Bab 23 Korban Rayuan Militer

11.4K 1.2K 328
                                    

Alhamdulillah udah sampai rumah setelah berlibur 🥰. Alhamdulillah juga habis liburan terbitlah cucian segunung Semeru 🤣. Maafkan ya kalau cuma sempat upload belum sempat balas komen Temans². Sebab saya sibuggg. Terima kasih lho sudah menunggu 😌😌🥰🥰🥰

==================


Sebagai korban pernikahan paksa, seharusnya aku banyak menangis dan tertekan. Pada awalnya memang iya, tapi sekarang semua mulai berubah. Mana ada korban yang diajak jalan-jalan, haha hihi sepanjang jalan. Dibelikan HP mahal, Samsung Z Flip 3 mirror purple, dan mendapat cuti seminggu dari maskapai. Sudah kudugong aksi dari siapa, Pak Irvan yang meminta bu Verda memberiku cuti menikah.

Demi apa, tidak usah. Nanti aku malah dianggap aneh-aneh di dunia itu. Pasti mereka berpikir bahwa INA Airlines milik kakek moyangnya Bulan. Ohhalo … sudahlah, aku lelah jika membahas itu mending diterima saja. Sebab semalam aku sudah menghabiskan malam yang panjang bersamanya. Tenang … pada intinya aku dan dia belum sampai pada tahap melepas segel masing-masing. Anda boleh kecewa, Pemirsah.

Semalam kami kelelahan. Saat asyik berpelukan, mataku melemah dan tanpa sadar terkatup begitu saja. Akibat kekenyangan nasi goreng hongkong masakan bu mer dan wejangan panjang dari bapak mer tentang pernikahan. Komplet sudah, kami tak ada waktu untuk ehem-eheman. Lagipula pelukannya terlalu nyaman seperti selimut lembut, aku jadi suka mengantuk.

Pagi ini kami lewati dengan kesibukan pulang ke Malang. Setelah berhasil membuka crewlink di ponsel baru, aku mendapat jadwal baru. Baru dua minggu lagi aku akan terbang ke rute jauh, luar negeri dengan fee terbang yang masih dipotong 50%. Tetep eim, masalah denda dan uang itu nggak mengenal kakek moyang. Ya sudah, bayar saja demi keadilan bersama.

Akhirnya, setelah kasak-kusuk berkepanjangan, hari ini aku resmi pindah kantor ke Surabaya. Seterusnya sampai kontrak selesai aku akan terbang dari kota berlambang hiu dan buaya itu. Kepergianku dilepas histeris oleh mbak Melda yang merasa teramat kehilanganku. Sejujurnya aku malu ditangisi olehnya, dia baru selesai terbang. Kami ketemu di depan gate dan aku berkata jujur bin singkat. Ciwi itu langsung memeluk dan menangisiku, nggak mau aku pindah.

Ya kalau gitu, silakan lawan bu Verda dan pak Irvan, minimal Ribilah. Yah, mereka juga berkenalan dengan Ribi yang kebanyakan memasang wajah dingin. Mungkin aneh karena tangis mbak Melda mirip orang yang nggak bakal ketemu lagi gitu. Padahal kami masih satu perusahaan, bisa jadi kami nanti ketemu di udara. Cuma, ya memang sedih sih kehilangan senior gesrek macam dia. Nggak pernah jaim dan selalu the best urusan duet makan.

Kepergianku ke Malang dengan naik armada INA Air IA 211, Airbus A320 yang dipimpin oleh SFA, Mbak Ambar. Mbak yang biasanya judes ini terlihat semringah karena berita tentang siapa aku beredar dengan luasnya. Sudah jelas, terbukanya identitas Ribi siapanya Pak Irvan sudah tersebar luas di kantor maskapai. Ya sudah, nikmati saja! Memang sudah rezeki kalau aku dijodohkan dan dinikahkan dengan lelaki pilihan berbibit unggul.

Jam 8 pagi kami take-off dari Jakarta dan jam 9.45 anak besi ini menyentuh tanah Malang. Bokongnya yang dikendalikan Captain Daniel mendarat dengan mulus tanpa kendala. Ternyata, sesampainya di Malang kami sudah dijemput oleh salah satu anggota Ribi memakai Harry. Rupa-rupanya dia tak lagi segan menggunakan roda empat tercinta itu demi membawaku.

“Kok nggak pakai motor itu, Kak?” tanyaku saat Harry mulai berjalan santai. Menembus jalanan teduh di area Bandara ABD, daerah kekuasaan TNI-AU. Seteduh mata bulat kecil yang lentik bulunya itu, Ribi hanya mengabaikanku dengan berbicara masalah kedinasan dengan Om Yogi. Dasar.

“Kak, cari makan dulu, ya?” pintaku sembari melongok ke jok depan, tempat Ribi duduk di sebelah sopir. Upayaku mencari perhatiannya masih berlangsung, Teman. Namun, bukan Ribi namanya kalau tidak pandai membuat orang gangguan mental.

Akhirnya, aku menghempas badan ke jok tengah Harry yang empuk. Kutatap langit biru Malang dari panoramic sunroof di atas kepala. Pergantian musim mulai mengubah warna dominan langit. Setidaknya lukisan Tuhan itu masih mendamaikan hatiku. Ribi nggak jahat kok, dia memang masih malu saja menunjukkan kasih mesra kami di depan orang lain. Coba kalau kami berdua, ekspresi wajahnya itu seolah akan menerkamku.

Semakin lama, mataku semakin berat. Apalagi pendingin udaranya Harry ini dingin pol. Dua kali menguap, aku terjatuh dalam alam mimpi. Memang paling enak tidur di perjalanan, serasa diayun-ayun. Namun, aku seolah memandang wajah Ribi berada di depan wajahku. Apakah aku sebegitu menyukainya sampai-sampai dia hadir dalam mimpiku?

Tak berhenti sampai di situ, Ribi kemudian menaruh tangannya di tengkuk lalu menarikku lembut. Dia meletakkan tubuh kurusku di kedua tangannya, menggendong ala bridal style. Terkadang mimpi memang terasa nyata jika kita menikmatinya. Namun, yang satu ini benar-benar nyata apalagi seprai kasur terasa lembut saat menempel di tanganku.

“Tukang tidur!” ledeknya dingin sambil menyelimutiku sampai leher.

Manusia yang tidak berbau parfum lagi itu kemudian beranjak keluar dengan langkah tegas. Tak bicara apa-apa lagi padahal aku masih ingin terus memimpikannya. Karena itulah kontan aku memanggil namanya. Yang terjadi justru aku tersadar bahwa sedari tadi itu bukan mimpi.

Aku telah sampai kembali di kandang Ribi, rumah dinasnya di dekat Rampal itu. Digendongnya dari dalam mobil ke kamar tidur dengan wajah datar. Yang kulihat dari tadi itu bukan mimpi, tapi aku yang sudah terjaga dengan mata setengah merem. Aduhai, malunya aku! Kontan, aku segera bangkit dan berdiri mengejar kekasihku, uhuk.

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang