Bab 30 Halo, Jekardah!

7.7K 1.1K 318
                                    

Oh wauw, sudah bab 30! Nggak terasa sekaliiii, bukan??

😝😝😝😝😝

Selamat membaca dan maaf ya belum sempat balas semua komentar Temans² 😘😘😘

#################

Salwabulan POV

INA Air dengan nomor penerbangan IA 677 sedang cruising di atas ketinggian 41.000 kaki. Jam 20.00 waktu setempat, aku bertugas di kabin ekonomi pesawat Airbus A320 yang akan membawaku ke Jakarta. Tanpa terasa hampir satu jam kami meninggalkan tanah Bangkok untuk menjelajah gelapnya langit. Captain Bagus Edwin akan membawa kami sampai di Jakarta dalam kurun waktu 2 jam 45 menit lagi.

Sejenak membuat senyumku terulas karena sebentar lagi akan say hello pada kota lama penuh kenangan itu. Halo Jekardah, how are you, Darling?

Pasti tetap seperti itu saja, macet dan padat. Tapi di sanalah mertuaku tinggal. Otomatis, nanti aku pasti mampir barang setengah hari ke rumah Ibu sebelum aku kembali ke base di SUB. Yes, perjalanan masih panjang.

Realita pekerja udara adalah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk terombang-ambing di angkernya langit. Sampai lupa kadang, kapan terakhir kali aku menyesap air Surabaya, apalagi Malang! Yaps, ternyata sudah seminggu aku tak menikmati oksigen Malang.

Minggu pekan lalu aku berangkat ke Jepang, RON di sana selama 48 jam sebelum akhirnya terbang lagi. Melayani rute yang amat panjang saat ini, Tokyo-transit Thailand-Jakarta-Surabaya. Untuk itulah aku dapat libur tiga hari sebelum terbang lagi ke Jayapura dan Manado. Kejar setoran! Jadwal padat, ya, Bundah? Kapan melepas rindunya?

Astaga, aku bahkan lupa jika sudah bersuami. Bahkan sekarang ada yang merindukanku sampai ngambek berat. Rindu itu sanggup mengubahnya dari es balok ke tukang manyun dan ngambek. Sedang apa Kangmas Ribi di Jakarta sana. Iya, bukankah dia bilang akan menjemput dan menemuiku? Kami sudah janjian sejak tiga minggu yang lalu yes.

Nggak cuma itu, tiga minggu yang lalu aku juga menjalani rute ini. Yah, yang aku berantem sama Bintang di Jepang itu lho! Wew, serius deh semenjak nikah kehidupanku berubah. Lebih sering terbang ke LN, jarak jauh pula. Dan juga pertama kali aku bertengkar dengan Bintang secara gamblang di luar negeri pula. Sebuah metamorfosis yang wow, ya, Bundah?

Nggak-nggak, sebenarnya rute ini jatuh ke tanganku karena aku harus menggantikan Mbak Hera yang tiba-tiba sakit keras di hari penerbangan. Kuambil begitu saja meski rutenya panjang karena bakalan mampir ke Jakartanya itu lho. Masih ingat nggak tiga minggu yang lalu aku bingung gimana caranya ketemu Ribi di Jakarta karena jadwalku saat itu off-duty!

Lumayan dapat tambahan fee meski migrain dikit, ya, Bundah? Lumayanlah uang fee yang kepotong denda itu bisa buat beli koyok cabe, ditempelin di punggung yang mau lepas. Bolehlah dibagi dua sama Papa yang spaneng saban meneleponku. Beliau ngomel sepanjang dupa klenteng karena aku tak kunjung hamil. Gimana bisa halim perdanakusumah kalau aku itu sibuk terbang. Nggak sempet tinjau benih nich.

Duh, omelan Papa semulus ketek Song Joong-Ki. Setipe dengan nada suara Ibu Bapak saat meneleponku. Berasa ikut sidang kasus korupsi saban nerima panggilan konferensi dari Papa Mama, Bapak Ibu, dan Ribi. Mereka menyesal karena membiarkanku kerja, apalagi setelah tahu kiprah INA Air yang makin bombastis.

“Doh, capek,” keluhku tanpa sadar sembari menepuk-nepuk pundak dengan gulungan tangan.

Jam 20.20 waktu setempat, sejam 20 menit setelah lepas landas tugasku akan dimulai. Membagikan makanan ringan dan makan malam kepada para penumpang tercinto. Bertugas dengan Mbak Terry dari row depan sampai ke tengah, menggenapi tugas Rosi dan Hesti yang nugas dari row belakang sampai ke tengah. Mendorong troli dengan hati-hati, tak lupa menuang air bening ke gelas plastik.

Untung kondisi dilaporkan cerah sehingga kemungkinan penerbangan ini tidak menemui awan CB atau turbulensi hebat. Membuatku leluasa nugas dan menyelesaikan dengan baik. Seriusan, aku cuma pengen ngendon di jumpseat karena mulai letih. Bosan terbang, telinga mulai sakit.

Tak sabar pula mencicipi stik ayam dan mashed potato sekaligus mengemas sisa cinnamon roll favorit Ribi. Seriusan deh, Ribi dan tong sampah itu tak ada bedanya. Bahagia banget menampung sisa makanan yang masih layak cap bakery-nya INA Air. Hadeuh, aku kangen lagi, ‘kan. Wajah gantengnya terbayang terus gimana, mana ada pak tentara yang duduk di row 5C. Mungkin dari urusan dinas di Thailand, bisa jadi.

Namun, pikiran ngambangku mendadak pecah saat sampai di seat 9DEF. Seseorang yang duduk di seat 9F window seat adalah manusia yang kukenali. Dia layaknya Alula yang bisa muncul di mana saja. Tiga minggu yang lalu kami ketemu dan berantem di Jepang, sekarang dia naik pesawat maskapaiku dong.

Bintang Aurora Salim, apa yang terjadi pada otakmu? Di mana akal sehatmu sehingga memilih naik INA Air saat kamu adalah pramugari Qatar Airways? Are you crazy? Kurasa ya, dia sangat gila! Apalagi dia melempariku dengan senyum sinis, apa maksudnya?

“Permisi, Ibu. Mau stik ayam atau spaghetti carbonara with prawn?” tawarku pelan pada si pemilik senyum judes itu.

Tapi si Judes hanya melirikku dingin. “No, thanks. Kalau ada saya minta wine saja!”

“Mohon maaf, Ibu. Kami tidak menyediakan itu di penerbangan ini,” jawabku sopan. Sementara itu, seniorku masih sibuk di baris sebelah.

Serius deh, Bintang menghambat tugasku kali ini. Nyeleneh betul permintaannya, wine? Dia mau mabuk-mabukan apa gimana sih? Dia kira ini rute internasional yang bule banget gitukah? Halo, ini menuju Indonesia by the way! Dia minta dirutuki batu kali, ya?

“Silakan dinner dan snack-nya.” Tanganku sedikit gemetar saat memberinya kotak makan. Spaghetti carbonara kuberikan paksa ke atas meja kecil di depannya itu. Doamat, aku cuma pengen tugasku selesai sudah.

“Hei, saya nggak mau!” tolaknya ngotot tak ketinggalan dengan mata judesnya.

Sabar, Bulan! Kamu lagi on duty dan dia sedang berusaha mengacaukan kariermu. Rupanya ancamannya tempo lalu mau diwujudkan dalam bentuk perusakan karierku? Oh, rupanya dia tak mau kesepian sendiri. Dasar egois! Kenapa sih aku bisa berurusan dengan manusia tengik ini?

“Ada apa?” bisik Mbak Terry dengan mata menelisik penasaran. Raut mukanya kemudian berubah saat melihat seat 9F. “Pst, bukannya itu kakak?”

“Iya, Mbak,” jawabku pendek dan pelan.

“Mohon maaf, Mbak Bintang, mungkin ada yang bisa dibantu lagi?” Mbak Terry berusaha menengahi dengan sikap yang lebih netral dariku. Dia menunjuk kotak jus tomat dengan sopan. “Mungkin jus tomat?”

“Baik, tapi saya minta dia yang menuangkannya ke gelas!” tunjuk Bintang kurang ajar tepat di depan mukaku. Jadi gini, dia duduk di lajur ini sendirian. Sehingga bisa leluasa menjulurkan badan ke tempatku berdiri.

“Sekaligus saya ingin ngobrol dengannya setelah selesai tugas,” imbuh Bintang seenak hatinya.

“Maaf tidak bisa,” jawabku tegas walau berbalut senyuman. “Tidak ada yang perlu kita bicarakan, Mbak,” pungkasku sembari menatap Mbak Terry. Masih banyak row yang harus kami bagikan makanan. Aku menghindar malas.

“Jus tomat, setengah gelas tepat!” perintah Bintang menjeda langkahku.

Kutahan geram dan napas yang dapat memicu hulu ledak amarah ini. Sembari melirik sekilas Mbak Terry, kubuka tutup kotak jus. Gelas dan tatakan kusiapkan untuk paduka Nyai Bintang. Berusaha profesional meski dalam otak sudah ingin menjambak rambutnya.

“Silakan, Mbak,” kataku sembari meletakkan gelas jus ke meja kecil di depannya.

And, aku nggak mau ini!” Bintang menyodorkan kasar kotak makanan ke depan hidungku. Dasar nggak sopan, pengen kali kumasukkan mesin Pratt and Whitney PW6000 yang sedang menderu berisik itu.

“Baik!” jawabku pendek, menahan emosi sumpah.

Pyur! “Aw!” Suara tumpahan benda cair yang diikuti pekikan singkat kembali membuatku memandang Bintang. Wow, apa yang dia lakukan pada coat putih tulang itu? Sejak kapan bermotif abstrak khas tumpahan jus buah?

“Aduh, apa-apaan sih kamu, Mbak! Hati-hati dong kerjanya, gara-gara kamu ngambil kotak nggak hati-hati, jusnya tumpah ke baju saya!” protes Bintang yang membuatku melongo.

Tunggu sebentar, dia lagi membuat sandiwara untuk menjebakku apa gimana? Mentang-mentang Mbak Terry fokus pada baris belakang, dia menjebakku. Berkata bahwa aku menarik kasar kotak makanan dan membuat gelas jus tumpah ke bajunya. Wow, ini sungguh mem-bagong-kan sekalee. Minta dilakban itu mulut tak berengsel rupanya.

“Jangan fitnah, ya, Mbak!” balasku tak terima.

Namun, bukan Bintang namanya kalau nggak pandai akting dan nyari muka. Dia mendesis sekaligus merintih sedih sembari mengusap-usap mantelnya dengan tisu. “Duh, pasti nggak bisa hilang. Gimana sih, Mbak? Sensi amat sama saya dari tadi!” keluhnya lagi.

Aku makin melongo dengan kedua tangan yang meremas badan troli kuat-kuat. “Saya nggak numpahin, Mbak! Jangan fitnah!” balasku mulai lupa diri.

Kalau Mbak Terry nggak berdehem mungkin kesadaranku nggak kembali ke tempat. “Mohon maaf atas ketidaknyamannya, Ibu. Boleh kami pinjam mantelnya, mungkin bisa dibersihkan di lavatory,” pintanya sopan. Sesekali melirikku tajam.

“Mbak, sumpah, aku nggak numpahin jus ke dia,” belaku pelan, menurunkan suara karena para pax tercinto mulai memusatkan perhatian pada kami. Ya iyalah, adegan ini terlalu kentara keleus. Doh.

Baik, lawakan yang sangat lucuk sekali, ya? Inginku ngakak sambil nyekik lehernya Bintang!

“Jelaskan nanti, Dik! Yang penting bagikan makanan dan selesaikan dengan 9F!” bisik Mbak Terry sekaligus titah barunya. Sial, hari ini kenapa sih?

Nggak bisa, ya, aku tenang barang sehari aja? Berhari-hari aku sudah gelisah akibat disiksa rindu. Di hari kepulangan dan pertemuan dengan jantung hati pun aku masih harus disiksa. Sepertinya Bintang menjadi tokoh antagonis bagi ceritaku. Dia terbuat dari apa sih, tanah sawah kali, ya?

Tarik napas, hembuskan! Gulat Bintang dalam benakmu saja, Bulan! Jangan merusak hari ini terlalu parah! Ingat kamu masih punya masa depan dan kebahagiaan tanpa Bintang. Namanya manusia sirik itu selalu ada, anggap saja Bintang salah satunya. Dia bagaikan sky dancer di tepi jalan. Menarik, tapi nggak berguna apa-apa buat manusia.

Gegas kuselesaikan serving makanan dengan hati tak tenang karena masih ada ganjalan di hati. Mungkin aku itu terlalu naif karena bertanggung jawab untuk sesuatu yang tidak kulakukan. Sudahlah, serah! Aku udah capek, dan sebisa mungkin menghindari problem apa-apa. Daripada aku nangis terus minta turun di sini lho, capek akutuh sumpah!

Setelah serving, aku melipir lagi ke kursi Bintang lagi. Duduk di sebelahnya yang kosong sembari menata sikap sebaik mungkin. Maksud hati ingin meminta mantel putihnya itu untuk kubersihkan sebisanya. Tapi apa daya dia malah memandangku nista. Oh, memang nggak perlu dikasih hati ini manusia.

“Apa maumu?” sapaku tak terdengar manis.

“Suka-suka akulah mau naik maskapai apa. Maskapaimu ini yang termurah di rutenya, makanya aku ambil,” jawabnya santai.

Sejak kapan dia mulai memikirkan uang? Aku mulai curiga dengan keamisan sikapnya. Nggak mungkin pegawai yang baru beberapa bulan masuk maskapai baru sudah diizinkan pulang ke negara asalnya? Hayoloh, ada apa denganmu, Bintang? Jangan-jangan kepergiannya ke Qatar itu cuma akal-akalan! Termasuk jadi pramugari Qatar itu cuma kehaluan dia doang!

“Apa pun tujuanmu berbuat ini, suka-suka ajalah, Kak! Sini mantelmu, kalau bisa bersih kukembalikan. Kalau nggak bisa nanti kubelikan yang baru, sekalian membeli mulutmu!” bisikku sembari melirik kanan dan kiri. Takut senior atau Purser tiba-tiba lewat, ‘kan?

Serius, aku nggak mau dapat teguran, apalagi sorot mata Mbak Terry tadi nggak seenak tempe mendoan. Masam. “Buruan, cepat!”

“Harganya 1900$, bisa beli?” tanyanya angkuh.

“Udahlah, lelet! Lepas!” desakku mulai tak sabar.

Bintang melepas mantel dan melemparnya ke pangkuanku. Kekurangajaran itu membuatku menelisik wajah sampingnya. “Kok kamu bisa di sini? Kena sambet apaan sampai mau naik maskapai yang kamu hina, hah?”

“Yang sopan kamu sama penumpang, ya!” balasnya sengit.

“Sopan?” Aku tertawa kecil. “Lalu fitnahanmu tadi itu sopan? Kamu harus bayar mahal semua ini, Mbak!”

“Berapa, apa harga seorang Ribi itu cukup?” tanyanya semakin kurang ajar.

Kuremas keras pergelangan tangan kecilnya dan menimbulkan desisan kesakitan dari gadis gurem ayam ini. “Jangan sentuh suamiku, Mbak! Aku bisa menjambak kalau kamu menjambak. Aku bisa menyirammu dengan air kalau kamu menyakitiku. Aku bisa bicara jika kamu mendesakku. Intinya, aku adalah orang yang tak bisa kamu remehkan!” tegasku tajam di sela berisiknya mesin Airbus ini.

Bintang hanya mendesis tak suka, tentu saja menolak mentah-mentah ancamanku barusan. Matanya itu justru semakin melotot dan dengan gerakan cepat dia menyambar botol air mineral tanpa tutup di meja kecil di hadapannya. Sudah kudugong dia suka main kasar, hendak menyiramku dengan benda cair itu. Oh, tidak bisa, aku berkelit dengan lincah dan membuat tangan laknatnya itu membasahi sandaran kursi di belakangku.

“Diam kamu!”

“Kamu yang diam!” balasku sengit dengan gigi terkatup. Layaknya aktris ventrilokuisme, aku berusaha bicara tanpa menggerakkan bibir karena takut diamuk Purser yang sudah melirik dari galley depan.

Benar saja, merasa ada yang amis, beliau langsung mendatangiku dan Bintang. Gegas kulepas remasan di tangan putihnya itu. Bintang mendesis sembari mengusap-usap bekas kekuatan 10 jariku. Dia melengos kesal ke arah pekatnya langit malam dari jendela kecil di tepinya. Sedangkan aku menata sikap seolah tak terjadi apa-apa, padahal belakang kursiku sudah basah.

“Mohon maaf, Ibu. Apakah masalah yang ditimbulkan awak kabin kami sudah diselesaikan dengan baik? Kami tahu Ibu adalah awak kabin juga. Pasti Ibu juga memahami bagaimana pekerjaan kami.” Bu Puspa berusaha menengahi situasi dengan menanyai Bintang.

Namun, pramugari sombong ini hanya mengendikkan bahu cuek. Sembari menatap datar Bu Puspa, dia berkata. “Sikap awak kabin Ibu ini sungguh luar biasa. Dia meremas tangan saya, dan … air ini ….”

“Bohong, Bu! Sumpah, dia yang hendak menyiram saya duluan!” belaku sedikit menaikkan suara. Kembali sadar saat bu Puspa menegaskan sedikit matanya padaku. Sial, aku beneran sesial itu!

Purser-ku ini kemudian tersenyum bijak. “Sekali lagi kami mohon maaf atas ketidaknyamannya, Ibu. Namun, kalau boleh saya sarankan, lain kali tolaklah dengan baik pemberian awak kami. Ibu pasti paham rasanya diperlakukan seperti Mbak Bulan,” ujar Bu Puspa mengandung kebajikan.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang