Bab 20 Duh, Kangmas!

9.4K 1.1K 336
                                    

Menurut kabar burung, pernikahan di militer juga bertujuan untuk mendongkrak karier. Mungkin itu menjadi salah satu keuntungan Ribi menikahiku, dia bisa ganti jabatan hanya dalam waktu 4 hari. Setelah jadi danton sekarang jadi pasiintel alias perwira seksi intelijen. Tugasnya apa, tidak usah membahas dunia Ribi.

Pertama, aku takut salah. Kedua, dunia mereka itu rahasia, bahkan sampai dibuatkan pasal sendiri oleh Ribi – Pasal 3. Militer itu sifatnya kaku dan penuh peraturan. Nggak sembarang orang bisa ngubek-ngubek kendati akrab semenjak bayi. Contoh aku, lahir dari keluarga militer nggak menjamin aku paham semua tentang mereka. Sampai sekarang aku masih bingung-bingung kalau ditanya perihal istilah dunia mereka. Luas dan cakupannya dalam, ya sudahlah.

Alih-alih membahas jabatan baru Ribi, malam ini kami malah berdebat ringan lewat panggilan suara. Berulang-ulang Ribi ingin panggilan video, tapi kutolak karena malas. Aku ingin gegoleran di kasur pakai gaun tipis dan itu harom dilihat olehnya. Lelah karena dia terus mengomel perihal rencana kepindahan base-ku yang harus di-pending.

Kamu itu kompeten apa nggak sih, Sal? Bisa apa nggak ngurus gituan? Masa minta pindah base nggak bisa? Apa harus saya yang ngadep? Kalau nggak boleh, resign aja!”

Sebentar, ini Ribi asli apa bukan? Jangan-jangan kloningannya Ribi! Seriusan teh Ribi bisa bicara sebanyak itu dalam satu tarikan napas? Dia aja bisa mengucap ijab kabul dalam satu tarikan napas kok, eim …. Suara omelannya membuat kupingku gatal, membuatku sibuk menggaruk kepala.

“Ya memang hukumanku gitu lho, Kak. Sebulan aku terbang terus ke luar Jawa. Tanya aja ke Bu Verda kalau nggak percaya,” balasku malas.

Saya ngadep besok!” putusnya tanpa mikir panjang. Kontan aku langsung bangun ke posisi duduk.

“Jangan! Itu bukan kewenangan Kakak. Udahlah santai aja. Ngebet banget!”

Heh, asal kamu tahu, ya! Satuan ini mewajibkan istri perwira untuk selalu dekat dengan suaminya, tak peduli mereka kerja di mana. Paham nggak kamu, perasaan sudah diwejangi banyak sama ibu komandan!” omelnya masih saja cerewet. Ribi habis makan pepaya kayaknya.

“Iya, paham,” sahutku pendek dan lirih. Kalau ingat wejangan panjang malam itu aku jadi nggak selera makan. Dari Semarang sampai Pontianak dibentangkan, termasuk di dalamnya kebijakan satuan tentang peran istri dalam mendampingi prajurit.

Komandan tidak melarangku bekerja, hanya aku tetap harus mengutamakan keluarga. Kalau suami keberatan, aku harus menyesuaikan diri. Bahkan kalau suami mewajibkan resign, aku harus menurut. Aku sudah tanda tangan di berkas pengajuan nikah yang mirip kontrak seumur hidup. Semua berkaitan dengan tingkat pelanggaran dan moril prajurit. Wis, pokoknya panjang kalau diteruskan. Sampai minggu depan pun nggak bakal kelar aku menjelaskan.

Kamu itu ngerti nggak sih, betapa pentingnya peranmu di sini? Bukan demi saya, demi jabatan saya! Sedikit banyak kehadiranmu mempengaruhi karier saya, Sal!” tegas Ribi jutek. Astaga, aku bisa membayangkan rupa wajahnya hanya dari suara ini. Pasti mendelik, dahinya berkerut, dan bibirnya manyun.

“Siap, Ndan! Udahlah, jangan ngomel terus nanti cepet tua lho!” hiburku receh. Aneh, hobi ngamuk tapi wajahnya kok awet ganteng.

Jangan main-main kamu, ya!” larangnya penuh ancaman menyeramkan. Doh, aku lupa kalau lelaki ini anti bercanda. “Ganti videocall!”

“Eh, buat apa?” sahutku gusar.

Saya mau lihat kamu aneh-aneh apa nggak!”

“Nggak, Ndan, sumpah! Aku di mes kok ini. Udahlah, belum mandi aku,” tolakku enggan.

Cepat terima video call saya!”

“Nggak mau!”

Angkat atau saya datang nanti malam!” ancamnya bak isapan jempol.

“Ngarang, dikira Malang-Jakarta deket? Lagian nggak ada penerbangan di ABD kalau sore,” cibirku puas.

Saya punya kenalan pilot Hercules dan heli. Gampang aja,” balasnya enteng. Dodol, aku lupa dia siapa! “Cepat angkat!” suruhnya kemudian.

“Iya,” jawabku lemah seraya memakai jaket untuk menutupi bagian tubuh atasku. Tak cuma itu, bed cover kulapiskan pada paha dan kakiku. Bukan konsumsi dia.

Tak lama setelah aku menerima panggilan video Ribi, wajah SJK versi judes itu menyapaku. Tanpa senyum atau bahagia, dia seperti mempersiapkan kerempongan baru. Benar saja, dia mengubah matanya makin tajam. Kedua alisnya hampir bersatu saking berkerutnya. “Udah makan kamu?” tanyanya yang lebih mirip ajakan gulat.

“Peduli amat,” aku melengos enggan, padahal hati bungah karena diperhatikan suamik. Ehek.

“Mendingan kamu ke rumah Ibu saja. Makanmu terjamin di sana. Kamu juga bisa sekalian belajar masak biar nggak ngandelin rendang dalam bentuk mi!” kata Ribi yang diakhiri sindiran sinis darinya. Boleh nggak aku mules kalau membahas Pondok Mertua Indah?

“Nggak masalah, mau rendang soto coto dalam bentuk mi kek atau aku cuma makan seblak kek. Apa peduli Anda?”

Setengah jam lagi, kamu dijemput Pratu Eman. Siap-siap aja, bawa baju tidur dan berangkat kerja dari sana!”

Menikah dengan Es Balok (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang