Hentakan sepatu hak tinggi tujuh senti itu menimbulkan suara nyaring, senada dengan suara pemiliknya yang merdu. Dia memang bersuara merdu, tapi membalutnya dalam mode kalem dan jarang bicara. Wanita 25 tahun itu berjalan anggun meski harus memakai kebaya dan rok yang agak sempit. Sembari menarik koper berat dan menenteng handbag, Bintang keluar dari pintu flops Bandara Abdul Rachman Saleh MLG menuju exit door. Katanya, Papa dan Mama sudah menunggu.
Dia mematut sebentar wajahnya di pantulan kaca kecil di dekat hiasan dinding. Tersenyum singkat, Masih cantik meski dia baru saja terbang selama 20 jam dari Korea Selatan-Malaysia-Jakarta-Malang. Perjalanan yang jauh dan menguras banyak energi. Namun, bagi pramugari senior macam Bintang, hal itu sudah biasa.Sempurna memang nama tengahnya, sehingga bagi Bintang itu cuma pekerjaan lumrah. Dia wanita penggila kerja dan penyuka dolar. Meski lelah, pikirannya hanya tertuju pada fee terbang yang akan masuk ke rekeningnya. Imejnya harus bagus untuk dipamerkan hari ini, siapa tahu bisa merendahkan lelaki yang jadi bakal suaminya nanti. Siapa tahu juga dia bisa membanting penampilan si adik – yang katanya mendarat di Malang juga.
Semua tahu kalau Bintang dan Bulan – sang adik – tidak rukun.
“Menikah, tidak sekarang dan tidak dengan pria aneh itu!” gumamnya sinis sembari merapikan anak rambut yang meluncur turun dari sanggul pramugarinya.
Bintang kemudian berjalan anggun lagi sembari menarik kopernya. Namun, tak sengaja dia menyenggol sebuah tubuh tinggi dengan lengan yang keras. Keduanya langsung berpandangan dan nyaris mirip adegan sinetron, kedua mata mereka bertaut dan musik kacangan mengalun merdu.
“Sial!” kutuk Bintang dalam hatinya.
“Jalan nggak lihat-lihat!” kutuk si lelaki dalam hatinya. Pria judes itu bernama Ribi.
“Sorry, Mas,” ucap Bintang lirih. Sangat susah beramah-tamah meski dia awak kabin yang ramah.
“Hati-hati jalannya, Mbak! Nabrak orang itu sakit,” pesan Ribi dingin.
“Terima kasih,” ucap Bintang datar, tanpa senyum atau gurat kehangatan padahal baru mendapat perhatian dari orang asing.
“Sakit bagi saya,” pungkas Ribi jutek dan berlalu. Tanpa basa-basi langsung berjalan cepat menuju tujuannya.
Bak ditikam pisau buah, seketika Bintang mingkem. Baru kali ini dia mendapat perlakuan tidak seronok dari orang lain. Biasa dia selalu dipuja, minimal semua orang selalu memaklumi aksi dinginnya. Apalagi laki-laki, rerata mereka terpana pada kecantikan wajahnya. Namun, siapa sangka kalau adam barusan malah beda.
“Jangan-jangan gay tuh orang!” celetuk Bintang sembari membenarkan tasnya yang melorot.
Dia menggeleng acak, mengaburkan pikiran buruknya. Tidak ada waktu lagi untuk berdecak kesal, lebih baik segera menemui Papa dan Mamanya. Benar saja saat Bintang sampai ke tempat yang dimaksud, semua sudah menunggu dirinya. Papa, Mama, Bulan, kedua calon mertuanya, dan juga bakal suaminya yang ternyata ….“Pria itu!” batin Bintang heran sekaligus mengutuk kesal. “Kenapa orang ini sih! Ganteng, tapi gay! Sialan!”
Tak banyak kata yang diucap pria tampan itu. Dia amat dingin padahal kedua orang tua mereka banyak berbincang. Mereka terkekeh riang, tapi pria bernama Ribi itu hanya diam. Sesekali melirik tajam pada Bintang dan juga Bulan. Biasa bagi Ribi karena berada di bawah tekanan mental. Apalagi kesan pertama dengan Bintang tidak baik, mereka bertabrakan yang menimbulkan atmosfer buram.
Sampai pada hari telah berganti malam, Ribi tak banyak bicara saat menyetiri HR-V hitam – mobil yang disembunyikan selama ini di rumah penduduk dekat asrama – menuju rumah keluarga Gautama Salim. Meski sedari tadi Bu Yona terus berceloteh riang tentang calon menantunya, Ribi tak juga menanggapi. Sampai-sampai sang Bapak menyenggolnya jemu.
“Kamu itu suka apa nggak sama anaknya Om Tama?”
Ribi menoleh singkat lalu mengangguk santun. “Siap, belum tahu, Pak!”
“Lah, kok ambigu jawabanmu, Bi. Memang nggak ada kesan apa gitu pas pertemuan pertama?” sambung Bu Yona penasaran. Saking hebohnya, ibu cantik blasteran Jawa – Korea Selatan itu sampai melongok ke jok depan. Penasaran dengan ekspresi si bungsu yang selalu datar itu.
Ribi mengendikkan bahunya bingung. “Ya gitulah, Bu. Jutek banget Mbaknya.”
Pak Hasan Darmawan Al-Ghifari hanya melengos maklum. “Ya nggak kaget, Bi. Lhawong kamu juga dingin banget.”
“Bapak ih!” tegur Bu Yona tidak suka.
“Siap?” tanya Ribi tak percaya.
“Nggak, sudah! Kamu konsen aja nyetirnya. Malam ini harus berhasil pokoknya,” pungkas Pak Hasan, seorang Bintang Satu TNI-AD yang menjabat sebagai Kasdam Jaya.
Bapak berhidung mancung itu tidak yakin dengan keberhasilan perjodohan ini. Malah sudah mempersiapkan kekecewaan karena putra bungsunya yang sudah 29 tahun itu seperti tak minat menikah. Coba kalau disuruh pergi satgas atau latgab begitu, pasti majunya nomor satu. Namun, bisa apa? Sang istri sangat semangat untuk menikahkan si bungsu dengan putri keluarga itu.
Alasan lama, janji lama saat Pak Hasan dan Pak Tama bertugas bersama dulu. Pak Hasan adalah senior dua klik Pak Tama di TNI, tapi mereka sedekat saudara kandung. Mereka ingin jadi saudara dalam artian sebenarnya. Sekaligus yang jadi bahasan pertama saat keluarga Hasan Al-Ghifari sampai di rumah keluarga Gautama Salim. Mereka berbincang hangat setelah melempar sapa – meski sudah ketemu di bandara. Kerinduan sepasang sahabat lama yang terlalu membuncah sampai tumpah-tumpah.
Pak Hasan dan Pak Tama duduk berdua di sofa yang sama, sedangkan para istri duduk di sofa yang beda. Bintang, si calon pengantin masih di kamarnya. Kabarnya, merias wajah demi penampilan terbaik. Padahal dengan atau tanpa riasan dia memiliki kecantikan luar biasa bak Dewi Yunani. Maklum skincare mahal tidak bisa dibohongi, hasilnya selalu wow.
Kecantikan dari wanita bermata bulat, berambut panjang sepunggung, berkulit putih sebening mutiara Lombok, berhidung mancung lancip, dan bibir merah sensual memancar sempurna saat dia berjalan anggun keluar kamar. Pun dengan aroma parfumnya yang menguar ke penjuru ruangan. Maklum harga parfumnya setara dengan harga motor, wajar kalau wangi merata.
Belum lagi dengan busana yang dipadupadankan sempurna, dress sifon putih motif dandelion merah muda dan dedaunan hijau. Pas membalut tubuh tinggi langsing semampainya. Pramugari sudah pasti punya fisik yang mumpuni, sama seperti tentara. Para orang tua sudah membayangkan betapa serasinya Ribi dan Bintang bersanding di kuade. Gagah dan anggun, bibit unggul.
“Jadi, mau langsung kapan nikahnya, Mas?” tanya Pak Tama yang membuat para ibu tertawa histeris. Wajar, sudah tak sabar menimang cucu dari para bibit unggul. Bayangan yang menjanjikan.
Lemparan pertama dari tuan rumah tak mengubah wajah Ribi dan Bintang yang sama-sama datar. Tak ada komentar atau ekspresi tambahan dari adam-hawa itu. Mereka bungkam seperti sibuk dengan pikiran masing-masing. Bintang pikir, kenapa dia harus berjodoh dengan pria gay ini? Ribi pikir, kenapa dia harus menikah dengan wanita judes macam ini? Pikiran yang nyambung, ciyeh.
“Sabar dulu, Mas. Biar anak-anak mempersiapkan diri.” Pak Hasan masih bisa menahan hasratnya. Meski malu-malu dan sudah membayangkan kedua manusia indah itu bersatu di ikrar pernikahan.
“Gimana kalau dimulai dengan perkenalan identitas dan hobinya? Meski kalian sudah punya RH* masing-masing, tapi bedalah kalau kenalan langsung,” usul Bu Res ceria. (Riwayat Hidup)
![](https://img.wattpad.com/cover/280694572-288-k763915.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Es Balok (TAMAT)
RomanceRated: 21+ Please, yang di bawah umur itu jangan baca! Jangan nekat! Saya tdk bertanggung jawab atas risiko yang timbul di kemudian hari. Source Pic Cover: Pinterest Edit by Canva Design by Nayla Salmonella Cover #2 By Kak Niaratika DILARANG PLAGIA...