Bab 6 Badai Melanda Bulan

8.2K 1K 252
                                    

Bintang lenyap layaknya bintang malam yang ditelan pagi. Memang masih ada di dunia, ya iyalah, tapi tidak tahu sedang ada di mana. Dia bersembunyi dengan baik sesuai dengan kualitas otaknya. Semua karena kecerobohan Papa Mama yang menjadi pedang bermata dua. Niat hati menyita ponsel Bintang agar dia tertahan di Malang, tapi malah berujung pada tidak tersentuhnya dia sekarang di mana.

Bintang tidak terdeteksi oleh radar apa pun. Papa Mama kehilangan jejak dan akal sehat. Papa marah besar, menggebrak meja dan benda apa pun yang beliau pandang. Untung nggak banting kandang kakaktua jambul kuning pemberian sahabatnya dari Papua itu. Bisa pekak kuping ini karena teriakan kakaktua yang bagaikan gesekan biola rusak. Intinya, rumah ini terkena badai matahari super hebat.

Termasuk Bulan juga kena, ya aku juga kena. Semenjak pagi buta aku tak boleh beranjak dari kamar. Malah Papa usul kamarku dikunci, nggak tahu kenapa. Padahal aku juga nggak hendak kabur ke mana-mana, aku cuma ingin berangkat ke Jakarta untuk kerja. Namun, kalau gini masalahnya, aku nggak jadi kerja dong. Nasibku gimana, nggak mau ditegurlah.

“Sial, semua gara-gara Bintang!” kutukku sembari menggaruk pintu kamar. Terus merintih iba minta dibukakan. Sudah jam 7 pagi dan jam 9 pagi aku harus di bandara.

“Mama … please, Bulan mau kerja,” rengekku menahan tangis hingga wajah mirip lobster kukus.

Groookk, kugaruk pintu kamar dengan kuku berkuteks merah. Sudah siap-siap sejak Subuh, nggak lucu kalau nggak jadi berangkat. Kuku sudah cantik, seragam sudah terpasang rapi, sanggul udah tinggi, tinggal memasang sandal hak tinggi 8 senti saja lalu berangkat. Nyatanya, aku masih tertahan di balik pintu layaknya tahanan kriminal. Lenyapnya Bintang membuat rumah ini rasa Korea Utara, terpenjara.

“Papa … Mama, please, Bulan mau keluar. Bulan nggak mau kabur kok,” mohonku lagi yang entah didengar atau tidak. Tak ada suara siapa-siapa di luar sana.

Ketika aku hendak menggedor pintu kamar, tuas kunci tiba-tiba dibuka. Syukurlah, ada yang membukakan pintu terkutuk ini. Rasa lega langsung pecah dari sanubari kalbuku. Menyongsong siapa saja dari balik pintu jati ini dan ternyata itu Mama. Beliau datang dengan wajah kusut tak glowing lagi.

“Mama, aku boleh berangkat kerja, ‘kan?” Pertanyaanku dijawab gelengan lesu dari Mama.

“Lebih baik kamu turun dan menemui Papa. Papa tidak mengizinkanmu berangkat sebelum Bintang ketemu,” jawab Mama datar. Jawaban yang langsung menyiksaku.

“Lho, Maaa, jangan gitu dong! Aku nggak ada keterkaitan apa pun dengan Bintang. Sumpah, Ma!”

Mama menatapku nanar. “Turun dan temui Papa. Cuma kamu yang bisa diharapkan sekarang.”

“Maksud, Mama?” tanyaku mulai bingung. Diharapkan apa maksudnya?

“Keluarga Kak Ribi baru saja menelepon. Niatnya untuk membicarakan tanggal pertunangan dan pernikahan, tapi ternyata hasilnya hancur. Papa dan Om Hasan malah bertengkar karena Papa dianggap mempermainkan janji lama,” jelas Mama sembari duduk lemas di tepi kasurku.

Aku mendatangi Mama dengan wajah tak percaya. “Ma, memangnya persahabatan kalian itu semacam sekte gitukah, kok perjanjiannya seketat itu?” tanyaku heran.

“Bulan!” tegur Mama tidak suka. “Kamu tidak tahu arti persahabatan bagi kami. Dulu saat Papa dan Om Hasan bertugas, Mama dan Tante Yona selalu berpegangan tangan. Doa kami tak lepas untuk para suami. Tugas tentara saat itu tidak mudah, Bulan!”

Ketegasan sikap Mama membuatku menyerah. Sepertinya aku menyinggung prinsip persahabatan yang dianut mereka. Persahabatan itu layaknya layang-layang yang harus dijunjung tinggi, sehidup semati, senasib sepenanggungan. Bedalah sama persahabatan zaman sekarang yang gampang retak cuma karena masalah sepele, sebut: rebutan cowok.

“Ya udah sekarang gimana, Ma? Menahanku tidak akan menyelesaikan masalah, justru menambahnya. Aku bisa ditegur maskapai dan diancam sanksi. Gimana dong, Mama?” keluhku kekanakan, sebenarnya tidak karena aku beneran panik sekarang.

“Turunlah, Mama rasa Papa punya jawabannya,” suruh Mama yang membuatku melengos lesu.

Menemui Papa di tengah badai seperti ini butuh banyak perlindungan. Sejenis helm atau rompi antipeluru bolehlah. Bisa saja Papa melempar gelas, buku, kurungan burung, piring, sarung, atau apa saja itu ke segala arah karena terlalu emosi. Meski pecinta burung dan Mama, Papa tetap tentara yang garang di luar lembut di dalam. Kudu siapin mental baja menerima semua keluh kesahnya sebentar lagi.

“Papa manggil Bulan?” Papa menunjukkan sedikit wajah kacaunya dengan menoleh. Beliau lebih banyak menatap bingkai foto besar di samping jendela ruang kerjanya. Foto kesukaannya karena berisi potret wajah muda Papa dan sahabatnya, Om Hasan. Mereka memang mirip saudara ketemu besar kok.

“Duduk, Nduk!” suruh Papa dengan suara rendah. Tanpa melawan, aku langsung duduk di sofa empuk yang aromanya Papa banget ini, aroma koyo cabe.

“Ada yang bisa Bulan bantu?” tawarku pelan, takut membangunkan singa tidur. Takut bertanya juga sebenarnya. Asli.

Papa menarik napas panjang, lalu melipat tangannya ke belakang. Berbicara dengan memunggungiku adalah ciri khas Papa saat sedang sangat serius. Tandanya aku nggak boleh celamitan dengan melawan atau cengar-cengir, meskipun sebenarnya pengen ngakak karena Papa pakai potongan koyo di pelipisnya.

“Ini adalah pertengkaran kedua kami selama 30 tahun bersahabat. Yang pertama saat dia membuat Papa dihukum pelatih di pendidikan dulu. Kami selalu rukun bahkan saat rebutan Mamamu dulu. Dia yang ngalah dengan membiarkan Papa mendekati Mama,” kenang Papa dengan mata terus menatap ke bingkai foto di depannya. Beliau berkicau di antara keceriwisan perkutut, kenari, dan kakaktua jambul kuning, tidak mau kalah ribut dengan para anak bulu.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang