Bab 21 Di Balik Kata Ciyeh

8.7K 1.2K 335
                                    

Dua hari sudah aku menjadi penghuni kamar si Es Balok. Awalnya aku menolak matang-matang suruhan Ribi dan permintaan bu Yona untuk tidur di sini, sekarang aku malah menikmati. Gimana nggak di sini aku bisa hidup layak. Makan enak dan sehat, minum jus mangga sepuasnya, dan dimanjakan Bapak Ibu mertua yang Masyaallah baiknya itu. Serius, rumah ini tuh aku banget.

Apalagi aku bisa bebas mengulik isi lemari Ribi. Sayangnya, dia teramat rapat menyimpan rahasia hidupnya. Tak ada info spesial yang kudapat meski hampir tengah malam mengaduk isi lemarinya. Gimana nggak isinya cuma baju dan kaos doang, doh. Nggak ada info istimewa seperti buku sekolahnya atau apa gitu.

Atau jangan-jangan dia memang tidak punya hal semacam itu? Wow, sungguh receh sekali hidupnya, teramat sederhana dan polos apa adanya.

Huft, kutimpa lelah tangan sofa kamar Ribi saat jam di dinding menunjuk angka 5. Baru jam lima pagi dan aku sudah sibuk sendiri setelah salat Subuh. Bukan mengacak-acak kamar Ribi kok, melainkan merapikan barangku yang tersebar ke seluruh penjuru. Daripada aku dimaki-maki bu mertua, meski nggak mungkin sih, mendingan aku jaga sikap. Lagipula jam 7 aku harus siap untuk berangkat ke CGK.

Hari ini aku nugas tiga rute, Jakarta-Bali, Bali-Lombok, Lombok-Jakarta. Kerja keras, ya, Bundah demi sebungkus bakso aci dan bakso rombong. Ah, jadi kangen Malang. Termasuk ke salah satu manusianya, Mama Papa maksudku. Eh, ya udah jujur, Ribi deh. Aneh, tiba-tiba aku kangen debat kusir dengannya. Asemnya, semalam mimpi ngebakso bareng lagi.

Namun, tiba-tiba mataku tertuju pada kotak cokelat di bawah meja belajar. Karena warnanya gelap, mataku sempat tak melihatnya. Wadidaw, perlu dikulik ini isinya apa! Dia nggak mungkin nyimpan hewan buas di situ, ‘kan? Seperti di kamar rumah dinasnya itu, ‘kan? Ih, mungkin yang itu cuma akal-akalannya saja.

“Apa, ya, isinya?” gumamku sembari membuka penutup kotak. Hatiku berdebar kencang karena sedikit takut kalau isinya ular. Eh, ternyata bukan!

Beberapa botol bening parfum bermerek sama. Giorgio Armani Acqua Di Gio. Rupa-rupanya ini rahasia aroma wangi dari tubuhnya itu. Iseng ngecek ternyata harganya sampai jutaan. Wow, dia lumayan glamor untuk ukuran tentara yang gajinya tak sebanyak pilot. Ya sudah, aku tidak usil, mungkin memang Ribi seleranya high. Dia pasti punya penghasilan sampingan.

Kumasukkan kembali botol-botol kosong itu. Aneh juga hobinya, mengoleksi botol parfum kosong. Buat apa sih? Apa semacam ada kenangan atau sayang mau ngebuang karena harganya mahal? Namun, sepertinya terjawab saat sebuah notes kecil jatuh dari balik botol terakhir. Gegas kubuka dan ada sebuah tulisan kecil nan rapi. Kok, hatiku panas.

“Memang mahal, tapi aroma ini sangat cocok dengan wajahmu. Izin, dihabiskan, ya, Ndan! Lula.”

Shit, jadi parfum ciri khas Ribi ini hadiah dari mantan pacarnya? Pantas dia sangat menyukainya, sampai-sampai nggak mau buang botolnya. Disimpan di kotak dan ditaruh di tempat tersembunyi, sampai sebegitu wownya, ya? Apaan tadi, Ndan? Oh, pantes Ribi sangat suka dipanggil Ndan, maksa aku manggil gitu. Ternyata ….

Karena ingat sama kenangan manisnya bersama Alula, asem!

“Apa aku ini cuma dijadikan pelampiasan doang?” gumamku kosong. Serasa ingin membakar botol-botol laknat ini. Mulai sekarang mencium aroma Ribi membuatku mual. Tak suka lagi, doh!

Kegelisahan jiwaku dibuyarkan oleh suara ketukan dari pintu. Kontak kupinggirkan semua emosi karena ingat sedang di mana. Nggak lucu kalau aku ngamuk di pondok indah mertua, bisa didepak meski kayaknya nggak mungkin. Jangan merendahkan diri sendiri, apalagi sampai dibandingkan sama A-L-U-L-A, ck!

“Ibu?” sapaku riang setelah bingung. Bu Yona melempariku senyum semringah sembari menghambur masuk ke kamar bontotnya.

“Nyaman nggak kamarnya Kak Ribi, Dik?” tanya beliau yang kujawab anggukan singkat. Mau jujur apa nggak nih, tiba-tiba aku ingin membakar kamar ini.

Bu Yona mengamati kaca yang tertempel di lemari tinggi tempat seragamku sedang tergantung. “Seragamnya cantik, pas di tubuh rampingmu, Dik. Nanti terbang jam berapa?” berondong Bu Yona takjub. Bagi beliau, aku seperti taman hiburan yang menyenangkan.

“Jam 7 saya dijemput driver, Bu,” jawabku pelan sembari berpura-pura merapikan handbag. Aslinya, aku berpura-pura sibuk untuk menutupi gulananya hati.

Beliau menatapku gemas. “Nanti mau dibawakan bekal apa? Ibu tuh ngerasa bersemangat banget, Dik. Kayak beda aja gitu ada pramugari cantik yang mau berangkat di rumah. Ngelihat kamu persiapan gitu, ih keren,” kerling beliau bersemangat. Bahkan beliau menimang botol-botol skincare-ku dengan ceria.

“Pasti susah, ya, Bu, punya dua anak cowok semua?”

“Begitulah, nggak ada teman main make-up, Dik. Dulu sih Ribi, mukanya cewek banget pas kecil. Ribinya protes dan berakhir gitu aja,” kenang beliau dengan senyum simpul. Namun, malah aku yang menahan ngakak.

“Ribi, eh, Kak Ribi pernah didandani, Bu?” Bu Yona mengangguk cepat.

“Sering dulu, tapi mungkin cuma dibedaki dan dikasih lipstik, gitu saja. Ada sih fotonya, tapi udah disimpan Ribi. Kayaknya sih sudah dibakar,” curahnya kecewa. Yah, aku gagal dapat bahan. Dasar debok!

“Bu,” panggilku ragu, tapi hasrat kepoku sudah menggebu. “Apa kak Ribi pernah punya … pacar?” tanyaku penuh kehati-hatian.

Benar saja, raut wajah Bu Yona agak berubah. Cepat beliau menata kembali botol skincare-ku ke dalam pouch. “Dik Bulan mau dibuatin bekal apa? Sandwich telur atau roti bakar?” hindar beliau.

“Maaf, Ibu, apa Ibu kenal Alula, Sertu Alula?” tahanku saat beliau hendak beranjak dari kamar ini.

Bu Yona sedikit menghela napas panjang sembari menatapku buram. “Ibu tidak kenal dekat, tapi pasti semua sudah selesai sebelum kalian menikah, Dik.”

Selesai dan keluar begitu saja. Menyisakan nyesek dan bingung di hatiku. Kurang asam, aku yang nanya kenapa aku pula yang kumat overthinking-nya? Semakin gulana aku memikirkan gimana hubungan Alula dan Ribi. Semua orang aneh saat nama itu tersebut. Apa pernah ada peristiwa besar di antara mereka?

“Kok aku makin kepo sih?” gumamku sembari menggigiti kuku. Risau di depan pintu kamar yang masih terbuka.

Memang benar kata orang, lebih baik sedikit tahu asal hidup tenang. Daripada tahu banyak hal, tapi gundah gulana. Aduhai, aku salah ambil langkah! Kenapa aku serakah amat pengen mengenali Ribi, kalau sudah begini menyesal sendiri. Salah lo kepo, Bul!

Dalam khayalan haluku, Ribi sudah kubawa ke ring tinju. Kuikat kedua tangan dan kakinya, hingga hanya tersisa mulut bebasnya. Akan kutanya semua hal yang ingin kutahu, dan dia hanya harus menjawab. Kalau sampai bungkam atau bohong, siap-siap tinju melayang. Sayangnya, hanya halu!
---

Dulu aku sangat berharap tetap bekerja di peak season atau weekend. Menjalani banyak rute agar semakin banyak juga uang terbangnya. Kini semua terkabul, aku bekerja di akhir pekan hari Sabtu dari pagi sampai malam. Aku terbang di rute potensial, Bali dan Lombok – yang banyak turisnya. Namun, kenapa aku malah letih lemah lesu tak berdaya.

Padahal aku sudah menghabiskan sekotak sandwich smoked beef bekal dari Ibu mertua lho. Kenyang sebentar, sekarang lapar lagi. Ya maklom, maskapai full service itu memang agak melelahkan. Membutuhkan banyak energi dan pikiran. Namun, demi bayar denda ini!

Mungkin karena uang terbangku dipotong 50%? Bisa jadi. Bisa jadi karena besok sampai Senin aku masih kerja meski rute pendek. Tenang, maskapai tetap mematuhi SOP yang berlaku kok. Pramugari tetap diberi waktu istirahat minimal 9 jam sebelum terbang lagi.

Mungkin kelelahanku beralasan. Pertama, aku kangen (baca: debat) sama Ribi, doh mual! Kedua, pikiranku masih terbebani dengan siapa sosok Alula sebenarnya. Iseng kuperiksa di IG-nya Ribi, nihillah! Dia tak mengikuti siapa-siapa di sana, 0. Padahal pengikutinya hampir 10,5k. Jadi, ceritanya aku menikah sama selebgram debok pisang nih? Oalah ….

Pengen sih memencet nomor teleponnya yang belum kuberi nama itu, tapi … urung. Aku bingung mau mulai pembicaraan. Kalau langsung nanya, aku pasti di-bleyer. Kalau mbulet, pasti aku dikira cari perhatian. Lhakok bingung, padahal mau nelepon Es Balok dikasih napas doang ribetnya kek mau nelepon RI 1!

Lagi dan lagi aku rempong sendiri di dalam kubikel. Baru 10 menit yang lalu touch down di CGK setelah dari LOP alias Lombok, tapi aku belum minat pulang. Tugas hari ini telah tunai dengan selamat dan sempurna. Penumpang manis-manis tiada yang berulah meski sebagian ada yang ganjen minta nomor HP. Pada nggak lihat mungkin kalau cincin nikah sudah bertengger di tangan kananku. Mereka kira aku masih lajang, eh, memang aku masih ting-ting! Hiks.

“Permisi, Mbak, berkenan coba es timun? Segar lho, Mbak, bagus untuk kulit,” tawar Laura, tahun pertama, yang membuatku mendongak. Dengan senyum lebar aku menerima pemberiannya.

“Makasih, La! Tahu aja lagi haus,” cengirku sembari menyeruput pemberiannya. “Seger, nih!”

Laura tersenyum salah tingkah. “Maaf, Mbak, bukan dari saya. Dari beliau.” Dia kemudian menunjuk makhluk di tepi daun pintu flops INA Air.

Lhadalah, kenapa sih kutu kupret di sana? Pakai tebar senyum maut jala pesona pula? Memanfaatkan wajah buayanya untuk menyuruh Laura memberiku es timun. Dasar gelo, perlu kubereskan ini pilot. Mungkin guyuran es timun cukup membelalakkan matanya!

Memasang gestur sok ganteng, menyandarkan tangan kanannya ke pintunya seraya melipat tangan ke dada. Dia melambai ceria padaku. “Hai, Bulan! Seger, ‘kan, esnya? Di GOC ada acara makan-makan. Aku bawakan itu buatmu,” bebernya tanpa disuruh sembari mendekatiku.

“Apa sih,” racauku malas. Kualihkan mata pada layar HP. Berpura-pura mengecek hal penting padahal cuma gesek-gesek desktop. Asem, kok Ribi nggak nelepon aku di saat seperti ini sih.

“Bisa kita bicara?” tanyanya sambil duduk bersandar ke mejaku. Nggak sopan, mentang-mentang sekarang pilot pelat merah!

Captain nggak lihat saya sibuk?” tolakku judes.

“Sibuk HP-an, tapi SMS-ku nggak pernah dibalas. Kenapa sih, Bulan?” Dia berusaha menjangkau wajahku. Memang lagi musimnya mungkin ya, mantan laknat bermunculan bak cendawan di musim hujan.

“Nggak perlu dijawab!” ceplosku judes. Beberapa FA keluar ruangan karena segan, sepertinya peperangan akan segera pecah di ruangan ini.

Guys, memang aku dan dia cuma pacaran singkat, tapi kabar kami berkembang ke seantero bandara. Semua orang kenal si supel tengil kutu kupret ini, Razka Abdulsalam. Otomatis, aku kena imbasnya, ikut terkenal juga. Akhirnya, dikenal sebagai pacar pilot setelah sebelumya dikenal sebagai adik flight attendant “star”. Sungguh sial.

“Nggak ada yang perlu kita bicarakan, silakan keluar! Captain tidak malu?” usirku kasar, meski suaraku rendah.

No, Bulan. Banyak yang perlu kubicarakan denganmu. Aku perlu meluruskan semua, tentang maaf dan sebagainya. Oh come on, we need to talk!” ajaknya paksa.

“Tidak, Anda saja yang bicara. Saya nggak perlu,” sentakku sembari memelototinya tajam. “Kita sudah selesai, cukup!” tegasku lalu menunduk lagi.

“Jangan di sini, Bulan. Di kafe kesukaanmu, gimana? Kurasa perlu tahu tentang siapa pemilik pasangan cincinmu ini.” Razka menyentakku dengan sebuah sentuhan di puncak cincin nikah di tanganku. Sial, langsung kutarik tanganku ke pangkuan. Nekat juga ini adam!

“Jangan sentuh saya!” ancamku melirihkan suara, tapi pelototan masih!

“Makanya, kita bicara! Kamu menurut, semua selesai. Oh ayolah, saya juga masih ada schedule,” paksanya lagi. “Apa aku perlu kenalan sendiri ke suamimu?”

Pertanyaan terakhir Razka terpaksa membuatku angkat bokong mengikutinya. Ancaman itu ngeri juga. Jangan sampai dia ketemu Ribi, mulut ngawurnya itu bisa mendatangkan bencana. Ribi bisa saja murka dan menjadikan fitnahan Razka sebagai senjatanya mengejekku. Ini tidak boleh terjadi. Crazy, kenapa aku selalu dipojokkan sih?

Kulepas ID card dan nameplat di dadaku. Demi tidak menunjukkan siapa namaku, meski penjaga kafe sudah hafal siapa aku. Meski seluruh elemen penting bandara ini sudah hafal aku siapa, sudahlah hanya untuk berjaga-jaga. Netizen sekarang ngeri-ngeri.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang