Bab 9 Pengajuan? Aku Lebih Milih Makan

8.2K 1K 226
                                    

Disclaimer:
Saya kurang info dengan pengajuan masa kini. Karena saya penganut proses jadul, ehehe. Gambaran proses pengajuan nikah di bab ini saya sesuaikan dengan hasil browsing dan imajinasi dengan semirip mungkin. Ada beberapa hal yang sensitif dan saya harap Temans bijak membaca dan menanggapinya. Jangan bertanya secara detail apa yang saya sajikan di sini, karena jawaban saya pun tetap terbatas. Kalau mau gamblang, DM saja, hokay 🥰

Harap maklum and be a wish!

Selamat membaca dan entah apakah terbaca dengan sempurna mengingat jaringan internet di tempat saya lagi trouble, mungkin di beberapa kota di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan juga 🥲🥲😂😂
============================

Setelah mondar-mandir sibuk berdua ke mana-mana dari siang, akhirnya pemberhentian kami sampai juga di sebuah studio foto. Sepersekian detik aku melongo bingung di parkiran, mikir nih manusia kutub mau ngapain lagi? Nggak ada lelahnya dia menahanku untuk terus ada di sisinya termasuk saat memesan paket foto di Mbak-mbak studio. Foto pranikah.

Foto pranikah itu foto prewedd, ‘kan? Lhakok sekarang malah kami berhenti di studio foto? Bukannya kalau foto menjelang nikah itu sewa fotografer, latarnya pakai tank kek, lapangan kek, hutan kek. Lah ini di studio. Dia nggak mungkin mikirin konsep zadul itu, ‘kan? Iya yang foto biasa di studio terus dicetak besar, masukin pigura dan dipajang di ruang tamu. Oh no, kuno banget sih ni manusia!

Kami nggak mungkin foto gandeng ngadep ke kamera. Cekrek langsung cetak gitu, ‘kan? Jangan bilang iya, oh aku tidak mau mendengarnya! Sudah ke mana-mana bayanganku ternyata kok begini, doh!

“Kita nggak mungkin foto resmi gitu doang, ‘kan, Ndan?” tanyaku berharap cemas.

“Iya memang. Foto gandeng latar biru buat pengajuan. Kali ini saya minta foto langsung karena yang buat pengajuan itu editan pakai photoshop,” jawabnya jelas yang kontan membuatku ingat tempelan foto di setumpuk berkas itu.

Astoge, badannya bukan punyaku. Wajahnya pakai fotoku yang entah diambil dari mana. Namun, pasti kerjaan tangan Papa Mama. Terniat dong dalam memaksaku menikah dengan Es Balok ini. Maka dari itu, sekarang dia mengajakku foto ulang dengan situasi yang bener.

“Emang apa bedanya sih? Toh yang berlaku juga foto jelek itu,” cibirku sambil merapikan lipitan rok yang berantakan karena naik motor barusan, menerjang gelapnya mendung Kota Malang.

“Memang kamu mau foto KTA dan KPI Persit pakai foto kayak gitu?” Ribi merapikan kerah seragamnya yang juga kusut kena angin. Wajahnya yang cuek itu fokus pada kaca kecil di depannya.

“Terus setelah ini nggak foto lagi?” Cihuy, aku mulai ngarep pada pernikahan ini, huek.

Ribi menggeleng dingin. “Saya nggak mau foto sama perempuan yang belum resmi. Kalau nggak jadi bisa trauma. Ini foto demi kepentingan pengajuan, jadi aman,” jawabnya sinis.

Aku menyeringai ilfeel. “Perasaan kita bentar lagi nikah deh, Ndan.”

“Bentar lagi, memang kamu tahu kapan?” Aku mulai mikir, memang pernikahan bodoh ini kapan sih? Lha kok aku malah gagal fokus gegara wajahnya, ups.

Maaf, mungkin karena isi otakku terlalu lelah. Perubahan hidupku terlalu njomplang sehingga aku tidak siap. Terjengkang dengan sempurna ke dalam kekacauan akibat Bintang. Andaikan saja bisa mencoret nama Bintang dari KK, tapi dia udah bisa dikatakan mapan untuk hidup sendiri. Doh, kenapa sih kakakku Bintang? Merepotkan sekali.

“Silakan Mbak dan Mas,” Mbak fotografer masuk ke bilik bertirai tinggi sembari mengalungi kamera. Gerakannya sigap, profesional karena studio foto ini terkenal di kota Malang.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang