Bab 43 Kangen

6.5K 938 176
                                    

Haii, aduh maaf Temanss. Saya beneran seriweuh itu, "baby sitter" lagi nugas jadi saya sendirian sama bocah. So, bisa dipastikan rempong Sist 🤣😭

Nulis bab terakhir baru dapat ⅓ bab udah migrain aja 🙃 terpaksa bobok manja sama bocah 😌

Udahlah, semoga terhibur aja yaa 🥰🥰🥰

Terima kasih sudah mampir.
081221
###########

3 menit pertama setelah lepas landas adalah saat yang mendebarkan dan 60 menit pertama selepas perpisahan adalah saat yang paling berat. Di mana aku masih terus mengingatnya dengan air mata yang tiada henti menetes. Aku adalah batu karang yang tegar saat meninggalkannya terbang tiga kali seminggu, tapi saat jadi korban barulah aku sadar akan kelemahan. Sampai terisak di tepi jendela mobil Mama saking cengengnya aku menangis.

Hai, Bulan! Dia cuma kerja agak jauh darimu, bukannya mau pergi perang. Tidak, bagiku berjauhan darinya semengerikan perang. Bagaimana jika aku rindu menyentuhnya, mendapat sentuhan darinya? Bagaimana jika aku rindu mengusilinya, diusili olehnya? Pertanyaan itu akan terjawab beberapa saat ke depan, tapi kayaknya jawaban itu meresahkan.

Mama dan Kak Bintang tak tinggal diam. Diajaknya aku yang masih berseragam kerja ke sebuah restoran masakan Jawa di kawasan rumah kami – Araya. Tak peduli sanggul yang mulai acak-acakan, aku hanya mengunyah nasi rasa hambar. Sampai lupa tidak menyentuh lauk karena fokusku hanya pada Ribi dan Ribi. Dia akan menempuh long flight, ke Papua butuh beberapa jam dengan beberapa kali transit.

Semakin molorlah rasa rinduku. Harus dipangkas pakai gunting macam apa? Rasa-rasanya otakku semakin korslet meski Mama menyodoriku teh panas sembari berkata. "Jangan cengeng terus, Dik! Suami kerja kok malah ditangisi, nanti sakit lho Kak Ribinya."

"Ya jangan dong, Ma ...," rengekku spontan. Membayangkan dia digigit nyamuk saja aku sudah kelimpungan. Bukankah Papua tempatnya nyamuk malaria, gimana kalau dia kena sakit itu? Belum-belum aku sudah overthinking.

"Santai aja, Dik. Mungkin Ribi juga gitu pas kamu tinggal kerja," timpal Bintang menggigit tempe mendoan panas dan mengunyahnya meriah. Agaknya nafsu makan gadis ini sudah kembali, malah sekarang dia teramat sangat doyan makan.

"Kok bener, sih?" batinku galau yang akhirnya dibuyarkan Mama lagi.

"Saat berjauhan, kencangkan doa! Nikmati waktu dengan merawat diri sendiri. Menjaga harta suami dan harga diri seorang istri saat dia jauh. Adik paham, 'kan?" tanya Mama memandangku lekat. Aku mengangguk cepat sembari menyesap sedikit teh melati.

"Jadi meski Bulan kesepian di rumah dinas, itu nggak masalah, Ma?"

Mama tersenyum lembut. "Itulah saatnya kamu bersahabat dengan rumah suami, Dik. Rawatlah tanaman seperti Ribi melakukannya. Jalankan peranmu sebaik mungkin pada ibu-ibu, istri-istri anggota. Jangan apatis dan tenggelam dalam duniamu hanya karena kamu bekerja. Mama yakin Ribi sudah memberi pesan yang sama." Aku mengangguk kecil.

"Penekanannya sangat nyata, Ma."

Satu doaku sekarang, semoga waktu berjalan secepat mungkin agar aku tak perlu menderita menjalani hari-hari yang sepi tanpanya. Sepertinya logikaku mulai acak karena hari berubah gelap pun aku tak sadar. Tahu-tahu selepas Magrib, Magribiku berkabar. Barusan dia menelepon, panggilan video, katanya baru transit di UPG karena Hercules sedang menurunkan sekaligus mengangkut logistik.

"Sebentar lagi aku pulang ke asrama, Kakak jaga diri baik-baik, ya!" pesanku menahan haru.

"Tidur saja di situ malam ini, Sayang. Nggak apa-apa," suruhnya berupaya menghiburku. Dia adalah manusia yang paham betul rasanya ditinggal kerja dan bagaimana cara mengatasinya.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang