Bab 31 Sekarang Lo Nyesel, 'Kan?"

8.8K 1.1K 143
                                    

Hadeuh, bisa nggak dia nyetir yang bener?”

“Ya ampun mataku ternodai!”

Setidaknya dua keluhan itu membuat bahagia seorang Bulan sirna. Tidak seperti yang dimau, Ribi justru membawa Bintang turut serta ke dalam mobilnya. Alasannya sederhana, dia tak mau jadi masalah di kemudian hari – Bintang masih kakak iparnya di mata hukum. Seperti yang sudah diduga, Bintang akan menjadi pengganggu perjalanan mesra dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Merasa teramat sebal, Bulan pun menoleh ke arah jok tengah tempat si kakak, Bintang, duduk dengan gusar.

“Tidur aja atau lihat jalanan di sampingmu! Don’t mind us!” kata Bulan kesal. Wanita ayu itu kemudian melirik sebal ke arah sang suami yang konsen menjelajah ramainya jalan tol.

“Kenapa sih Kakak bawa dia?” protesnya pada Ribi yang hanya melirik kecil. Diraihnya tangan Bulan yang wangi itu lantas dikecup di punggung tangannya.

“Anggap aja kita lagi bawa tanaman, Sayang,” hibur Ribi yang tanpa sadar memanggil Bulan mesra. Mungkin saking rindunya. Karena Bulan sensitif pada hal sekecil itu, kontan saja bibirnya mesem.

Disentuhnya lengan keras Ribi dengan ujung jemari, turun ke arah punggung tangan berototnya. “Tumbenan … kangen, ya?” ganggu Bulan manis.

“Apa, tanaman?” desah Bintang sakit hati. “Aku ini manusia, woey!”

“Hei, kalian bisa nggak berhenti di hotel mana gitu? Nggak usah di mobil apalagi jalanan kayak gini! Aku masih pengen selamat dan hidup, ya!” Bintang maju ke kabin depan seraya memprotes berat kelakuan dua adiknya itu.

“Apaan sih, sirik aja!” Bulan mendorong sang kakak tidak suka. Membuat pramugari sombong itu mendesis kesal karena terlempar ke jok tengah.

“Lagian ngapain sih kamu bisa di Indonesia? Bukannya baru dapat berapa bulan terbang di Qatar?” tanya Bulan cuek. "Bukannya masih training?"

“Memangnya kenapa, aku cuma kangen rumah,” jawab Bintang tak kalah cuek. Mereka berbicara dengan nada asal, padahal isi percakapannya lumayan penting.

“Nggak mungkin pegawai baru bisa seenaknya. Kamu kenapa, Kak?” desak Bulan yang tak ingin dijawab Bintang. Dia hanya fokus mengelus-elus rambut panjang bagian belakang dan samping dengan mata tertuju pada jalanan di tepi.

Rambut halusnya sampai berantakan karena dorongan Bulan lumayan keras. Sembari manyun, Bintang merapikan rambut panjang dan jepit kecil di kepalanya itu. Apa memang sebuah kesalahan minta bareng Ribi dan Bulan tadi? Sepertinya, begitu. Hatinya semakin sebal ketika Ribi menarik halus tangan Bulan dan meletakkannya di perut.

Apalagi melihat senyum usil Bulan saat menggelitiki Ribi, membuat kedua pasangan itu tertawa lepas. Seolah abai pada mata sirik di jok tengah. Sungguh, Bintang ingin menghilang dari tempat itu karena tak ada bedanya dengan obat nyamuk bakar. Kasmaran bikin keduanya lupa pada aspek keselamatan.

“Memang norak. Kayak lupa daratan gitu lagi ngapain. Nanti kalau udah nabrak mobil depan baru deh sadar,” kutuk Bintang jutek sembari melengos cuek ke arah pembatas jalan tol.

“Hei, hei!” buyar Bintang yang berharap dapat perhatian dari kedua manusia di depan itu. Namun, keduanya tetap menganggap Bintang sebagai makhluk astral. “Kalian denger aku nggak sih?” Bintang menjentikkan jemarinya hingga berbunyi ke arah Bulan dan Ribi, mencari perhatianlah apalagi.

“Bisa nggak kalian ingat aspek keselamatan? Nggak peduli senafsu apa pun sekarang, please aku cuma pengen sampai rumah dalam kondisi utuh!” protes Bintang serius.

Bulan akhirnya menghela napas panjang sembari mengedarkan matanya ke jok tengah tempat si kakak membeo. “Berisik sekali sih, ini bukan kamu banget lho, Mbak!”

“Panggil aku, ‘Kak’! Bukan Mbak! Aku masih kakakmu, Bulan!” seru Bintang emosi.

Bulan jelas tak mau kalah. Dia langsung menepuk pundak sang suami hingga Ribi melirik sekilas istri imutnya itu. “Kak, turunin ajalah ini orang di rest area! Sumpah, berisik banget! Udah bagus tadi mau diculik Razka, ngapain sih ganggu kita!”

Protesan Bulan disertai rengekan kesal dari kedua tangannya yang menarik-narik lengan baju Ribi. Sepertinya kehadiran Bintang mulai mengganggu, apalagi celetukan bernada sindiran baru meluncur sempurna dari bibir tipisnya. “Ckck, lihat tingkahmu! Bikin mata sakit. Mau mamer, Buk? Norak banget sih kamu, kalian nih! Nggak mempan ke aku, ya! Akting kalian itu nggak natural!”

“Aku nggak akting!” bantah Bulan sengit. Bertengkar dengan Bintang adalah rutinitasnya belakangan ini. Dan Bulan benci itu.

“Terus kalian saling cinta gitu? Nonsense! Aku nggak percaya kalau kalian hidup sebagai suami-istri yang normal. Aku nggak yakin Ribi itu pria normal, palingan cuma pura-pura suka sama kamu!” Bintang kembali meremehkan hal yang sensitif dan pribadi dari Ribi. Benar saja, Ribi langsung meminggirkan mobilnya ke tepi jalan. Tersinggung beratlah.

“Mulut direm, Mbak! Suamiku itu normal!” sanggah Bulan alot.

Beda dengan Ribi yang langsung memberi tatapan dingin yang sanggup membuat seorang Bintang salah tingkah. “Awalnya saya tidak mau bicara denganmu, tapi karena kamu resek ya udah. Silakan keluar dari mobil saya!” suruh Ribi tegas.

“Terus aku naik apaan? Nggak tanggung jawab amat sih!”

“Hei, bukannya kamu bisa kabur saat itu, kenapa sekarang nggak? Dibuang di gurun pun kamu juga tetap hidup, Mbak! Kebiasaanmu menjilat sana-sini, ‘kan?” ledek Bulan tanpa ampun. Sanggup memerahkan wajah Bintang akibat rasa malu yang menjalar.

“Sialan!” kutuknya panas.

“Kamu tidak punya hak untuk mengomentari pernikahan kami,” imbuh Ribi judes sembari membalik badannya fokus pada Bintang.

Namun, bukan Bintang namanya kalau cepat menyerah. “Lalu apa, cinta ke adikku, Pak? Yakin kamu doyan perempuan?”

“Kak Ribi normal, aku udah membuktikannya!” bela Bulan setengah keceplosan.

Bukannya malu, Ribi justru punya ide baru. “Baik, kalau kamu butuh bukti tentang cinta kami. Jangan berkedip!”

Setelah berkata kalimat itu, Ribi langsung menarik kedua pundak Bulan lembut. Difokuskannya wajah itu pada wajah mungil Bulan. Tanpa meminta izin, Ribi langsung melumat bibir Bulan beberapa kali. Membuat si cantik itu lupa daratan hingga memejamkan matanya. Tak peduli dengan Bintang yang sudah melongo kehilangan hati dan logika. Melihat betapa nikmatnya Ribi mencium Bulan, sepertinya praduga tentang Ribi itu salah.

“Apa-apaan sih kalian!” seru Bintang emosi, memukul-mukul kursi mobil itu dengan hawa panas di sekitar wajahnya. Ribi Bulan yang ciuman, Bintang yang malu.

Ribi terbiasa mengabaikan apa saja, kecuali Tuhan dan komandan. Oh iya, Bulan dan “istri tuanya”. Mungkin pria itu lebih mempedulikan abang bakso daripada si cantik Bintang. Di matanya Bintang itu adalah nothing.

“Kak – Kakak …,” desah Bulan terpesona akut pada wajah tampan sang suami. Kehidupannya bergejolak semenjak jadi istri Ribi.

“Panggil yang bener dong!” suruh Ribi dengan mata sayu bin kalem. Dielusnya lembut pipi mulut Bulan dengan hangat, tanpa akting seperti yang dikatakan Bintang. Ke mana aja lo Bintang, mereka sudah lebih dari berciuman semenjak kemarin.

“Sayang,” ralat Bulan diakhiri senyuman. “Aku kangen, Sayang.” Ribi hanya merespon dalam bentuk senyuman lebar tanpa suara.

Ribi hanya tersenyum lembut seraya mengubah posisi duduknya. Pembuktian pada dua mata kepo itu sudah selesai, sekarang saatnya melanjutkan perjalanan yang masih jauh. Pulang ke rumah orang tuanya karena mereka juga rindu pada keceriaan sang menantu. Tentu tanpa peduli pada si kakak ipar yang sekarang masih melongo setengah nyawa. Sungguh sial, kutuk Bintang berkali-kali.

“Udah cukup buktinya, Kak?” tantang Bulan percaya diri tanpa menoleh pada Bintang. “Makasih, ya, udah kabur di hari itu. Sehingga aku bisa sama Kak Ribi yang panas ini. Enak lho, Kak. Sekarang kamu nyesel, ‘kan?” oceh Bulan memanas-manasi Bintang yang masih terdiam.

“Dan, ya! Ini terakhir kali aku manggil kamu, ‘kak’. Mungkin ke depan kita bakalan beneran jadi orang asing,” ucap Bulan sadis seraya memandang ekspresi Ribi yang tetap datar. Seperti biasalah.

Benar, diamnya Bintang karena hatinya sakit sekali. Dia sangka Bulan akan hidup dalam gelimang air mata. Nyatanya, sekarang Bulan lebih bahagia bersama dengan Ribi. Setengah menyesal, mungkin, ya? Gimana nggak, perempuan mana yang tidak mau diperlakukan seperti Bulan oleh pria setampan Ribi? Semanis itu, sepanas itu, selembut itu, meski gayanya cuek selangit. Tapi Ribi adalah pria panas penuh pesona.

“Jadi, kalian beneran jatuh cinta?” batin Bintang tersayat-sayat.

“Kamu nggak perlu bicara sama tanaman, Sayang.” Sindiran Ribi menambah hancur hati Bintang saat itu. Biasanya, dia dipuja-puja. Sekarang tak ada lagi yang menganggapnya berharga.

Seperti maskapai Qatar Airways yang membuangnya begitu saja.
---

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang