Bab 24 Benarkah Ini Sandiwara?

10.2K 1.2K 233
                                    

Yang masih dibawah usia, plz tutup mata 🙈

#############################

Semalaman kuhindari Ribi. Jangan ditanya gampang apa nggak, jelas susah. Mengintip dari lubang kunci, Ribi selalu stay di depan kamarku. Bahkan, dia menaruh kursi tepat di depan kamar hanya untuk menungguku keluar. Jangan dikira aku bahagia gitu ngendon di kamar, nahan pipis itu sakit.

Gimana nggak aku masuk kamar semenjak sore sampai malam lewat Magrib. Belum mandi dan salat, antara bingung dan nggak mau keluar. Meski berulang-ulang dia mengetuk pintu, tapi aku beneran enggan membukanya. Dari bujukan sampai ancaman, semua tak kupedulikan. Kalau lapar tak usah dicemaskan, aku punya persediaan makanan di tas. Metabolisme tubuh yang nggak bisa dibohongi, aku butuh kamar mandi!

Putus asa, menjelang Isya aku keluar kamar. Untung saja si doi tak ada di rumah. Ternyata pamit ke rumah atasan karena dipanggil, isi pesannya yang baru kubaca. Untung saja Ribi pergi di saat yang tepat. Aku bisa keluar kamar untuk melakukan semua kebutuhanku, mandi dan mengambil air minum. Selepas mendirikan salat Isya, gegas aku masuk lagi ke kamar. Itu juga berlari karena mendengar sayup-sayup suara sepeda motornya.

Dari nada suaranya saat mengetuk pintu kamarku, sepertinya dia sangat cemas. Dia membujukku dengan kalem, bahkan tak segan membawakanku makanan enak. Aromanya saja mampir ke kamar. Cih, aku udah kenyang makan snack kok. Lagipula aku tak selera makan karena hatiku terombang-ambing seperti sampah banjir.

Pagi hari menjelang. Sedihnya aku melewatkan Subuh. Aku bangun jam 6 pagi karena terompet keras. Semalam baru tidur jam 1, karena Ribi mengetuk pintuku sampai putus asa. Bukannya merobohkan, lelaki itu tetap menjaga kesopanan. Mungkin takut merusak aset negara.

Jangan ditanya, mungkin telingaku sudah lengket ke pintu. Tentu untuk mengamati situasi di luar bagaimana. Sepertinya, suasana sudah sepi karena jam sudah menunjuk pukul 06.30. Pasti si Debok sudah pergi dinas. Benar, kubuktikan saat akhirnya membuka pintu kamar. Rumah kaku ini sudah sepi dan hanya tersisa aroma parfum yang kubenci itu.

“Ck, masih aja dipakai!” kutukku kesal sambil menghempas kursi makan di ruang tengah ini.

Kedua mataku mengedar ke meja makan di depan. Ada tudung saji berlapis kain putih bersih yang membuatku tergoda untuk mengintip isinya. Mataku terbelalak saat akhirnya membuka benda itu, nasi goreng bertoping ayam suwir dan sawi hijau. Ada juga jus mangga dan kimchi bawaan bu Yona. Tanganku gemetar saat membaca kertas kecil di samping gelas tinggi. Ribi orang semacam ini rupanya, masih menggunakan tulisan tangan untuk berkomunikasi.

Makan yang banyak, marah itu butuh banyak energi.”

Fine, sindiran sehalus tepung tapioka tanpa kata cinta. Membuatku bingung, ini manusia sedang memahamiku atau ikut mengomeliku? Dia ikutan marah gitukah? Lalu ngapain serepot ini meninggalkan makanan untukku? Apa pedulinya?

“Kok enak,” gumamku seraya mengunyah sesendok nasi goreng yang masih agak hangat itu. Gurih dan agak pedas.

“Sesendok lagi ah …,” ucapku keenakan seraya menggoyang lidah makin lincah. Kenapa Ribi nggak jadi koki aja sih? Dia lebih pantas megang sutil daripada jadi tentara.

Hanya butuh lima menit untuk isi piring itu berpindah ke lambungku. Mereka sukacita ngendon bersama jus mangga yang tinggal separuh. Enak, kental, dan manis. Olahan yang manusiawi semua meski diolah oleh Es Balok. Seneng juga jadi aku, meski ngambek masih dipenuhi kebutuhannya.

“Kayaknya nggak peduli, tapi kok sampai ngasih makanan,” gumamku bicara sendiri sembari mencuci piring. Meski aku malas masak, tapi aku nggak malas bebersih rumah.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang