Bab 8 Pengajuan, Foto Pranikah, Makanan Apa Itu?

8.7K 1K 213
                                    

Setelah telepon selesai, kamu kirim lokasi, Bulan!”

Kalimat Papa membuatku tersentak dan sadar akan situasi sekitar. Langsung aku membuat sikap tunduk meski beliau tidak melihatnya. Memegang ponsel yang menempel ke telinga dengan kedua tangan, lalu mengangguk-angguk. Tidak lupa membuat suara rendah meski hati dongkol bukan main. Gimana nggak, ternyata tentara es balok sedang menyeruput kopi Starbucks di sebelah tanpa menawariku.

“Iya siap, Papa!” balasku lirih.

Jangan coba-coba kabur, ya!” ancam Papa yang sama dengan beberapa menit yang lalu. Setiap menit beliau selalu mengancam hal yang sama, diulang-ulang nggak pakai bosan.

Mungkin karena aku sedang berada di tempat potensial untuk kabur, Bandara Soekarno-Hatta. Benar sekali pagi ini aku akan terbang ke Malang untuk memenuhi titah komandan tertinggi dalam hidupku, Papa. Menanggalkan pekerjaan, terbang ke Aussie, demi Papa seorang. Meski diomeli atasan dan diancam sanksi bayar denda, aku tetap tersenyum miris. Semua demi bakti pada orang tua.

Mengenaskan.

Semua kutinggalkan termasuk pikiran gila meminta tolong pada mantan. Ah, please! Ngapain juga aku mikirin cowok mesum macam Razka. Di kontak ponselku saja dia ketulis “jangan dibalas!”, lah bukan gitu kenapa dia masih berani betul hubungi aku, woey! Mungkin mukanya udah ditaruh di telapak kaki. Lupa apa kami pisah karena apa, dia ketahuan sayang-sayangan sama Erena, pramugari junior di maskapai sebelah.

Plus, modusin kakak terlaknatku, Nyai Bintang. Doh!

Nggak perlu bukti, lhawong aku saksi matanya. Edan itu manusia, tapi kok masih selamat. Cuma kena sanksi ringan, nggak boleh terbang dua bulan habis itu dia resign dari INA Air pindah ke maskapai burung biru. Nggak cuma itu, dia juga pindah dari hatiku. Masuk kotak hitam nggak perlu dibahas lagi. Nah, terus ngapain dia tiba-tiba mengirimiku WA senista itu?

Di saat aku butuh pertolongan pula! Seperti saat ini, aku haus bandel karena menunggu sejak pagi. Mau melawan kok nggak bisa. Hei, Pak Es Balok, penerbangan masih jam 9 kenapa Anda mengajak saya menunggu sejak jam 7? Mau ngapain ngetem di bandara 2 jam?

Mau pergi cari minum aja nggak bisa, Pak Hasan kerahin beberapa om berseragam untuk mengawasi pergerakanku. Mungkin juga atas saran Papa, hadeuh! Please, aku bukan buronan kelas hiu. Mereka kira aku bakalan terbang kabur semudah itu karena aku pramugari? Nggak gitu konsepnya, Ngab.

“Ndan, aku cari minum, ya?” pintaku berusaha mengajaknya bicara. Namun, pria yang sedang memangku setumpuk berkas ini hanya melirikku sedikit.

“Bilang sama Nugroho, pesan apa?” Ribi hanya menunjuk Prada Nugroho yang berada 5 meter dari kami dengan dagu lancipnya. Tanpa menoleh atau menganggapku seperti calon istrinya, dia amat cuek bebek.

“Nggak enak ah, Kak …,” ucapku mendadak kaku. Salah panggil, Dodol! “Eng … Danton maksudnya.”

Dia menoleh dan memandangku lurus. Jejaka yang sedang berseragam loreng ini seperti hendak mengeluarkan titah paduka raja. Seriusan asli, setiap gerak-geriknya itu kok horor, ya? Berasa mau ngomel atau ngamuk gitulah. “Kayaknya saya harus tegaskan hubungan kita seperti apa, ya!”

“Ap – apa?”

Ribi mengubah posisi tubuhnya menjadi lebih dekat denganku. Wajah bersihnya itu dibuat seserius mungkin seperti akan membocorkan rahasia negara. “Bentuk hubungan kita seperti atasan dan anak buah. Saya danton dan kamu prajurit. Jangan coba-coba salah manggil seperti tadi kalau kamu nggak pengen saya tindak. Jelas!”

“Heh … cuma salah ngomong …,” bantahku lirih, tapi dia makin mengeraskan wajahnya.

“Ini perintah! Jelas?” ucapnya mirip Papa saat memarahi anggotanya. Seriusan dia sekaku itu sama cewek, woeyyy!

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang