Bab 27 Jebakan Ribi

10.7K 1.1K 156
                                    

Waktu cuti yang sebelumnya enggan kulewati justru sekarang berjalan sangat cepat. Mungkin karena 24 jam ini kuisi dengan tawa canda, tangis kesal, dan geram gemas. Lelaki penyuka bakso itu menghidupkan menit-menitku menjadi bermakna. Tanpa terasa pagi ini, kami berada di hari terakhir sebelum aku harus kembali bekerja. Besok, aku harus berangkat ke Surabaya untuk menjalani rute Surabaya-Palembang-Medan, nginap di Medan. Tiga hari kerja.

Cukup hectic, ya? Mungkin seperti akhir pekan di hari terakhir cutiku ini. Kujalani pagi seperti biasa; mandi besar, salat, beberes rumah, dan menemaninya memasak. Yaps, aku tak lagi takut dapur dan sudah bisa memasak beberapa kudapan. Yang sederhana saja semisal tempe goreng dipenyet di sambal bawang atau nasi goreng sosis sultan buatanku. Gimana nggak sepiring nasi sosisnya 5 biji.

Ribi heran nggak? Nggak sih, cuma merengut. Dia ‘kan penerap asas irit cepat kaya. Jadi, nggak demen aja lihat sosis segitu banyak tumplek blek di atas piring. Tapi habis juga kok. Katanya, aku ada bakat masak, tapi mendingan dipendam aja karena bikin bandar rugi. Ops, maaf.

Selesai memasak, aku mencuci semua baju yang menggunung di sebelah mesin cuci. Kecuali seragam loreng, karena Ribi mau mencuci sendiri. Kepercayaannya padaku sudah hangus dan nggak tumbuh lagi. Ya sudahlah, lagipula seragam berat gitu bikin tanganku sakit. Nggak mau dong kuku cantikku ikut potek gegara meres-meres itu benda, nggak boleh dimasukkan pengering.

Dunia Persit bagaimana? Berjalan normal selayaknya dunianya. Yaps, aku mulai menyesuaikan diri dengan para senior, junior, dan ibu anggota. Serius, mereka itu baik-baik kok. Aku sering dikasih makanan hasil prakarya, dikirim pula ke rumah. Padahal aku nggak ikut acara buatnya, ya gimana, selalu ketiduran di depan TV nggak ngecek gawai. Jadi, pesan mereka bertumpuk-tumpuk.

Namun, ibu komandan cukup maklum padaku. Kata beliau, wajar kok manten baru selalu kelelahan. Aku tahu maksudnya, kalau untuk yang satu itu otakku encer. Lagi menabung kehangatan Ribi nih karena sebentar lagi kami akan berpisah.

Kata Mama, kehidupan Papa bisa berubah dalam waktu lima menit. Jika lima menit kupakai untuk menyikat gigi atau membuat alis, Papa bisa mempersiapkan pasukan untuk diajak perang. Terjadi pula padaku setelah bersuamikan Ribi. Sejujurnya, hatiku ketar-ketir menebak pengumuman yang akan diletuskan pria itu saban pulang kerja. Keberangkatannya ke Bandung bisa terjadi sewaktu-waktu. Tak cuma itu, dia bisa dipanggil komandan di tengah malam sekalipun.

Aku tak pernah tenang memeluknya karena dia milik negara. Dia memang mencintaiku, tapi negara adalah prioritasnya. Sebanding, aku pun sama. Mencintainya, tapi aku selalu mengutamakan pekerjaanku. Posisi kami impas, untuk itulah kami tak pernah mempermasalahkan perpisahan.

Ada dua pilihan dalam setiap rute penerbangan, Remain Over Night dan Vice Versa. Menginap dan pulang pergi. Andaikata ditanya, ingin sekali aku memilih pulang pergi supaya pagi kerja dan malam bisa memeluknya. Namun, itu tidak mungkin karena aku bukan pilot, tidak punya kendali.

Sama seperti pagi ini, tak bisa mengendalikan bibir manyun saat menempel jadwal penerbanganku di pintu kulkas. Dia meminta tulisan tangan karena harus ada jejakku yang tertinggal di rumah ini. Kalau dirasa memang aneh, tapi aku tahu itu ulah dari rasa yang namanya rindu. Uwu.

“Ck, apanya yang uwu. Jadwalku kebanyakan nginep,” kucebikkan bibir sedih karena kembali memandang tulisan tanganku itu.

“Kenapa kamu?” Ribi memandangku aneh. Rupanya si Bapak sudah berada di sisiku dengan membawa dumbel. Bahkan, benda berat itu hendak ditumbukkannya padaku karena tiba-tiba aku memeluk tubuhnya yang basah.

“Aku jarang pulang sebulan ke depan, Kak …,” rengekku berharap dapat perhatiannya.

Kudengar hela napas berat yang ditiupkannya padaku. “Biasa aja kali. Kukira ada apaan!”

“Kakak emang nggak bakal kangen aku?” rajukku sembari memandangnya. Dia menjeda pelukanku yang sekaligus jadi jawaban. “Ck, emang nggak bakal kangen.”

“Emang kangen doang bisa bikin kotak sereal penuh lagi? Botol sabun di kamar mandi penuh lagi? Bisa?” Sesaat ia menajamkan matanya, lalu mengubah menjadi sipit. Sebagai bentuk omelan baru yang akan meletus. “Kamu itu mandi cara apa sih, ngabisin sabun di kamar mandi? Lagian nonton drakor harus ngemil emang, nggak takut gendut?”

Krik-krik-krik, jangkrik berbunyi karena rasa rindu yang tak terbalas. Dasar gedebok, mana bisa diajak manis-manisan.

“Ya udah, aku ganti! Lagian Kakak mandi tiga empat kali sehari, aku mulu yang disalahin. Kakak aja habisin sabun manggaku, aku nggak pernah protes. Kikir!” omelku membalas sengit. Ngajak gelut emang, nggak puas rasanya kalau nggak tinju sehari.

“Apa kamu bilang, kikir?” Ribi memiting batang leherku gemas. “Aku sering mandi juga karena kamu.” Pak Suami malah menggigit pipiku gemas.

“Ih, apaan sih! Bau keringat, asem! Udah sana!” usirku padahal bahagia banget dalam dada. Doh!

“Asem gini kamu juga demen masakanku,” pamernya santai.

“Ya udah, pagi ini aku yang masak,” tantangku sembari menatapnya yang sedang minum sisa Imukal milikku. Sudah biasa makan dan minum di bekas bibirku.

Ribi menggeleng enggan. “No, kamu siap-siapa aja! Kita belanja kebutuhan bentar. Sore kamu disuruh ngadep Ibu Komandan, ada tugas katanya.”

Pengumuman Ribi membuatku mendelik. “Tugas apaan lagi? Ini tugas seabrek belum cukup emang?” Kusodorkan selembar kertas berisi jadwal terbangku.

“Sal, itu tugas di duniamu, di dunia sini tentu beda. Kamu bisa nulis, ‘kan? Jago public speaking, ‘kan? Kayaknya tugasnya berkaitan dengan itu,” kata Ribi berjalan santai menuju kamar mandi.

Speechless, nggak bisa berkata apa-apa lagi selain merasakan bumi di bawahku terguncang. Sampai pada si Gagah keluar dan melongok dari pintu kamar mandi. Di tangannya ada sebuah benda pipih kecil.

“Sayang, alat apa ini?” tanya Ribi membuyarkan lamunanku.

Alamak, testpack-ku! Sejak kapan dia masih teronggok di ambalan kamar mandi? Bisa-bisanya aku lupa tadi pagi habis celup alat tes itu. Gegas aku berlari ke arah Ribi dan menyambar alat itu. Pria yang setengah badannya sudah berlumur sabun itu menatapku heran. “Ngapain sih kamu, alat apa itu?”

“Tes hamil, Kak!” ceplosku yang membuatnya terhenyak.

“Hah, ngapain kamu ngetes? Coba apa hasilnya?” Ribi malah keluar kamar mandi dan membuatku terpekik. Ya ampun dasar, dulu pemalu sekarang mempertontonkan hilangnya rasa malu, doh!

Gegas kututup setengah mata dan setengahnya lagi mengintip dari sela-sela tangan. “Ya elah, lebay! Apaan hasilnya?” rampas Ribi cepat.

Kusaksikan dia memandangi benda pipih itu dengan saksama, lalu menyimpulkan bibirnya gemas. Diketuknya dahiku dengan usil. “Negatif, Pinter! Lagian baru berapa minggu kita nikah? Kamu kira aku vampir yang bisa hamilin kamu dalam hitungan hari?”

Diletakkannya benda pipih itu di dadaku dengan sedikit dorongan. Dia kembali masuk kamar mandi dengan sedikit membanting pintunya. Kupastikan ocehannya barusan dengan memandangi alat itu, dan benar saja memang satu garis merah. Fyuh, syukurlah aku belum hamil. Nggak kebayang aku harus ambil cuti hamil di tengah kontrak kerja. Bukannya harus bayar denda, tapi aku masih demen-demennya kerja.

Pagi ini sungguh tidak berkonsep. Setelah membahas ngalor-ngidul tentang dunia baruku yang bernama pernikahan, pagi hariku semakin entah dengan pikiran baru. Overthinking-ku kumat karena alat yang bernama testpack. Gimana kalau gimana ….

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang