kontan membuat Bintang melengos kesal merasa diabaikan.

Ih, beneran! Coba tanya Bulan deh.” Bintang mengodeku dengan dagunya. Panggilan video yang berisik.

Aku yang sudah ingin merem berusaha menguatkan diri menyambut wajah cemas Mama. “Bener kata Kakak, Ma. Aku baik-baik saja kok. Istirahat dua hari udah aman. Traumanya dikit kok,” ucapku berbohong pada Mama. Padahal menyebut nama bandara kota ini sudah membuatku takut.

Gantian Papa menguasai seluruh layar video call ini. “Nduk, kamu nggak usah cemas. Di luar ada anggota yang jaga kamarmu. Tenang saja, bandara akan dibersihkan sebaik mungkin sehingga aman untuk penerbangan.”

“Eng … Pa,” aku meringis, “daripada repot mendingan Bulan minta Kak Ribi aja bisa nggak? Bulan cuma butuh dia, dia yang menyelamatkan Bulan.” Semoga permintaanku tak terdengar kurang asem.

Papa mesem, jangan ditanya Mama dan Bintang yang sudah ngakak di belakang. “Ya Allah, Bulan … bilang aja kamu kangen Ribi. Papa ini masa nggak peka sama anaknya. Udahlah, Pa, manfaatkan jabatan Papa. Siapa tahu Ribi bisa dapat libur semalam,” bujuk Mama bersemangat.

Senada dengan detak jantungku yang berubah cepat, aku kok bahagia sih. Udara di sekitarku memanas karena berharap Papa mengabulkan omongan Mama. “Nduk, kamu tahu di situ Kak Ribi kerja. Papa tidak punya wewenang memerintahnya meski Papa ini pangkatnya lebih tinggi dari komandan Ribi. Maaf, ya, Papa hanya bisa melakukan hal yang bisa di dalam kuasa Papa.”

Serba salah, antara bersyukur dan sedih. Ya sudahlah kuputuskan untuk mensyukuri kebaikan Papa. Dalam situasi yang sulit jauh dari keluarga, Papa masih berusaha melindungi anak bontotnya ini. Benar, suamiku adalah malaikat penolongku. Namun, bukan berarti dia bisa selamanya di sisiku. Berharap dia selalu ada bersamaku, itu cuma angan yang ketinggian. Aku sadar suamiku sedang dalam tugas yang tidak main-main.

Sudah kulihat musuhnya di depan mata pakai mata kepalaku sendiri, mereka manusia bersenjata dengan hati yang seram dan tidak punya welas asih.

“Papa, Mama, Bulan boleh istirahat dulu nggak? Rasanya ngantuk sekali,” keluhku pelan. Tangan ini sudah mulai tremor antara sadar dan tidak, tubuhku sangat letih.

Ya sudah, Nduk. Terus kabari kami kalau ada apa-apa, ya? Insyaallah, kamu sudah aman sekarang. Segera pulih dan pulang, ya!” pesan Mama yang senada dengan Papa. Pun Bintang menutup panggilan itu dengan pesan yang sama.

“Cepat sembuh, Dik!” pungkasnya.

Panggilan selesai dan Samsul kuletakkan begitu saja di tepi bantal. Benda ini mulai kelaparan dan aku tidak tahu di mana charger-nya. Tas dan koperku masih berserakan di pojok kamar, sementara itu rekanku ada di kamar yang lain. Semua awak kabin mendapat kamar perawatan sendiri-sendiri. Kabarnya Captain Rendra masih menjalani operasi pengeluaran peluru. Aku berharap beliau baik-baik saja.

Kuhela napas teramat berat, Ya Allah hari ini sungguh panjang dan menguras banyak pikiran. Tenagaku hampir terkuras habis, tapi aku tak berhasrat mengisi ulang energi. Untuk makan saja aku tak nafsu, inginnya tidur. Tapi sekali tidur, aku mimpi buruk. Mungkin ini yang namanya syok dan trauma. Memang, kadang telinga ini seperti masih mendengar suara letusan senjata.

Mungkin karena tekanan darah yang rendah membuat kondisi badanku tak kunjung membaik. Lemas, letih, mata berkunang-kunang, pusing berputar-putar, dan udara terasa dingin. Mungkin karena itulah tanganku dipasangi selang infus karena terus saja memuntahkan makanan yang berusaha masuk ke lambung. Jangankan makan, kesebut nama bakso aja nih, aku sudah mual parah.

Ini aku lagi syok atau morning sickness kehamilan sih? By the way, aku baru beres mens empat hari yang lalu sih. Nggak mungkin hamillah. Gimana mau tekdung, menikmati proses bikinnya aja nggak! Udah tiga bulan aku nggak gedubrak slebew sama doi. Ohhh, sudah selama itu pula aku nggak pernah mainan testpack.

“Gimana kalau aku tidur aja? Ngantuk banget,” ucapku pelan seraya merasakan mata yang semakin berat. Sepertinya obat pereda nyeri atau penenang yang diberi dokter tadi mulai bekerja pada tubuhku.

Perlahan pemandangan lampu redup kamar ini berubah samar. Buram tak jelas dan aku pun resmi menutup mata. Tak terasa lagi dingin penyejuk udara. Napasku yang pendek-pendek mulai lebih tenang. Kesadaranku mulai jatuh ke alam bawah sadar, alam mimpi. Semoga aku mimpi indah malam ini. Dipeluk Ribi seerat mungkin dan merasakan peluk ciumnya. Aku kangen.

“Kamu mimpi aku, ya, sampai senyum sendiri?” tanya sebuah suara yang kukenali sebagai milik Iqbal Darmawan Al-Magribi. Malaikat penolongku.

Dari mana asalnya pertanyaan barusan? Apakah suara dari alam mimpi terdengar sejelas ini? Sepertinya Ribi sedang bicara di depan wajahku. Kucoba membuka mata dan dia berada di depan mataku, ya, sedang tersenyum lembut sembari menopang dagunya ke atas kasur. Mimpiku terasa begitu nyata termasuk saat dia mengecup lembut bibirku.

“Aku mulai gila karena rindu, kamu beneran senyata ini, Kak!” Tanpa sadar kulayangkan tangan pada pipi mulusnya itu. Bahkan kulitnya terasa nyata, lembut dan hangat.

“Kamu niat bikin aku marah, ya, Sal? 80/60, tekanan darah macam apa itu?” sindirnya dengan wajah dimasam-masamkan. Telunjuk usilnya menyentil hidungku hingga aku nyengir.

“Kamu ini nyata apa cuma mimpiku saja?” gumamku.

“Apa perlu kusuruh sikap tobat biar kamu sadar?” sentaknya pelan yang membuatku terkesiap. Seketika aku mengubah badan ke posisi duduk meski sempoyongan. Tentu saja pria nakal manja ini memapahku sigap.

“Heh, pelan-pelan!” suruhnya cemas sembari menuntunku duduk dengan nyaman bersandar pada tumpukan bantal. Sempat kulirik jam di dinding, jam 1 malam.

“Ini beneran Kak Ribi? Suamiku?” tegasku mengguncang tangan berbalut seragam lorengnya.

“Iya, Sal. Maaf baru datang, ya? Kakak habis ngurus banyak hal dari tadi,” curahnya sabar. Gegas kugenggam tangannya seraya menggeleng.

“Nggak masalah, yang penting Kakak udah di sini. Akhirnya kita ketemu, Kak,” kupandangi Ribi dengan mata berkaca-kaca. Bahagiaku nyeplus seperti kelepon, aku senang sekali.

Apalagi saat dia menyentuh pipiku teramat lembut. “Mana yang sakit, Sal?”

Aku menggeleng kuat. “Hatiku, Kak. Karena terlalu merindukanmu, itu saja.”

“Bukannya kamu udah biasa dengan perpisahan?” tanyanya.

Aku berdehem lemah. “Tapi menjalaninya sendiri terasa begitu berat. Aku nggak sekuat kamu, Kak.”

“Sabar,” katanya mengelus kepala belakangku. Dia memainkan rambutku cukup lama, membuat rasa nyaman meresap sempurna ke hatiku layaknya serum.

“Gimana kabar di luar? Siapa mereka, Kak?” tanyaku setelah hati ini cukup tenang.

Captain-mu sudah selesai operasi dan sedang masa pemulihan kata dokter. Rekanmu ada yang sudah kembali ke hotel. Menurut info, maskapaimu memberi libur beberapa hari sebelum kembali ke base.” Ribi mengubah posisi duduknya lebih lekat memandangiku. “Sekarang kutanya gimana kabarmu? Mana yang sakit?”

“Nggak ada, Kak. Aku cuma takut,” jawabku pelan dengan tangan menelusuri kerutan selimut. “Mereka itu siapa, Kak? Apa itu musuh Kakak selama di sini?”

“Kamu tidak usah pikirkan itu, Sal!” pungkasnya membungkam keingintahuanku. “Yang penting sekarang kami sedang siaga dan semua akan segera membaik. Kamu tidak usah cemaskan apa-apa selain sembuh.”

“Mana mungkin aku sembuh kalau aku nggak tahu situasi suamiku. Mana mungkin aku bisa tenang, Kak …,” rengekku mulai menangis. Tingkahku membuatnya memandangku gemas.

“Aku baik-baik saja, Sal.” Ribi membingkai kedua pipiku hingga menggembung. “Bahkan aku dapat izin malam ini untuk menjengukmu,” hiburnya.

“Pasti Kakak belum tidur semalaman, kamu pucat. Kakak sudah makan?” Aku mulai mengalihkan perhatian pada hal lain, sebab dia tak ingin membicarakan masalah dinasnya. Mungkin dengan saling memperhatikan seperti saat kami bersama biasanya, kuelus pelan pipinya yang dingin itu.

“Kakak udah biasa melek semalaman jaga, Sal.” Ribi tersenyum samar. “Sudah makan banyak malah tadi. Ada acara di pos, bakar-bakar. Sayang ada kejadian tak terduga,” sesalnya menunduk.

“Terima kasih, ya, sudah menyelamatkanku. Kakak adalah suami sekaligus malaikat bagiku,” ucapku tulus yang membuatnya memandangku lekat.

“Sekarang kamu tahu kenapa Kakak nggak bisa seenak hati ninggalin tugas. Dunia yang Kakak hadapi jauh lebih mengerikan dari bayanganmu. Biar kami yang menjalaninya, Sal. Yang penting negara damai dan aman selalu, itu adalah kebahagiaan prajurit macam kami,” kata Ribi panjang lebar.

Tanpa terasa air mataku menitik lagi hingga Ribi mengusapnya dengan ibu jarinya. “Aku ke sini itu untuk lihat senyum cerahmu, bukan nangis kayak gini. Kamu sakit apa gimana sih kok cengeng amat!”

“Mana bisa senyum kalau hatiku itu penuh luka! Mana pernah aku bahagia kalau suamiku sedang bertaruh dengan bahaya setiap harinya,” sentakku emosi.

Pandangan Ribi menajam. “Kita sama, Sal. Impas. Kamu pun beradu dengan bahaya setiap harinya. Aku pun merasakan hal yang sama.”

“Balas dendam Kakak nih!” Kutinju pelan lengannya. Ribi tersenyum tanpa suara seraya melayangkan tangannya ke pucuk rambutku.

“Senyum dong, Sayang. Subuh nanti aku harus balik ke pos. Aku mau lihat senyummu,” suruhnya pelan.

“Aku ngantuk mana bisa senyum!”

“Tuh bisa ngambek,” ganggunya. “Ya udah sini sayang aja!” Dia pun langsung mencuri dua ciuman dari bibirku. Asem ih, bisa diulang nggak?

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang