Bab 49 (Yes) Hardest Goodbye

6.7K 1K 121
                                    

Jika terlalu nyaman dengan sesuatu, sangat susah berpisah dengannya. Ribi mulai menemukan zona nyaman ngobrol denganku lewat saluran udara, sehingga susah menutup telepon. Kadang dia tak peduli jika bininya ini sudah ingin merem karena tubuh yang terasa letih luar biasa. Lama-lama aku pun juga telah terbiasa dengan perpisahan ini, sehingga hanya bertukar suara pun sudah nyaman. Mual muntah yang luar biasa lama-lama berkurang hanya karena mendengar suaranya.

Ciyeh, yang ngisi baterai HP sambil nunggu pesan doi. Itu nunggu WA apa nunggu kesetrum? Baik, aku tersindir kok kalau hatiku sudah bicara seperti itu. Lama-lama aku memang mirip cicak karena nemplok di dinding sembari nunggu doi nelepon. Itu karena belakangan aku sudah tuli sama suara dering ponsel. Entah pengaruh hamil atau apa aku gampang meleng dan semakin lemot.

Sembari mengurut kening yang nyut-nyutan, aku menunggu Kangmas nelepon. Hari ini aku super excited karena posisi Ribi bukan lagi di Timika, tapi di Makassar. Yah, dia dalam perjalanan pulang pakai Hercules bersama kawan-kawannya. Tak cuma aku yang senang, tapi seluruh elemen keluarga ini. para istri dan anak pasukan itu pun sama, menunggu kedatangan pria kesayangan masing-masing. Rencana sih nanti sore aku, Mama, dan Bu mer akan menjemput Ribi di Abdul Rahman Saleh.

Tak hanya senang, lebih kepada bersyukur karena Ribi menunaikan tugasnya dengan lancar. Kusadari banyak hal luar biasa yang dialaminya selama satgas. Entah berapa kali dia terancam bahaya. Entah berapa kali moncong senapan musuh mengintai kepalanya dan entah berapa kali dia harus bermain dengan waktu sepanjang harinya. Yang jelas sepanjang waktu 6 bulan ini, tangan Allah selalu bekerja atas hidupnya. Suamiku baik-baik saja.

Sebentar lagi, aku akan banyak mengenang dan merindukan saat-saat perpisahan kami. Sebentar lagi, yang kusentuh adalah kulit panasnya, bukan lagi gawai kotak membosankan itu. Sebentar lagi, akan ada tempatku berkeluh kesah, membagi sukacita bersama, menikmati masa kehamilan yang indah. Bukan hanya dari Samsul kotak, tapi benar-benar manusia panas bernama Lettu Ribi.

Dia akan jadi saksi bagaimana aku mengandung anaknya. Susah payah dan bahagianya aku. Saat air mataku menitik haru ketika alat USG bermain di atas perutku yang mulai menggunduk. Saat punggung dan pinggangku terasa hampir copot setiap malam, saat kuurut sendiri kedua kaki yang mulai bengkak, dan saat aku lebih cinta minyak gosok daripada minyak wangi. Sebenarnya aku itu hamil atau udah jompo sih?

"Bulan?" Bu mertua masuk ke kamar dan menyadari aku masih nemplok di dinding. Gegas aku menata sikap tubuh lebih baik karena kalau tahu suka nyender, beliau bisa ngomel. "Kamu ngapain, Nak?" tanya beliau gemas.

Aku dipapahnya duduk ke sofa empuk dekat jendela buram. Setelahnya, mantan penumpangku ini menyodorkan jus mangga ke depanku. Dengan malu aku menjawab, "Nunggu telepon Kak Ribi, Bu. Katanya baru sampai di Makassar."

"Lho," Bu Mertua terlihat kaget. "Kak Ribi sudah telepon Ibu barusan. Bilang mau terbang lagi ke Surabaya, lalu ke Malang deh. Kemungkinan sore sampai Malang."

Jantungku berdetak keras sekali mendengar penuturan ibu ayu ini. Apa maksud Kangmas memilih nelepon ibunya daripada aku? Tahukah dia aku hampir blackout gegara costplay jadi cicak barusan, woey! "Katanya, nomor Bulan nggak bisa ditelepon."

"Eng ... enggak, Bu!" bantahku pelan sembari berjalan cepat ke ambalan kecil yang menempel ke tembok. Menyambar Samsul dan memeriksa layarnya. Batagor, Bulan dodol, sambungan WIFI kupencet mati. Kapan?

Aku meringis bodoh. "WIFI-nya Bulan matikan, Bu," kataku malu. Bu Mertua gegas mencubit kecil pipiku.

"Makanya, Kak Ribi nggak bisa hubungi kamu. Tadi nanyain Bulan aja kok, udah makan belum? Kalau nanti sore nggak bisa jemput, nggak usah dipaksakan. Kak Ribi cukup dijemput Ibu dan Mama aja, gitu," jelas Bu mertua sabar.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang