Bab 4 Pasangan Balok

8.4K 995 183
                                    

Anggap saja teman Malming, ya, nggak sih? 🤣 Update malu², uhuyy 🥰🥰🥰😝
=================

Pulang ke Malang menjadi pilihanku yang salah besar sekarang. Pertama, aku nggak bisa tidur cantik dengan tenang. Kedua, aku malah dijadikan kambing congek antara dia dan dia, Kak Bintang dan calon bojo-nya alias Ribi. Sumpah demi roda Airbus, aku bingung mau membicarakan apa saat ini. Bicara tentang cuaca, memang pantas membicarakan hujan deras disertai guntur? NO! Membicarakan hari spesialku besok, 1 Februari, rasanya kok terlalu percaya diri banget.

Rasanya pengen ngajak mereka main hujan-hujanan di luar sana. Biar fresh gitu otaknya nggak butek mulu kek comberan buntu. Biasanya aku gitu pas sumpek, main hujan-hujanan meski ujungnya kena pilek. Ah, mangstab! Aku gagal fokus di waktu yang salah.

Otakku buntu, bego di waktu yang tepat. Padahal tadi sudah digetok Mama pakai vas bunga gegara menyebut Bu Yona dengan sebutan Ibu Kayu Putih, masih aja nggak bisa pinter aku. Buktinya, sekarang aku beneran bingung duduk di antara dua manusia yang sedang sibuk sendiri ini. Yang cewek buka olshop dan checkout belanjaan. Yang cowok main game perang-perangan. Sedangkan, aku tolah-toleh beloon di sofa antara mereka. Bingung.

“Ehem, Kakak-kakak ini nggak pengen makan dessert gitu?” Pertanyaan ringan pertamaku meluncur mulus. Meski kagok yang penting sudah usaha.

Menanti jawaban dan ternyata … nihil! Keduanya masih berkutat dengan hal yang sama. Mereka mengabaikanku bagaikan jam dinding, Guys! Mencoba mencari pertolongan dengan mengedarkan mata ke arah Papa dan rekannya di teras samping. Percuma, Papa sibuk memamerkan jejeran kandang burung perkutut pada Pak Hasan. Mereka ketawa-ketiwi membuat dunia sendiri.

Bagaimana dengan Mama dan Ibu Kayu … ah, Bu Yona? Mereka di ruang makan dan asyik mengunyah es podeng buatan Mama. Tak lupa menyantap jajaran cake lezat yang dibawa langsung Bu Yona dari Jakarta. Doh, lapar, pengen makan. Namun, apa yang terjadi? Aku justru terjebak di antara dua es balok hidup ini.

“Halo, Kakak?” Kukibaskan tangan ke depan wajah Kak Bintang. Dan dia menatapku dengan kening berkerut, sangat tidak suka.

“Mau apa?” tanyanya judes.

Kuturunkan nada suara sembari melirik sejuta kode pada Ribi. “Ini gimana cowoknya?” Untung suara game peperangan dari ponsel Ribi sangat berisik sehingga aku nyaman bisik-bisik dengan Kak Bintang.

“Ya udah biarin aja,” jawab Kak Bintang super cuek, lalu memandangi layar ponselnya lagi. Terdengar nada olshop sejuta umat Indonesia dari benda itu, belanja lagi nih yee! Syopeeek!

“Bukannya kalian disuruh ngobrol biar saling kenal?”

“Nggak minat,” pungkas Kak Bintang, lalu membalik badannya.

Posisi badannya seolah menegaskan bahwa aku yang harus mengajak Ribi bicara. Ya Gusti, ngapain juga harus aku yang ribet sekarang? Itu karena aku menuruti perintah Papa. Meski aku manja, tapi aku penurut pada orang tua. Sebab aku merasa bersalah tidak bisa memenuhi keinginan mereka untuk jadi dokter atau tentara. Jadi, setiap perintah adalah titah kerajaan bagiku.

Kukuatkan mental untuk memulai percakapan dengan tentara yang wajahnya serupa tanpa minus dengan Oppa SJK ini. Beneran deh, menggelitikku untuk bertanya. “Kak Ribi masih saudaraan sama Song Joong Ki, ya?” ceplosku dengan edannya.

“Ya?” Dia mendongak dengan wajah terhenyak bak baru dihempas banteng Spanyol. Mungkin karena pertanyaanku barusan terlalu edan bagi lelaki pendiam sepertinya.

“Hehe, Kak Ribi masih ada darah Korea, ya?” tanyaku semakin ngawur disertai cengiran imut, sok maksudnya. Benar saja, dia mengubah posisi duduknya menjadi lebih fokus padaku. Mulut tipis itu menata kalimat yang sepertinya panjang.

Bicaralah lebih banyak, suaranya bagus,” batinku kurang adab.

“Begini, ya! Pertama, jangan panggil saya Ribi. Iqbal, bagi orang asing seperti Anda. Kedua, saya orang Indonesia. Terima kasih,” ujarnya tajam yang mampu memusnahkan cengiran lebarku.

Kurang ajar ini makhluk Mars! Sekurang ajar saat dia kembali fokus pada game peperangan yang berisik itu. Seberisik tawa yang ditahan Kak Bintang dari belakangku. Saat aku menoleh wajahnya sudah cerah, bahagia seperti baru nonton topeng monyet. Damn, aku beneran kayak keset welcome sekarang. Datang ke sini sama aja suicide, cialan!

Kapan, ya, wajah cantikku yang mirip artis China ini berguna? Perasaan kok apes terus saban ketemu Ribi, eh, Iqbal ini. Iqbal menyebalkan pwol! Kuinjak-injak kamu dalam hatiku, huh!

“Ya udah, Om Iqbal yang terhormat, apa yang membuat Om suka sama Kakakku? Apa kalian siap menikah?” cerocosku tak peduli mau dianggap apa. Benar saja, sekarang dua pasang mata tajam itu menyilet mataku. Pedih!

“Siapa yang mau nikah?” tanggap Kak Bintang sewot.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang