Bab 48 My Favorite Hello (Hardest Goodbye)

7.7K 1K 113
                                    

Ketika nama belakangku "Makanan" berubah menjadi "Penantian", semua telah berubah. Sekarang, daripada makan aku lebih memilih untuk menanti sesuatu. Kedatangan suami dan kepastian kabar dua garis itu. Lelah berhari-hari didera pikiran berlebihan, sesampainya di Indonesia kota Malang lebih tepatnya, aku gegas mendatangi dokter kandungan langganan sejak beberapa bulan yang lalu. Dokter Gania.

Sure, aku nggak mau terombang-ambing dalam ketidakpastian saat tubuhku mengalami banyak keanehan. Semenjak tahu sedang positif hamil, keanehan tubuhku semakin nyata. Yang jelas ini bukan sugesti sebab aku juga nggak paham gimana rasanya hamil.

Suara Mbak Olivia Rodrigo lewat lagunya Déjà Vu, membawa keempat kaki Harry menembus kelengangan kota ini. Saat ekor mataku menangkap pemandangan Citilink yang mendaki langit pagi Malang, mobil kesayangan Ribi ini mengantarku ke sebuah rumah sakit ibu dan anak di kawasan Ijen. Sendiri, berdua dengan harry, jangan ditanya kenapa tidak diantar!

Istri tentara sudah biasa ke mana-mana sendirian, meski bersuami!

Tidak diantar Mama atau Papa, apalagi Bintang untuk pergi periksa ke dokter kandungan. Apalagi suami yang gulana di tanah Papua sana. Yeah, aku mandiri kok, I'm happy. No! Perasaanku sama seperti Ribi yang sedih karena menyesal menghamiliku. Mungkin karena dia tak mampu mendampingiku ke mana-mana seperti ini. Kenapa dia tak mengerem saat itu. Ah, sudahlah tidak usah disesali sesuatu yang enak rasanya.

Kalau aku lebih kepada sedih saja, kenapa aku seperti perempuan korban MBA atau remaja hamil di luar nikah gini. Sungguh, wajahku yang kecil ini sangat susah dikategorikan jadi ibu-ibu. Semenjak nikah, aku cuma dipanggil ibu kalau lagi kegiatan Persit. Sisanya, dipanggil Kak atau malah adek pas jajan bakso di depan Rampal.

Terkadang otak kita bisa mengalami mode autopilot. Contoh, pikiran melanglang buana ke mana-mana, eh, tiba-tiba sudah sampai di depan RSIA Melati Husada untuk ketemu dokter Gania jam 9 pagi. Astaga diriku, kenapa bisa se-careless ini! Kalau Ribi tahu, bisa dibotaki aku. Semenjak positif hamil, aku jadi suka lemot. Eh, apa udah dari dulu sih?

Entah, intinya sekarang aku menuju meja resepsionis dengan pikiran anu. Setengah menahan migrain, setengahnya lagi menahan mual yang luar biasa semenjak naik ke lambung Harry tadi. Sebelumnya udah minum Imukal yang hanya sisa berapa bungkus di kontainer Ribi, sekarang rasanya perutku berontak. Kayaknya mual ini bukan berasal dari telat makan atau asam lambung. Orang hamil kayak gini apa, ya?

Rasanya tubuhku teramat sibuk seperti Samsul yang terus berdering manja. Sampai pekak telingaku karena dia berdering tiada henti. Semenjak tadi malam sampai di Malang, Papa Mama Bapak Ibu dan Ribi tiada henti menghubungiku. Kecemasan mereka berlipat ganda setelah aku mengabari kehamilan ini. Rasanya, agak menyesal, kenapa nggak dari dulu aja hamil kalau tahu super diperhatikan gini. Belum lahir saja sudah rempong, ah, manisnya.

"Ibu Salwabulan!"

Suara Mbak Suster membuatku menoleh dan tersadar bahwa tiba giliranku menemui dokter Gania. Kulempar senyum manis khas mbak mugari pada sesembak yang tersipu manis, lalu memasuki ruang pemeriksaan yang beraroma jahe serai. Poliklinik yang merupakan bagian dari RSIA Melati Husada ini memang bernuansa galeri butik dengan aromaterapi yang enak sekali. Mungkin tahu kalau bumil itu rentan mual, jadi aroma jahe amat menolong.

"Pagi, Mbak Mugari!"

Sapaan ramah dokter Gania kembali membuatku sadar, dan lagi aku jatuh pada lamunan. Rasanya semakin lambat saja otakku ini semenjak hamil. Gegas, aku duduk dan menaruh tas di kursi sebelah. Menghadap dokter cantik berjilbab biru yang sedang menatap kertas di depannya, berkas rekam medisku. Senyumnya terbit saat tahu laporanku di kertas itu, terlambat menstruasi dan testpack positif.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang