Bab 29 Pemuja dalam Diam

10K 1.1K 411
                                    

Part puanjang, 6000 karakter. Semoga worth it dengan penantiannya yaa.

Terima kasih sudah menunggu dan terima kasih sudah mampir. 🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰

271021

###############################

Pria bermanik tajam dengan hidung kecil mancung itu sesekali menoleh. Memandang ke arah wanita ayu di sebelahnya yang masih mengatupkan kedua mata. Sesekali dia memandang kesepuluh tangan lentik si wanita yang berada di atas pangkuannya. Sebuah senyum tersungging sebab tangan itu telah banyak bekerja keras belakangan ini.

Mungkin itulah yang membuat Bulan sangat mudah tertidur saat bersamanya. Antara nyaman dan lelah telah menambah “tanda mata” di tangan jenjang putihnya itu. Membuat pria penyuka Strepsils orange honey itu kembali tersenyum, Bulan telah belajar banyak hal semenjak jadi istrinya. Kagum, kedua tangan Bulan sudah bisa menyalakan kompor gas bahkan menggoreng ayam.

Semoga kamu tidak melupakanku saat kita jauh, Sal,” bisik pria bernama Ribi dalam hatinya. Sebenarnya sedih, tapi dia lebih suka menggantinya dengan senyum kuat. Seperti biasa, dibalik profesi tentara dia menyembunyikan banyak luka dan air mata.

Ah, sedih. Berpisah saat sedang indah-indahnya. Ribi pun pernah merasakan luka saat harus dipaksa pisah oleh Alula karena perbedaan yang besar. Sekarang pun sama, bedanya dia harus berpisah dengan sang istri untuk sementara waktu. Bulan yang awalnya cuma jadi duet gelut sekarang berubah jadi candu. Sebentar tidak menyentuh kulitnya, Ribi bisa sakit merindu.

Maka, dengan refleks dia menarik halus punggung tangan Bulan dan mengecupnya. Setelah itu, dielusnya tangan hangat Bulan ke pipi dan diletakkannya kembali di pangkuannya.

“Cantik kamu, Sal!” puji Ribi pelan saat memandang sang istri tertidur dalam kebaya magenta dan rok batik ungu tua, seragam kerjanya. Setelahnya, dia kembali fokus pada jalanan di depan. Lengang dan kendaraan melaju kencang.

Andai Bulan tahu, jika dia sedang tidur seperti ini, Ribi bisa lebih manis memperlakukannya. Pria itu budak cinta, istilah anak sekarang, rela bangun sejam dua jam di tengah malam hanya untuk memandangi wajah pulas Bulan. Ah, memang manis sekali si Es Balok.

Mungkin karena mereka sudah ada di tol menuju Bandara Juanda, sebuah tempat yang akan jadi pemisah mereka sejenak lagi. Ribi ikhlas menyetir mobil kesayangan sejak jam 2 pagi demi mengantar Bulan ke Surabaya. Jam 5 Subuh, Bulan harus briefing. Karena dia anti ngaret, estimasi waktu dilonggarkan. Mungkin supaya mereka bisa mengulur waktu perpisahan sebentar saja.

Tak tega Ribi membangunkan Bulan. Sehingga sampai 10 menit dia berhenti di parkiran Juanda, pria itu masih membiarkan Bulan tidur. Apalagi Bulan baru tidur jam 10 malam setelah puas melayaninya. Tak masalah dia tidur sebentar lagi, hari ini dia akan kurang tidur karena terbang beberapa rute.

Sibuk. Bulan akan terbang, Ribi pun akan gegas mempersiapkan keperluan kursusnya di Bandung minggu depan. Hari perpisahan pertama yang sibuk, bukan? Semoga Bulan tak terlalu sedih, harap Ribi. Pun sama dengan dirinya.

“Kak, kok aku nggak dibangunin?” Bulan terjaga saat Ribi baru menoleh pada pesawat yang baru meninggi. Pria itu langsung memberi Bulan air mineral dengan botol yang masih tersegel dari pintu sampingnya.

Bulan hanya menerimanya dengan mata kosong, bingung. “Kapan kita sampai? Apa aku udah telat?” tanya Bulan lagi dengan wajah semakin bingung karena arlojinya entah ke mana.

Ribi menggeleng seraya memberi sebuah kotak dari dalam dashboard. “Nggak tahu kamu suka apa nggak,” katanya pendek.

Tak mau penasaran, Bulan langsung membuka kotak hitam bertuliskan merek salah satu jam tangan terkenal itu. Mata lentik yang sudah berhias maskara dan eyeliner itu hanya bisa tersenyum mengikuti gerakan bibirnya. “Bagus banget,” pujinya pada jam tangan kulit mungil warna putih.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang