Bab 19 Perpisahan Pertama

8.8K 1.1K 396
                                    

Hari ini tanggal 16 Februari, usiaku sudah bertambah menjadi 22 tahun 15 hari. Di usia semuda ini aku telah 4 hari jadi Nyonya Iqbal Darmawan Al-Magribi – lelaki yang entah berasal dari mana itu. Menurutku, 4 hari ini serasa 4 abad karena hari-hari berjalan amat lambat. Namun, kalau dihitung-hitung hidupku sudah berubah pesat. Banyak yang terjadi.

Jemari yang tidak polos lagi. Beberapa perhiasan bahkan sudah tersemat di pergelangan tangan dan leher jenjangku. Karena mas kawin, maka dia menyuruhku memakai semua ini. Aslinya ogah, ribet berasa toko emas berjalan. Di tembok rumah dinasnya itu juga sudah tertempel pigura berisi uang 12 juta yang dibentuk-bentuk lambang Eka Paksi.

Dia tak mengizinkanku memakainya, aku malah diberi ATM debet yang akan ditransfer gajinya saban bulan. Nanti kalau butuh baru dibongkar uang di pigura itu, doh! Antara seneng dan heran, ngapain sih repot amat biayain hidupku. Toh, aku bakalan jarang serumah dengannya. Berhubung ngomong sama Ribi itu searah, jadi percuma aku protes.

Mendingan hening dan berangkat ke Jakarta dengan bahagia. Anehnya, dia tak melepasku dengan air mata. Ya ngapain juga dia nangis-nangis di depan pintu masuk Bandara Abdul Rahman Saleh, kondisi berseragam pula! Makhluk Mars itu hanya diam meski aku ingin berkontak mata dengannya. Ribi memandangku datar sembari memeluk kedua tangannya ke dada. Nggak pakai senyum apalagi pelukan.

“Dasar suami abal-abal!” gerutuku sambil berdecak sebal.

Dia tak peduli, aku apalagi! Ah, sudahlah percuma berharap indah pada pernikahan ini. Aku takkan bisa mengubah struktur es balok menjadi es serut apalagi es campur. Seharusnya aku bahagia karena dia melepasku semudah ini. Artinya, aku bisa kembali hidup normal. Bekerja, menyapa langit, dan dapat fee jutaan.

Senyum berkembangku mengkerut saat ponsel ini bergetar dari dalam tas. Gegas aku mengambilnya, mungkin dari orang penting. Gimana juga aku akan menghadap manajer operasional sebentar lagi. Menghadapi sanksi dan sejenisnya, itulah. Hadeuh, kuciwa karena pesan barusan dari nomor tak bernama. Ribi, yang belum kusimpan nomornya.

From: 081333252xxx
Saya tidak mau menjadi lelaki tega dengan meletakkan semua kesalahan di kamu, Sal. Jaga dirimu baik-baik, jangan lupa urus kepindahan base. Saya kasih waktu dua hari. Jangan sampai matikan ponsel atau data seluler apalagi ganti nomor. Akan saya cari sampai ujung dunia sekalipun kalau kamu sampai kabur.

Menelan ludah seret. Bener-bener something pria beraroma rockrose dan cedarwood itu. Lagaknya udah rasa suami beneran gitulah, padahal melepasku selayaknya orang asing. Serius, nggak ada adegan pelukan atau ciuman good bye gitu. Adanya cuma cium punggung tangannya, udah. Udahlah, nggak ngarep juga sih aku. Hadeuh, ngapain aku jadi ngarep sih?

To: 081333252xxx
Okay, sip.

Cukup balas begitu saja. Ngapain manis-manis segala. Nanti diabet bisa gawat. Nggak ada kata “manis” antara aku dan Ribi. Adanya berantem dan berantem. Belum selesai kekesalan, masuk lagi sebuah getaran. Perasaan manusia itu rajin amat sih nge-Whatsapp aku? Kayak nggak ada kontak lain, uwow, dia pakai foto profil baru! Foto nikahan kami, ughh.

From: 081333252xxx
Kalau ada waktu, mampir di rumah Ibu. Biar kamu bisa belajar masak dan nggak mikir rendang dalam bentuk instan alias mi.

Mak glek! Disindir aja terus, Ngab. Lupakan apa itu rayuan atau sun sayang. Hadeuh, mungkin loreng satu ini memang penyambung lidah mertua, ya? Ceriwisnya itu lho ngeselin nggak sih? Dari semalam hening sekali setelah mengangkatku ke kamar, ya, dia cuma memindahkanku ke kamar aja kok. Nggak ada adegan buka-bukaan karena emang Ribi itu nggak doyan cewek, eh!

Syukurlah, aku nggak jadi histeris selama 9 bulan ke depan. Fyuh ….

Namun, ngemeng-ngemeng. Setelah melakukan aksi tidak senonoh semalam, paginya dia tak berkata apa pun. Seolah Ribi cuma memindahkan karung beras udah. Andai dia tahu, pagi-pagi betul aku bangun dengan hati berkembang-kembang karena bekas sentuhannya masih tercium wangi di tengkuk dan lekukan kakiku. Ah, manusia itu mandi parfum rupanya. Aku jadi demen, ‘kan?

Lagi dan lagi, aku salah ambil sikap. “Ya udahlah, WA sama kamu bikin aku bego!” putusku langsung memasukkan ponsel ke dalam tas lagi. Oh iya, lupa nggak mode penerbangan. Ambil lagi!

Mataku lagi-lagi terbelalak kaget saat sebuah pesan masuk ke layar sesaat sebelum aku memindah mode penerbangan. Dari manusia yang tidak boleh kubalas pesannya alias kutu kupret bernama Razka. Pulsa dia banjir kayaknya, rajin banget SMS aku karena WA sudah kublokir. Yeaps, mari kita tengok dia nggombal apa!

From: Garuda_Captain Razka (Jgn Dibalas!)
Pagi-pagi dapat kabar buruk dari Mbak Ina, bener kamu udah nikah sama tentara? Bulan beneran udah nikahkah? Aku harap itu salah, ya. Razka masih sayang sama Bulan.

Najis, Paris, cuih! Ngapain sih Masnya? Ngapain sih kamu, Kutuuu? Halu apa delusi sih dia nih? Nggak nyadar apa dia udah seenak udelnya ngomong gitu ke aku. Yuk gelut aja yuk! Udah nggak kuat aku nahan emosi. Dari kemarin pengen gebukin or bakar kepalanya orang. Sumpah, aku mulai jenuh dengan para pria tengik ini! Siapa yang ninggal, siapa yang pengen balikan!

“Mau kubakar, kasihan HP-nya. Baru beli dua bulan yang lalu,” sesalku sembari menatap ponsel setengah hati. Akhirnya, kumatikan ponsel laknat ini. Seperti biasa, tanggalkan semua masalah di darat aja.

Hanya bisa menghela napas panjang saat INA Air tujuan Malang-Jakarta ini mulai mengangkat pantat besinya. Akhirnya, pukul 8 pagi aku take-off menuju Jakarta. Kutinggalkan kota dingin yang membuatku sesak selama beberapa hari ini. Kurasa tak ada yang perlu kuingat belakangan ini.

Namun, jika melirik rangkaian bunga edelweiss yang menyembul dari tas di sampingku ini rasa-rasanya banyak yang terjadi hari itu. Ya, banyak hal yang tidak bisa kulupakan begitu saja. Hari di mana Ribi menunjukkan rasa pedulinya itu masih terekam jelas. Bagaimana dia bisa mulai memikirkan kebahagiaanku, itu hal yang langka. Ada yang terjadi kemarin itu.

Kami memandang purnama di langit dan tempat yang sama. Kami menjalani pergantian musim bersama. Musim penghujan yang telah berganti musim panas. Seperti rasa di hatiku yang berganti rasa yang beda. Mungkinkah rasa di hatinya juga sama. Seorang Es Balok Kulkas Ikan 4 pintu itu takkan menunjukkan welas asihnya tanpa alasan. Sayang, dia masih terlalu rapat menutup hatinya.

Kayaknya semua gegara Mbak Kowad bersenyum lembut bernama Alula itu. Hal apa yang dia lakukan pada Ribi sehingga pria itu trauma berat sama yang namanya wanita? Mungkinkah keanehan isi kepala Ribi gegara Alula? Andaikan aku bisa terbang di langit hati Ribi untuk membaca hal apa yang terjadi. Hadeuh, sekurang kerjaan itu aku!

“Ngapain sih aku mikirin dia!” kutukku pada diri sendiri sembari meminum cepat-cepat jus tomat stoberi andalan maskapaiku ini.

Kukipas sendiri wajah yang tiba-tiba panas padahal udara dingin AC menyembur kepalaku dari atas. Aneh sekali, hatiku sakit saat mengingat kalimat terakhir Ribi. “Jaga dirimu baik-baik, di mana pun kamu terbang”, itu bukan kalimat yang sederhana. Bagiku itu adalah doa yang tulus.

Keselamatan adalah hal yang kujaga di mana saja aku berada. Keselamatan seperti guling yang kupeluk saat tidur, harus dan selalu penting. Seorang Ribi yang dingin pada wanita mau mendoakan keselamatanku, itu ada apa? Mendadak mataku berembun. Dia tidak seburuk itu.

Membosankan, kaku, dan dingin memang ciri khas Ribi. Namun, dia tidak jahat. Ribi hanya tidak pandai menghadapi wanita. Itu alasan sikapnya begitu labil saat menghadapiku, sebentar baik lalu jahat. Jelas, dia berbeda dengan Razka yang seorang buaya karatan. Cara bicara dan pembawaan mereka saja beda, dan aku tidak usah membandingkannya.

“Bagaimana pula ini perpisahan pertama kita. Gimana bisa kamu melepas istrimu seperti melepas hajat di pagi hari? Cepat selesai, tanpa ekspresi, justru lega. Apa artinya aku sih?” gumamku bodoh, melambungkan angan ke mana-mana. Aku galau, Guys. Berharap diperhatikan sama suami, tapi nggak terlalu berharap juga.

‘Kan, bego.

“Kamu lagi apa, ya? Pasti udah balik ke asrama dan bersihkan semua jejakku. Kamu benci aku, ‘kan?” gumamku semakin bodoh dengan melukis nama Ribi di jendela kecil di sampingku. Dear Pak Pilot, kasih aku awan CB biar nggak semakin edan otakku ini!

Dear waktu, berjalanlah secepat bayangan! Kenangan tentang kota Malang, Bromo, dan pernikahanku itu mulai menyiksa. Aku ingin kembali ke kehidupan sebelum kenal dan ketemu Ribi. Sungguh, aku menyesal telah bertemu dengannya. Benar, kehidupanku telah rusak.

Berbeda dengan Bintang yang sekarang sudah hidup bebas di luar negeri. Ya, kehidupannya sangat bahagia dan bersinar seperti namanya. Dia hidup di mes pramugari yang mewah di Qatar. Memakai seragam yang cantik dan riasan yang mewah. Barang-barangnya branded dan serba mahal. Seperti kucing jantan yang lupa akan anak-anaknya. Dia tak ingat Papa Mama apalagi aku.

Mungkin ini definisi bahagia di atas penderitaan orang. Bahagia meski dikutuk banyak orang, cuma aku sih. Papa Mama sudah ikhlas, terbukti dari nada kalimat Mama kemarin saat tak sengaja menyebut namanya. Matanya cerah karena semua dianggap menemukan kebahagiaan masing-masing. Mama melompati aku. Memang akunya saja yang bodoh dengan membuka medsos Bintang.

Wajahnya semakin berseliweran di fanpage-fanpage pramugari dan airlines. Dia dipuja-puji akibat membawa nama Indonesia di kancah penerbangan internasional. Penduduk +62 gampang overproud, ‘kan? Bintang bahkan diwawancara salah satu youtuber terkenal. Gila, edan, kenapa pula aku malah menikmati pamerannya? Yang ada aku malah terseok, kesakitan menangisi kehancuran hidupku.

Andai semua tahu, senyumnya Bintang berada di atas tangisku. Tangis sedihku yang termangu di tepi konveyor pengambilan bagasi. Gara-gara sibuk mengutuki nasib, aku tak sadar bahwa jam 10 siang paru-paruku sudah menghirup oksigen ibukota. Sesampainya di Jakarta, bukannya gegas menghadap bu manajer, aku malah menangis sedih dan jadi konsumsi banyak orang.

Hanya kuseka air mata dengan punggung tangan sendiri sebab punya suami, tapi nggak berguna. Kupandangi tubuh tinggiku di pantulan pilar besi yang mengkilap itu, cantik dalam balutan maxy dress bunga-bunga warna jingga. Sederhana dengan balutan jaket rajut warna krem dan rambut yang digerai bebas. Penampilan masih mirip gadis meski sudah jadi ibu Persit. Tidak, onderdil pun masih ting-ting karena suami nggak doyan istrinya.

Kasihannya, cantik tapi nggak pernah dipuji cantik sama suami sendiri. Ngenes padahal sudah menikah. Jadi, apa gunanya pernikahan? Nggak ada!

“Hidupku yang aneh …,” keluhku sedih sembari menutup muka dengan kedua tangan. Sampai ada senggolan mendarat di lenganku. Gegas aku menoleh dan ….

“Bayikuuu! Astaga, Bulan Sayang! Apa kabar lo?” Mbak Melda menghambur kencang padaku. Dipeluknya aku erat hingga rasa sedih berganti malu. Mbak Melda yang baru touchdown dari Maluku berhasil menghiburku dengan ‘keceriaannya’ yang overdosis.

Sepertinya memang dia sangat bahagia bertemu denganku. Aku, tentu saja bingung. Sederhana, sudah berapa lama kami tidak jumpa setelah kali terakhir dia ngeloyor gegara dicuekin di bandara Malang. Ya waktu itu, kedatangan Bintang dan calsum yang sekarang jadi suamiku.

“Kabar baik, Mbak,” jawabku lesu yang berkebalikan darinya yang mengamatiku dari ujung kaki ke kepala. Matanya kepo.

“Hem, udah berapa bulan, Neng? Kok nggak kelihatan baby bump-nya?” celotehnya yang menjurus pada kengawuran tingkat tinggi.

Sesembak bicara apa sih? Fitnah dari mana yang dia ucap barusan, hah? Apa yang sedang terjadi selama aku pergi? Jangan-jangan aku udah digosipkan aneh-aneh! Anyyeong, aku baru pergi dalam hitungan minggu, kok udah subur aja gosipnya. Gibah lancar, Bundah? Syukurlah, lancar, yukkk! Slebew, minta digibeng atu-atu.

“Nuduh aja teros!” omelku pada Mbak Melda yang kuakhiri dengan tabokan super keras pada bokongnya.

Mbak Melda mendesis sembari celingukan malu. “Crazy, lo! Gue masih seragaman, Bego! Pelecehan.”

“Mulutnya, Mbak …,” desisku memutar mata tak beraturan. Ngomong sama Mbak Melda itu siap-siap copot muka, malu.

“Ups!” Mbak Melda mengunci mulutnya rapat-rapat.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang